Mohon tunggu...
Claudius Evan
Claudius Evan Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Kompasiana

Hi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kritik Sastra Pragmatik Novel "Merantau ke Deli" Karya Hamka

28 Februari 2022   22:24 Diperbarui: 28 Februari 2022   22:34 2691
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kritik Sastra Pragmatik Novel Merantau ke Deli Karya Hamka

ANALISIS NOVEL Merantau ke Deli 

Kritik sastra pragmatik merupakan kajian penilaian terhadap suatu karya sastra dengan memberikan pengajaran berupa efek partikular. Efek pada kritik sastra ini meliputi efek kesenangan, estetika, pendidikan, didaktif, agama, rekreatif, dan lainnya. Berdasarkan efek-efek tersebut, novel ini mengandung efek berupa efek estetis, kesenangan, kepedihan, didaktif, yang akan dianalisis.

Novel berjudul "Merantau ke Deli" karangan Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau Buya Hamka merupakan novel terbitan tahun 1939 yang memiliki cetakan terbaru pertamanya pada tahun 2017 melalui Penerbit Gema Insani. Novel cetakan keempat dari Penerbit Gema Insani memiliki total halaman sebanyak 196. "Merantau ke Deli" pertama kali hadir dalam bentuk cerita bersambung dalam majalah Pedoman Masyarakat sebelum dibukukan oleh Penerbit Bulan Bintang. "Merantau ke Deli" sudah diterbitkan hingga cetakan keempat oleh Penerbit Gema Insani.

"Merantau ke Deli" diawali dengan pertemuan seorang pedagang berdarah Minangkabau bernama Leman dengan seorang pekerja kebun simpanan seorang mandor besar berdarah Jawa bernama Poniem di Deli. Kedua insan itu kemudian jatuh cinta dan dengan harta emas yang diambil Poniem dari mandornya, mereka mulai berniaga di Medan sebagai seorang suami-istri. Sebagai pasangan berbeda adat, budaya, dan latar belakang, banyak rintangan menanti di hadapan mereka. Leman memiliki prinsip-prinsip hidup yang ditanamkan sebagai seorang dari ranah Minangkabau sedangkan Poniem dengan adat Jawa. Meski demikian, mereka tetap menjadi sepasang suami-istri yang setia dan sukses dalam perniagaannya. Mereka dibantu oleh seorang kuli Jawa bernama Suyono yang kelak menjadi tangan kanan Leman dalam berniaga.

Meski sudah bergelimang harta, Leman dan Poniem tidak kunjung memiliki anak. Para kerabat, eman-teman perempuan, dan Sutan Paduko di kampung halaman Leman menyarankan untuk mencari istri baru berdarah Minang sekaligus untuk mempertahankan tradisi. Bisikan para kenalannya di kampung terus berputar di dalam kepala Leman. Tak kenal malu, Leman menyetujui pernikahannya dengan Mariatun, wanita muda di kampungnya. Hal ini dilakukannya tanpa sepengetahuan istrinya, Poniem. Menjelang hari pernikahan keduanya, Leman kemudian tetap memberi tahu keputusan beratnya ini. Poniem yang malang tak dapat beranjak dari kasur selama berjam-jam, selain membasahi pipinya dengan air mata dan membiarkan wajahnya terbenam di bantal bersama perasaannya.

Pernikahan Leman dan Mariatun berlangsung baik setelah Poniem akhirnya menyetujui dengan perasaan enggan. Lika-liku rumah tangga bermunculan satu-persatu seiring waktu berjalan, memperlihatkan sisi-sisi berbeda dari ketiga tokoh itu. Mariatun kurang berpengalaman dalam mengurus rumah, menjadi bahan ejekan Poniem. Poniem di sisi lain, tidak disukai Mariatun lantaran latar belakangnya yang berbeda dan sudah berumur. Leman sebagai suami dari kedua istri ini, termakan nafsu sehingga perniagaannya menjadi kurang pengawasan dan lebih berkenan pada istri mudanya, Mariatun. Alhasil kesabaran Poniem menjalar hingga ujung tanduk dan bertengkarlah antara Poniem dengan Mariatun, yang kemudian menjadi awal perpecahan hubungan Leman dengan Poniem.

Suyono dan Poniem berpisah ketika Leman tak lagi menerima mereka sebagai 'keluarga' lantaran anggapan sinisnya terhadap orang Jawa. Meski Leman kemudian dikaruniai anak, hartanya tak lagi sebanyak dulu. Suyono dan Poniem yang berkontribusi besar dalam perniagaannya tak lagi bersamanya. Kelak, Suyono dan Poniem menyelaraskan perasaan mereka dan kemudian memulai hidup yang baru bersama dengan menikah. Hati yang sengsara setelah berhadapan dengan perkara rumit, akhirnya diselesaikan dengan pertemuan Leman, Suyono, dan Poniem yang membentuk tali silaturahmi bagi mereka semua.

Analisis karya sastra berupa efek estetis, kesenangan, kepedihan, dan didaktif yang terdapat dalam "Merantau ke Deli":

  1. Efek Estetik

Fungsi estetik dalam kritik sastra pragmatik adalah untuk menilai keindahan yang dikemas penulis dalam bentuk tulisan atau gaya bahasa. Hamka yang terlahir dalam keluarga Minangkabau yang religius, menempuh pendidikan di Padang Panjang dan Mekkah, serta aktif dalam gerakan Muhammadiyah membuat bahasa dan tulisan yang digunakan beliau dalam novel-novelnya mengandung makna dan erat kaitannya dengan bahasa Minang dan unsur islami, tak terkecuali novel "Merantau ke Deli". Bahasa Minang dituturkan oleh masyarakat Sumatera Barat yang masih erat rumpunnya dengan Bahasa Melayu.

badaman: bungkusan kain  (Hamka, 1939, p. 34)

engku: tuan, orang yang dihormati (Hamka, 1939, p. 43)

"Lai salamat-salamat sajo di jalan?": Apakah baik-baik saja di jalan? (Hamka, 1939, p. 52)

"Si Rapiah lai basuo di Labung?" hlm 53 : Sudah berjumpa si Rapiah di Lebong? (Hamka, 1939, p. 53)

Tungganai: kepala suku yang dituakan dari suatu keluarga yang sepersukuan (Hamka, 1939, p. 58)

taklik: istri yang digantungkan statusnya oleh suami  (Hamka, 1939, p. 62)

khulu:  permintaan cerai yang diajukan istri kepada suaminya  (Hamka, 1939, p. 62)

Anak Pisang: disebutkan terhadap anak saudara laki-laki oleh saudara perempuan. (Hamka, 1939, p. 84)

Bagindo Kayo  (Hamka, 1939, p. 26)

Sutan Panduko  (Hamka, 1939, p. 56)

Dalam novel ini, Hamka juga menggunakan beberapa majas dalam menceritakan alur dan kejadian dan puisi lama berupa pantun.

"Oh Poniem, aku tidak mau begitu. Aku mau menikah. Aku berjanji sepenuh bumi dan langit akan memeliharamu akan membelamu."  (Hamka, 1939, p. 16)

Merupakan majas hiperbola pada frasa 'sepenuh bumi dan langit'.

"Kalau hati duka dibawa gelak, tak ubahnya seperti panas mengandung hujan"   (Hamka, 1939, p. 33)

Merupakan majas asosiasi.

"Hei, itu perlu juga aku tanyakan, bukan? Bukankah anak itu buah hati pengarang jantung, pateri berumah tangga?  (Hamka, 1939, p. 70)

Merupakan majas metafora. Buah hati pengarang jantung memiliki arti yang dicintai.

Pantun:

"Makan sirih ujung-ujungan

Kurang kapur tambahi ludah

Tanah Deli untung-untungan

Hidup syukur mati pun sudah".

Penulis melihat bahwa pantun ini memiliki arti nilai bahwa pahit-manis hidup seorang dalam merantau ke tanah lain patut disyukuri apapun hasil yang diterima.

  1. Efek Kesenangan

"Hampir Leman melompat dari tempat duduknya lantaran kegirangan, lupa dia bahwa Poniem belum jadi istri-nya. Kalau tidaklah karena malu kepada orang yang lalu lintas di sebarang tanah lapang itu, maulah rasanya dia merangkul perempuan muda itu ke dalam pelukannya."  (Hamka, 1939, p. 17)

Leman menunjukkan ekspresi kebahagiaan yang ia rasakan setelah Poniem bersedia untuk menjadi istrinya. Hamka menggambarkan situasi yang dapat dirasakan pembaca melalui kutipan dan percakapan antara Leman dan Poniem, tentang bagaimana keinginan Leman akhirnya dapat terkabulkan.

"Poniem..." ujar Leman. Air mata Leman pun mengalir tidak tertahan lagi. "Poniem, dengan apa jasamu Abang balas?"  (Hamka, 1939, p. 37)

Poniem menumpahkan kepercayaannya dalam hidup berdua dengan memberikan harta emas agar perniagaan Leman bisa dikembangkan. Leman yang sebelumnya bermuka muram karena habisnya uang modal tak cukup kuat menahan rasa bahagianya setelah melihat emas itu. Pembaca dapat memahami kesenangan Leman setelah pergulatan Leman yang berbuah baik berkat bantuan istrinya. Sejak itu, Leman tidak lagi selalu terpaku pada ajaran kampung halamannya yakni berjuang sendiri agar seorang istri hanya dapat 'terima beres', tetapi selalu berdua bahagia dalam berniaga dan berkeluarga. 

  1. Efek Kepedihan

Remuk, bagai kaca terhempas ke batu rasa hati Poiem. Sakit, tetapi ke mana kana diadukan. Telah lepas segala mimpinyam sudah tamat cerita keberuntungannya.  (Hamka, 1939, p. 94)

...

Baru saja suaminya pergi, Poniem masuk kembali ke dalam kamarnya. Di sana dihantamnya menangis sepuas-puasnya. Dia tidur berbaring, kadang-kadang menghadap ke kiri dan kadang-kadang menghadap ke kanan. Langkah Leman sejak meninggalkan rumah sampai tiba di rumah Mariatun hingga mengadakan ijab dan kabul, semuanya itu seakan-akan teradengar di telinganya. Setiap diingatnya, air mata pun timbul pula kembali.  (Hamka, 1939, p. 98)

...

"Ya Allah, ya Rabbi!" Teringat olehnya itu, terlengking pula dia kembali menangis, sedu sedannya terdengar oleh orang sebelah, kedengaran pula oleh Suyono dan dua orang temannya yang tidur di dapur.

Sudah berkokok ayam tanda hari mau pagi, barulah matanya terlayan-layan hendar tidur, tetapi sedu sedannya belum juga berhenti.  (Hamka, 1939, p. 99)

Hamka menggambarkan perasaan Poniem yang pedih ketika ditinggal suaminya melaksanakan pesta pernikahan dan malam berdua dengan dalam. Dimulai dengan calon istri baru Leman yang bernama Mariatun menuruni kereta, menetap hingga 3 hari lamanya, hingga mendengar penyesalan Leman sebelum berangkat melaksanakan akad nikah pada malam ketiga.  Poniem digambarkan sebagai wanita kuat sepanjang alur, bahkan ketika dihadapkan dengan situasi ini sekalipun. Perasaan berat yang sejauh ini ditahannya akhirnya  ia lepaskan seluasnya pada malam itu. Hamka membuat pembaca dapat merasakan pedihnya seorang istri yang harus merelakan pasangannya bersama dengan pasangan baru. Sebagai manusia, menangis adalah hal lumrah dalam melampiaskan segala emosi yang berkecamuk, terlebih jika hal itu menyangkut bagian terpenting hidup. Hamka juga menggambarkan tentang bagaimana manusia terkadang merasa lebih baik menyembunyikan perasaannya jika memang itu adalah hal yang terbaik agar orang tersayangnya dapat bahagia, sebagaimana ditunjukkan Poniem yang tidak menangis dan bersikap memaafkan Leman sebelum Leman hendak pergi melaksanakan akad nikahnya.

  1. Efek Didaktif

  1. Nilai Budaya

"Tidak Poniem, itu cuma kesusahan seorang laki-laki, perempuan tidak boleh memikul kesusahan pula."

...

"Adat istiadat kami, Poniem, menurut adat kami, seorang perempuan hanya tinggal tahu beres saja. Perempuan hanya menerima bersihnya, dia tidak perlu menghiraukan kesusahan suaminya, yang perlu baginya hanya menanakkan nasi supaya suaminya jangan lapar, menyediakan teh, dan mencucikan kain bajunya.

Kerja laki-laki mencarikan keperluan untuk perempuan, membuatkan rumah, mencarikan tambahan sawah ladangnya. Apabila pekerjaan itu berhasil, dia boleh pulang dengan bangga. Jika tidak, dia akan pulang juga dan suaminya akan terus berusaha, dia akan pulang oleh karena dijemput oleh mamaknya."  (Hamka, 1939, p. 35)

Hamka melalui tokoh Leman menjelaskan budaya dan tradisi orang Minangkabau yang harus menanggung beban keluarga dengan menetapkan suami sebagai pencari nafkah mutlak dan sumber kebahagiaan istri. Dalam perantauannya, orang Minangkabau harus bisa membentuk kehidupan rumah tangga yang sejahtera tanpa membebankan istrinya. Hamka menitikberatkan budaya ini dengan menunjukkan keterpurukan Leman ketika tidak memiliki modal lagi untuk melanjutkan perniagaannya. Sebaiknya, permasalahan lebih baik diselesaikan secara bersama seperti yang ditunjukkan oleh Poniem, agar solusi yang bisa didapat menjadi lebih pasti, efisien, dan lancar.

"Dia bukan orang kita," ujar perempuan itu pula. 

"Ya itu sajalah salahnya, itu saja yang rasa keberatan. Meskipun budinya baik, kelakuannya terpuji, sayang dia tidak orang kita. Bagaimanapun kekayaan yang didapat Leman, tentu setinggi-tinggi melambung akan kembali ke tanah jua, ke mana kekayaan yang sebanyak itu akan dibawa." (Hamka, 1939, p. 54)

Jawab perempuan-perempuan itu pula. "Dan kalau engkau bawa dia ke kampung di hari tuamu, di mana dia akan tinggal dan ke mana dia akan engkau bawa. Engkau buatkan dia rumah, tidak ada tanah buat dia. Tanah kita sempit, sawah kita telah banyak dijadikan perumahan karena tak cukup tanah. (Hamka, 1939, p. 60)

Leman dihadapi dengan dilema dan frustasi ketika dihadapkan dengan bisikan dan pikiran akan adatnya yang menyebutkan siapapun istrinya, dari suku apa, 'setinggi-tinggi melambung akan jatuh ke tanah jua'. 'Suku tidak dapat dialih, malu tidak dapat dibagi'. Artinya, Leman sebagai orang Minangkabau pada akhirnya akan kembali pada kampung halamannya itu. Permasalahannya adalah Poniem sebagai orang Jawa, tidak diterima secara adat meski bersikap baik. Mereka dipersulit oleh aturan adat meski sudah saling mencintai dan menerima. Hamka menunjukkan sulitnya penerimaan antar etnis dalam suku Minangkabau berujung pada permasalahan dan konflik pernikahan antar etnis. Pemilihan keputusan harus dipilih dengan sangat matang atas segala dasar konsiderasi dan konsekuensi, agar tidak menyesal di kemudian hari.

  1. Nilai Agama

"Tidak Poniem aku akan dicelakakan Allah kalau aku berbicara main-main" (Hamka, 1939, p. 14)

"Demi Allah, aku akan melindungimu, Poniem! Dan biarlah Allah akan memberikan hukuman yang setimpal kepadaku, jika aku mangkir dan berkhianat." (Hamka, 1939, p. 16)

Kutipan tersebut terjadi ketika Leman memohon dan bersumpah pada Tuhan Yang Maha Esa bahwa dirinya serius untuk menikahkan Poniem. Dalam menjalankan segala hal, ada baiknya berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai agama yang dianut terlebih dahulu agar dapat dilancarkan dan diberkati dalam segala pemikiran dan perbuatan.

  1. Nilai Sosial

"Maafkanlah, Kak!" mendesak ibu si Maryam

"Maafkanlah Yem," ujar Suyono. "Itu adalah sifat mulia, harus dibalas dengan mulia pula."

Sebelum Leman sanggup bertanya mengapa Suyono terus berkata, "Biarlah kita ulang yang dahulu sedikit supaya lekas selesai. Pertama aku ucapkan terima kasih karena lantaran asuhan dan ajaran Engku, aku telah pandai berniaga, berdagang, dan berjaya. Aku telah pandai memutarkan uang dan yang sedikit sampai kepada yang agak banyak. Demi ketika istri Engku ini atau janda Engku ini Engku ceraikan, karena dia orang Jawa kata Engku!" (Hamka, 1939, p. 182)

Suyono melambaikan tangan dengan senyum tapi air matanya menggelanggang. Poniem menggigit ujung selendangnya menahan tangis, melihat kereta api bertambah jauh.

Tiba-tiba Suyono yang agak jauh melihat Leman mengulurkan kepala sekali lagi, melambaikan sekeras-kerasnya. Rupanya baru dia tahu tangan anaknya berisi. Nyata terlihat oleh Suyono dia menggeleng-gelengkan kepala terharu. (Hamka, 1939, p. 188-189)

Setelah semua peristiwa berlalu, Hamka mengakhiri cerita dengan akhir yang damai dari semua tokoh. Nilai sosial yang ingin ditonjolkan adalah sebagai manusia, layaknya kita saling memaafkan pada sesama baik yang pernah bersalah pada kita maupun sebagai pengikat silaturahmi. 

Kesimpulan

Novel "Merantau ke Deli" memiliki banyak nilai yang bisa ditangkap oleh anak muda hingga usia dewasa. Nilai-nilai yang terkandung sebagian besar berhubungan dengan hidup kebanyakan orang. Adanya kesenangan dan kepedihan dalam alur cerita membuat emosi pembaca menjadi larut dalam keseruan, kesedihan, ketegangan, dan lainnya. Sentuhan budaya Minangkabau dan Jawa juga menjadi daya tarik pembaca dalam memahami hubungan pernikahan antar etnik yang bukan merupakan hal mudah. Menurut penulis, novel ini direkomendasikan untuk remaja dan dewasa dikarenakan konflik yang terdapat sedikit kompleks dan lebih berhubungan dengan kehidupan orang dewasa, seperti rumah tangga, bisnis, dan lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Hamka, Buya. 2021. 'Merantau ke Deli'. Jakarta. Depok. Gema Insani

Pangesti, Rika. 'Sinopsis: Pengertian, Fungsi, Ciri-ciri, dan Langkah Membuatnya' https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5884871/sinopsis-pengertian-fungsi-ciri-ciri-dan-langkah-membuatnya#:~:text=Jakarta%20%2D%20Sinopsis%20adalah%20salah%20satu,mulai%20dari%20awal%20hingga%20akhir.

Abror, Rizaldi. 'Materi Bahasa Indonesia Kelas 12: Mengenal Teks Kritik dan Esai' https://pahamify.com/blog/bahasa-indonesia-kelas-12-apa-itu-kritik-dan-pengertian-esai/

Penulis Anonim. http://repository.uinbanten.ac.id/1568/5/BAB%20III.pdf

Penulis Anonim. https://www.ilmuwanpsikologi.com/2021/03/penulisan-daftar-referensi-apa-style-7.html

Penulis Anonim. https://www.kompas.com/skola/read/2020/11/18/165640669/struktur-kritik-dan-esai?page=all

Hartono. http://staffnew.uny.ac.id/upload/132049472/pendidikan/materi-kuliah-pengantar-ilmu-sastra-ii-pendekatan-dalam-pengkajian-sastra.pdf

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun