Mohon tunggu...
Candika Putra Purba
Candika Putra Purba Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Pengajar Bahasa Indonesia

Senang membaca karya fiksi Senang mendengarkan musik Senang dengan dunia fotografi Berjuang untuk menjadi manusia yang berguna 24 Tahun Guru SMP

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ayah

14 Mei 2023   16:21 Diperbarui: 14 Mei 2023   16:37 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bapak

"Pergi, pergi kau dari sini, mukamu itu udah kotor, perlakuanmu juga sama... PERGIII!!!" suara itu terus mengaung di telingaku. Menemani langkah-langkah lesu, mengiringi tetesan air mata yang kini sudah padu dengan keringat dan debu. Kakiku terus melangkah, walaupun tanpa arah.

Ibu benar, seharusnya aku tak pernah masuk pada lubang itu. Lubang yang indah, namun dengan perlahan membawa jiwaku pada kelam dan derita. Harusnya aku mendengarkan ibu. Andai saja, perkataan ibu, yang membentakku untuk tidak pergi kudengar dan kupahami, tentu hari ini, ia tak akan mengusirku pergi. Seandainya permohonan Ibu yang ia ucapkan sambil berlutut kukunyah dan kutelan dengan baik, tentu air matanya tak akan jatuh hari ini.

Kutelusuri jalan demi jalan di kota ini. Kucoba mencari manusia yang bisa menerimaku dengan cinta. Namun, sepertinya tidak ada. Sepertinya tidak ada yang bisa. Aku termenung, menghentikan langkahku pada toko berkaca hitam. Ku lihat ada tempat duduk di sana. Ingatanku semakin liar, menggali memori yang tidak hanya terjadi pada hari kemarin atau dua hari lalu, tapi pada masa kecilku. Masa kecil yang bahagia, yang penuh tawa, penuh derita yang bermakna, yang membuatku menjadi lebih dewasa.

"erik, tangkap bolanya Nak," ingatan itu datang dengan air mata.

"erik, tangkap ya, kalau lolos lagi, berarti Bapak yang menang". Ucap Bapak dengan riang. Suara itu masih jelas dikepalaku, senyuman itu masih lengket di benakku. Bapak, orang yang pernah tertawa karena tingkahku, namun menangis karena kebodohanku. Orang yang menerimaku apa adanya, namun menahan derita

*2 tahun sebelumnya*

"Erik, coba kau pikirkanlah dulu, apa yang dibilang sama tetangga nanti kalau kau terus kek begitu!" ucap Bapak pelan.

"maksudmu? Maksudmu apa Pak?" tantangku. Umurku 25 kala itu. Kala aku sudah berani melawan Bapak, merasa bahwa aku punya hak untuk dibenarkan

"ya, kau taulah, masa laki-laki kayak begitu." Bapak terlihat menahan emosi..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun