"Aku akan pulang."
Hening sesaat.Â
Di sudut kamar  aku duduk meringkuk, ujung-ujung jariku berdarah, tak sadar kugigiti  karena rasa cemas dan depresi yang sudah pada puncaknya.
"Iya. Pulanglah."
Kumatikan telepon dan aku menangis tersedu-sedu. Entah kenapa hatiku terasa hangat.
-
Tidak ada yang berubah dari dapur itu sejak kutinggalkan tiga tahun yang lalu. Panci-panci yang sudah penyok di sana sini masih digunakan oleh Ika. Dua buah gelas bening bertuliskan Ika dan Kei berdampingan di rak kaca paling atas. Piring dan cangkir enamel loreng hijau dan biru untuk dipakai sehari-hari. Yang hijau ada di bak cucian; punya Ika, sedang yang biru; Â punyaku, ada di atas meja. Di atasnya terhidang talas kukus dengan taburan parutan kelapa dan secangkir teh melati. Kesukaanku.Â
Di sini semua masih sama.
Dia juga masih sama. Perempuan keras kepala. Dia yang selalu memakai celana kain panjang dan kaos longgar. Rambut panjangnya sama seperti saat kutinggalkan terakhir kali, halus bergelombang sepunggung. Matanya yang selalu bersinar. Senyumnya yang samar, tangan dan kakinya yang liat. Keseluruhan dirinya yang keras, kokoh dan  tak tergoyahkan.
Aku duduk di ambang pintu menyantap sarapanku sambil melihat Ika menyiapkan kunyit dan rempah lainnya. Sejak wabah melanda pemasukan dari menjahit berkurang banyak, Ika memutuskan berjualan jamu untuk pemasukan tambahan.
"Temenmu banyak kok yang pulang."