Dalam pelaksanaannya ada kendala yang dihadapi, diantaranya sikap pesimis dan apatis sebagian orang. Menghadapi kendala tersebut, Sutarno berprinsip 'mengubah tontonan jadi tuntunan'.
Semalas-malasnya orang jika terus menerus diberikan keteladanan, tentu ia akan bergerak. Warga yang terlibat dalam KBA tidak dibatasi usia. Pensiunan dengan keleluasaan waktu bisa diberdayakan. Akan lebih baik anak muda bisa diberdayakan.
Banyak orang termotivasi dan belajar mengenai kepedulian lingkungan. Mereka menginginkan lingkungan bersih dan hijau serta masyarakat sejahtera. Ketika  kesadaran akan pentingnya lingkungan hidup sudah muncul, materi berikutnya adalah  pengolahan sampah organik dan sampah anorganik. "Pengolahan sampah menunjang penghijauan dan memperkuat ketersediaan pangan," kata Sutarno.
Sutarno menilai, sebenarnya penghijauan dan pengolahan sampah itu perlu dilakukan dimanapun kita berada. "Zona hijau sebanyak 70%," tutur Sutarno yang kini beralih peran dari guru kelas menjadi guru sampah.
Pilar Kewirausahaan
Sutarno menjelaskan perihal komposter yang diproduksinya sejak 2008. Pemikirannya saat itu adalah pengolahan sampah memerlukan sarana. Komposter juga menjadi alat penanganan sampah langsung dari sumbernya.
Komposter dibagi menjadi komposter 5 liter (untuk praktikum pelajar atau mahasiswa), 25 liter, 35 liter, 60 liter (untuk skala rumahan), 80 liter, 120 liter, dan 200 liter (untuk rumah makan atau hotel). Sutarno mengembangkan komposter yang praktis (tidak diaduk) serta tidak menimbulkan bau dan polusi.
Selain dijual di seminar dan media sosial, komposter juga dipesan Astra untuk kampung-kampung binaannya yang memiliki bank sampah. "Beberapa warga kami pekerjakan untuk membuat komposter. Kami juga memasok bahan pembuatan komposter dari tukang tambal bantal dan tukang loak. Komposter ini menggunakan bahan 99% plastik supaya tidak berkarat," ujar Sutarno.