Mohon tunggu...
Claudius Evan
Claudius Evan Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Kompasiana

Hi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kritik Sastra Pragmatik Novel "Merantau ke Deli" Karya Hamka

28 Februari 2022   22:24 Diperbarui: 28 Februari 2022   22:34 2691
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

"Ya Allah, ya Rabbi!" Teringat olehnya itu, terlengking pula dia kembali menangis, sedu sedannya terdengar oleh orang sebelah, kedengaran pula oleh Suyono dan dua orang temannya yang tidur di dapur.

Sudah berkokok ayam tanda hari mau pagi, barulah matanya terlayan-layan hendar tidur, tetapi sedu sedannya belum juga berhenti.  (Hamka, 1939, p. 99)

Hamka menggambarkan perasaan Poniem yang pedih ketika ditinggal suaminya melaksanakan pesta pernikahan dan malam berdua dengan dalam. Dimulai dengan calon istri baru Leman yang bernama Mariatun menuruni kereta, menetap hingga 3 hari lamanya, hingga mendengar penyesalan Leman sebelum berangkat melaksanakan akad nikah pada malam ketiga.  Poniem digambarkan sebagai wanita kuat sepanjang alur, bahkan ketika dihadapkan dengan situasi ini sekalipun. Perasaan berat yang sejauh ini ditahannya akhirnya  ia lepaskan seluasnya pada malam itu. Hamka membuat pembaca dapat merasakan pedihnya seorang istri yang harus merelakan pasangannya bersama dengan pasangan baru. Sebagai manusia, menangis adalah hal lumrah dalam melampiaskan segala emosi yang berkecamuk, terlebih jika hal itu menyangkut bagian terpenting hidup. Hamka juga menggambarkan tentang bagaimana manusia terkadang merasa lebih baik menyembunyikan perasaannya jika memang itu adalah hal yang terbaik agar orang tersayangnya dapat bahagia, sebagaimana ditunjukkan Poniem yang tidak menangis dan bersikap memaafkan Leman sebelum Leman hendak pergi melaksanakan akad nikahnya.

  1. Efek Didaktif

  1. Nilai Budaya

"Tidak Poniem, itu cuma kesusahan seorang laki-laki, perempuan tidak boleh memikul kesusahan pula."

...

"Adat istiadat kami, Poniem, menurut adat kami, seorang perempuan hanya tinggal tahu beres saja. Perempuan hanya menerima bersihnya, dia tidak perlu menghiraukan kesusahan suaminya, yang perlu baginya hanya menanakkan nasi supaya suaminya jangan lapar, menyediakan teh, dan mencucikan kain bajunya.

Kerja laki-laki mencarikan keperluan untuk perempuan, membuatkan rumah, mencarikan tambahan sawah ladangnya. Apabila pekerjaan itu berhasil, dia boleh pulang dengan bangga. Jika tidak, dia akan pulang juga dan suaminya akan terus berusaha, dia akan pulang oleh karena dijemput oleh mamaknya."  (Hamka, 1939, p. 35)

Hamka melalui tokoh Leman menjelaskan budaya dan tradisi orang Minangkabau yang harus menanggung beban keluarga dengan menetapkan suami sebagai pencari nafkah mutlak dan sumber kebahagiaan istri. Dalam perantauannya, orang Minangkabau harus bisa membentuk kehidupan rumah tangga yang sejahtera tanpa membebankan istrinya. Hamka menitikberatkan budaya ini dengan menunjukkan keterpurukan Leman ketika tidak memiliki modal lagi untuk melanjutkan perniagaannya. Sebaiknya, permasalahan lebih baik diselesaikan secara bersama seperti yang ditunjukkan oleh Poniem, agar solusi yang bisa didapat menjadi lebih pasti, efisien, dan lancar.

"Dia bukan orang kita," ujar perempuan itu pula. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun