Mohon tunggu...
Conni Aruan
Conni Aruan Mohon Tunggu... Administrasi - Apa ya?

Zombie

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Masih Ada Waktu

19 Januari 2021   10:46 Diperbarui: 19 Januari 2021   11:04 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku terkejut dan spontan melempar selimut saat Ika membanting pintu. Mata kami bertemu sudut bibirnya tertarik. Dia sengaja. Kujatuhkan tubuhku dan kembali menarik selimut namun Ika kembali memukul-mukul pintu tanpa ampun, juga tanpa teriakan namun senyum setannya semakin lebar. Sial. Aku menarik selimut dan mencari ujungnya. Saat selimut sudah terlipat rapi Ika tak lagi di ambang pintu. Dia sudah kembali ke dapurnya.

Kutatap diriku yang payah di cermin, tanganku dengan bekas luka yang tak akan hilang, potongan rambut pendekku yang tidak rata, wajahku yang  kehilangan sinarnya -  keseluruhan diriku yang rusak oleh ketidakberdayaan melawan kenyataan. Babak belur.

-

Lobi rumah sakit dadakan berangsur sepi. Tamu empat belas hari negatif sudah dijemput keluarga masing-masing. Aku belum memutuskan apapun, jadi aku duduk di sudut ruangan itu mengamati keadaan yang nanti bisa kuingat untuk kutertawakan terlebih untuk kusyukuri sepenuh jiwaku; aku telah menang. 

Beberapa petugas dengan baju astronotnya  mencoba melepas lelah dengan saling berbagi lelucon. Inginku menghampiri dan mengucap terima kasih, tapi tak kulakukan karena aku tidak ingin merepotkan diri untuk hal-hal sentimental. 

Jadi kubuka dan kubaca ulang pesan dari bagian personalia di kantor, mereka ingin aku hadir untuk menandatangani dokumen yang tidak pernah kuharapkan. Bangsat! Aku marah dan tidak bisa  memikirkan apapun. Dan keadaanku semakin diperburuk oleh pesan suara dari Ferdi, "Kei, aku ga bisa jemput."

Ferdi adalah bajingan kecil  yang membuka bagian terpencil di hatiku. Dibuka dan ditempatinya, sebentar pergi, lalu pulang, pergi lagi, pulang lagi ... begitu terus sampai aku muak dan bertanya-tanya cara kerja perasaan bernama cinta. Jangan-jangan aku cinta sendiri? Sayang sendiri? Gila sendiri?

-

Kupikir aku kuat. Kupikir aku tangguh dan tak terkalahkan. Taik! Sebulan mondar mandir mengemis pekerjaan, malamku yang penuh darah dan airmata, tidak menghasilkan apapun. Aku menyerah. Aku ingin mati saja.. Tidak mau jadi beban keluarga dan sampah masyarakat. Terus mau apa?  

Padahal aku ingin bertahan, aku tidak ingin pulang.

Kupencet angka satu di ponselku, panggilan cepat untuk Ika.

"Aku akan pulang."

Hening sesaat. 

Di sudut kamar  aku duduk meringkuk, ujung-ujung jariku berdarah, tak sadar kugigiti  karena rasa cemas dan depresi yang sudah pada puncaknya.

"Iya. Pulanglah."

Kumatikan telepon dan aku menangis tersedu-sedu. Entah kenapa hatiku terasa hangat.

-

Tidak ada yang berubah dari dapur itu sejak kutinggalkan tiga tahun yang lalu. Panci-panci yang sudah penyok di sana sini masih digunakan oleh Ika. Dua buah gelas bening bertuliskan Ika dan Kei berdampingan di rak kaca paling atas. Piring dan cangkir enamel loreng hijau dan biru untuk dipakai sehari-hari. Yang hijau ada di bak cucian; punya Ika, sedang yang biru;  punyaku, ada di atas meja. Di atasnya terhidang talas kukus dengan taburan parutan kelapa dan secangkir teh melati. Kesukaanku. 

Di sini semua masih sama.

Dia juga masih sama. Perempuan keras kepala. Dia yang selalu memakai celana kain panjang dan kaos longgar. Rambut panjangnya sama seperti saat kutinggalkan terakhir kali, halus bergelombang sepunggung. Matanya yang selalu bersinar. Senyumnya yang samar, tangan dan kakinya yang liat. Keseluruhan dirinya yang keras, kokoh dan  tak tergoyahkan.

Aku duduk di ambang pintu menyantap sarapanku sambil melihat Ika menyiapkan kunyit dan rempah lainnya. Sejak wabah melanda pemasukan dari menjahit berkurang banyak, Ika memutuskan berjualan jamu untuk pemasukan tambahan.

"Temenmu banyak kok yang pulang."

Kuteguk kandas teh di cangkirku. Aku tahu dia tak ingin aku berkecil hati dengan situasiku sekarang. Kubawa piring dan cangkirku, kuletakkan di bak cuci. Aku bersandar di dinding mengamati Ika membersihkan semua rempah-rempah itu.

Sejak aku pulang kami belum pernah duduk bercerita. Aku masih hampa. Kata-kata tak mau keluar dari mulutku. Apa yang terjadi padaku sangat sulit untuk kuterima. Kutinggalkan Ika dan aku kembali ke kamar, berselimut, merasakan hangat dan membiarkan kantuk membawaku ke alam tidur.

Brakkk!!!

Ika kembali membanting pintu. Aku sedikit terkejut lalu menarik selimut menutupi kepalaku. Tak kusadari Ika menarik paksa selimut yang hampir menutupiku, menggulungnya dan melempar ke sudut kamar.

"Mandi."

Matanya bersinar jenaka. Dia berdiri di pintu menungguku bangkit dari tempat tidur. Aku bergeming di tempat tidur. Ika mengambil gulungan selimut itu dan melipatnya rapi. Dia juga menarik-narik sprei, berusaha merapikan tempat tidur meskipun aku masih berbaring. Setelahnya dia membuka lebar jendela mempersilakan sinar matahari masuk dan  menyapaku.

Aku tak punya pilihan. Di kamar mandi seember besar air hangat sudah disiapkan Ika.

-

"Sini," Ika mengambil tanganku dan membawaku duduk di halaman belakang rumah. Matahari semakin hangat. Kami duduk di kursi kayu. Aku duduk membelakangi Ika. 

Ika mengambil handuk dari leherku. Dia mengeringkan rambutku pelan-pelan, menyisir rambutku ... dia mengambil kedua tanganku dan  mengoleskan salep pada luka sayatan memanjang...

Kujatuhkan kepalaku ke dadanya dan menengadah, "tadinya aku pengen mati..." aku kembali menunduk dan mengamati induk ayam yang  menaungi anak-anaknya dengan sayapnya yang lebar. Beberapa anaknya bermain-main tak jauh darinya dan setelah bosan kembali lagi ke bawah sayapnya ... seperti aku, bedanya aku tidak main-main, aku pergi untuk membuktikan sesuatu. Kurasakan tangan Ika membelai helai-helai rambutku.

"Lalu?" 

"Yaaa ... aku takut."

Ika pindah duduk ke sampingku, matanya berkabut menatap lurus. "Yang penting kamu sudah di sini."

"Aku sekarang pengangguran."

Ika tersenyum tipis, "tidak apa-apa, mama sanggup kasih kamu makan."

"Makan aja? Jajannya gimana? kuota internet gimana?"

"Boleh, tapi kamu bantuin mama bikin jamu."

Aku terbahak. Ika tertawa. Tidak ada yang perlu kutakutkan lagi. Aku masih punya waktu dan Ika.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun