Zaman kami kuliah, akronim KKN sebagai Korupsi Kolusi dan Neputisme, belum ada dalam kamus bahasa gaul. Akronim KKN yang sangat populer kala itu ialah Kejar-kejar Nona. Sedangkan bagi wanita, Kejar-kejar Nyong.
Dari segi usia, memang waktu yang tepat untuk mulai lirik-lirik memikirkan calon pasangan hidup kita. Berdasarkan umur, masuk usia sangat subur untuk membentuk keluarga. Secara fisik mental dan pendidikan pun dianggap telah memenuhi persyaratan. Pertanyaan berikutnya adalah, "Siapakah jodohku?"
Pengumuman Lokasi KKN Unhas Gelombang XLII (42), di tempel di jendela gedung Pasca Sarjana. Kampus baru Tamalanrea waktu itu masih sangat gersang. Pohon-pohon pun baru ditanam sepanjang kiri kanan jalan masuk ke kampus. Di belakang bangunan yang merangkap gedung penelitian, ada galian tanah yang cukup dalam. Setiap kali hujan, lubang ini menampung air sehingga membentuk danau kecil.
Ada beberapa gazebo di sekitar danau buatan tersebut. Sejak pengumuman KKN, hampir semua orang berebut ingin duduk santai menikmati sepoi angin dari danau. Selain sejuk dan teduh, lokasinya juga sangat nyaman untuk membidik calon kekasih hati.
Contohnya aku. Siang itu aku asyik mengamati kerumunan mahasiswa yang sedang membaca pengumuman. Mataku menangkap tubuh tegap tinggi, rambut hitam sedikit bergelombang. Tersisir rapi, agak panjang tapi tidak gondrong. Hanya menyentuh lipatan kerah polo yang dia kenakan.
Bahunya lebar dan cukup atletis. Wajahnya? Entahlah, sebab aku hanya melihat posturnya dari belakang. Herannya, selama aku mengamati, si pemilik postur ini tak pernah menengok ke arah gazebo tempat kami duduk.
***
Matahari semakin tinggi. Novi sudah ribut mengajakku pulang bersama. Semalaman bahkan seminggu lebih aku dibikin penasaran sebab tidak sempat melihat wajah si pemilik badan atletis yang hari itu telah membuat jantungku dagdigdug tidak karuan.
Tiba hari pembekalan, ada sekitar 300 mahasiswa yang hadir di aula serba guna Unhas. Aku sengaja memilih bangku paling atas. Sambil mendengar ceramah dosen-dosen pendamping, mataku sibuk mencari sosok yang telah membuatku resah belakangan ini.
Namanya Alvian (dipanggil Pian). Mahasiswa fakultas Pertanian, jurusan Teknik Pertanian. Orang Toraja, tiga bersaudara, diapit adik dan kakak perempuan. Bapaknya tentara dan mereka tinggal di kompleks Yonif.
Kulitnya warna sawo matang. Tinggi 186 cm, berbadan tegak. Di bawah mata kiri ada tahi lalat kecil. Kumisnya malu-malu tumbuh. Seperti kumis Jengis Khan, hanya penuh di ujung. Tapi senyumnya manis sekali dan terasa adem.
Singkat kata, kami bertemu saat menunggu pete-pete sebab tempat tinggal kami searah. Dia di Km 12, aku di Km 22. Dalam pete-pete, dia duduk di dekat pintu. Aku duduk persis di belakang sopir, jadi bisa mengamati dari dekat. Sayangnya, belum sempat berkenalan, dia sudah turun sebab jarak dari kampus ke rumahnya hanya 2 km.
Pada malam pemberangkatan, kulihat keluarganya mengantar dia. Rupanya Pian mengambil postur dari papanya yang tegap dan sangat berwibawa.
Pagi ketika kami tiba di terminal terakhir pasar Tinambung, Novi sahabatku (mahasiswi Sospol), melanjutkan perjalanan dengan pete-pete. Ia ditempatkan di desa Lembang-lembang di Kecamatan Limboro. Ternyata mereka satu pete-pete. Entah kebetulan atau memang diniatkan sebab Pian tahu kalau aku dan Novi duduk sebangku dalam bus.
Melihat mereka melanjutkan perjalanan, aku hanya mendesah pesimis, "Belum juga kenalan, sudah dipisahkan. Mungkin bukan jodohku."
***
Tinggal selokasi dengan teman-teman baru selama 3 bulan ke depan, aku langsung membayangkan, mungkin salah seorang dari mereka adalah jodohku. Memang sih ada Oktavianus (mahasiswa FKM) yang sehari-hari sangat setia menemaniku kemana-mana.
Secara usia, aku jauh di atas dia, sebab aku masuk kuliah agak telat sedangkan dia waktu masuk SD mencuri umur karena terlalu muda. Lagi pula setelah menyusuri nenek moyang kami, ternyata masih ada ikatan tali keluarga yang sebetulnya cukup jauh. Namun di Sulawesi Selatan yang memakai sistem sepupu satu kali, sepupu dua kali dan seterusnya, hubunganku dan Okto termasuk sepupu sekian kali atau banyak kali. Kesimpulan, hubungan kami berdua hanya sebatas persaudaraan.
***
"Assalamualaikum," sapa seseorang dari luar.
Seperti melihat setan, aku terpaku melihat kedua tamuku yang berdiri di depan pintu. Mataku lekat mengawasi Pian dari ujung rambut ke ujung kakinya. Temannya langsung melambaikan tangan ke depan mukaku seperti hendak membuyarkan lamunanku.
"Tabe, saya Ali mahasiswa KKN yang ditunjuk sebagai Koordinator Kabupaten. Bisa bertemu dengan mahasiswa KKN di desa ini?" tanya Ali.
Ali yang memperkenalkan diri, tapi tanganku malah menjabat tangannya Pian dan memperkenalkan diriku, "Saya Ody, Sastra Indonesia '87."
Sebelum Pian merespon, aku langsung menebak, "Kamu Alvian jurusan Teknik Pertanian, ya?"
Kaget mendengar namanya disebut, Pian menarik tangannya ingin lepas dari genggaman tanganku. Padahal aku sedang merasakan aliran listrik yang mengalir langsung ke lubuk hati. Mukanya langsung merona. Entah malu atau bangga sebab aku menebak identitasnya.
"Oh kita juga mahasiswa KKN ya? Mana kawan-kawan lain?" tanya Ali.
"Mereka sudah keluar semua. Sisa saya sendiri. Karena belum punya program, jadi saya bantu-bantu nenek dan ibu di dapur sambil belajar masak," jawabku sesuai keadaan yang sebenarnya. Maksudnya, sekalian promosi juga kalau aku calon istri yang bisa masak.
Hari itu, akhirnya kami bertiga ngobrol ngalor-ngidul dan langsung akrab. Ternyata Ali dan Pian bersepupu. Paham dengan situasi kami, Ali cukup banyak membantu sepupunya agar 'latto' denganku.
Dalam bahasa gaul orang Makassar, latto bermakna 'jadian' dalam berpacaran. Padahal arti yang sesungguhnya, latto adalah proses ludah atau cairan lain (seperti ingus atau dahak) di dalam mulut yang terlanjur ditelan.
Karena mereka sering datang dan aku paling rajin menemani mereka, akhirnya teman-teman tahu kalau aku dan Tinu sedang pendekatan.
Asam di gunung, garam di laut, bertemu di belanga.
Pian ditempatkan di desa Sabang Subik yang terkenal sebagai daerah penghasil daun bawang. Jadi setiap kali datang, Pian selalu membawa oleh-oleh sayuran. Selain daun bawang, pernah ia membawa tomat keriting dan cabe rawit. Hari itu juga aku langsung mengolah ikan penja kering dengan sayur-sayuran yang dibawa Pian.Â
Pak Haji siang itu juga ikut makan bersama kedua tamu kami (Pian dan Ali). Serta merta Pak Haji langsung memberi restu kepada kami berdua sebagai pasangan yang cocok dan serasi. Beliau langsung mengutip peribahasa, "Asam di gunung, garam di laut, bertemu dalam belang. Ini yang namanya dari mata turun ke perut."
"Enak sekali ikannya," puji teman-teman. Ehm! Tentu saja enak, sebab masaknya pakai cinta! Padahal aku masaknya tanpa garam, sebab ikannya sudah asin.
Seperti biasanya, Pak Haji menjelaskan penja atau ikan seribu yang dikaitkan dengan budaya Mandar.
Menurut keyakinan orang Mandar, pada saat hujan atau musim tertentu, ikan ini turun langsung dari langit. Jadi kami menyebutnya ikan "tomanurung" yang dalam bahasa Mandar berarti turun dari surga. Tidak hanya manusia atau dewa-dewi yang diturunkan dari langit, tetapi ikan ini juga tomanurung. Â
Habitat ikan ini berada di sungai-sungai yang bermuara di laut dalam seperti Sungai Mandar. Saat akan bertelur, induk-induk penja menuju hulu. Di situ, mereka mengadakan pembuahan di luar. Telur-telur yang terbuahi akan hanyut ke arah laut. Di sana mereka menetas, menjadi dewasa. Kemudian menjalani takdir tradisi pendahulu mereka, pergi menuju hulu untuk kawin. Begitu seterusnya siklus kehidupan ikan penja.
Siang itu hatiku rasanya sangat plong. Sejak pertama kali datang, aku sudah bikin kesalahan waktu disuguhkan minuman teh. Aku tidak pakai acara krepet air sebelum diminum. Percaya atau tidak, teman-teman sangat meyakini bahwa tindakan ini untuk menghindar guna-guna atau jampi-jampi orang Mandar yang katanya terkenal sakti atau berilmu tinggi.
Aku juga sempat curiga, jangan-jangan Pak Haji menitip jampi-jampi sebab beliau sering mengunjungi kami dan suka banget senyum-senyum kepadaku. Dengar kisahnya, kakek ini juga beristri 9 dan masih ingin mencari istri baru. Karena teman-teman putri sudah pada dijodohkan, bahkan ada yang sudah menikah, maka aku selalu menjadi bahan canda bagi mereka.
Dan siang itu aku sangat plong sebab akhirnya latto juga dengan Pian. Kami resmi berpacaran yang disaksikan oleh Pak Haji, teman-teman dan keluarga Pak Desa.
Rutin setiap malam minggu Pian datang mengapel. Orangnya tenang kalem, cenderung pendiam. Jadi setiap kali aku yang inisiatif memancing obrolan. Kalau tidak dipancing, semalaman kami hanya duduk diam-diaman.
Kadang kala dia berujar untuk memecah keheningan, "Taplak mejanya bagus ya." Nanti jeda beberapa menit, dia ulang lagi kalimatnya, "Taplak mejanya cantik ya." Atau sambil mengalihkan pandangan ke vas bunga, ia berujar,"Bunganya cantik, ya."Â
Dalam semalam kalimat ini bisa diulang 7 sampai 8 kali. Biasanya Okto yang paling rajin menghitung. Jadi waktu Pian datang apel berikutnya, kami pernah melepas taplak dari atas meja dan menyembunyikan vas bunga untuk melihat reaksinya.
Kalau hari Minggu, kami keliling mengunjungi teman-teman KKN di lain desa atau lintas kecamatan. Waktu mengunjungi Novi di desa Lembang-lembang, ada acara mappalette atau marakka bola, yaitu gotong royong memindahkan bangunan rumah panggung milik orang Bugis. Acara seperti ini juga biasa digelar di tempat kediamanku dulu di Batang Ase yang masuk kabupaten Maros.
Acara lainnya, ziarah dari makam ke makam, seperti nyekar ke makam Raja Balanipa di desa Napo (Limboro). Kesempatan lainnya, mengunjungi makam Syekh Abdurrahim di pulau To Salama. Beliau adalah tokoh penyebar Islam pertama di tanah Mandar. Beberapa kali, kami juga mengunjungi tempat-tempat pembuatan perahu sandeq. Atau sekedar keliling di desa Lekopa'dis untuk melihat proses pembuatan sarung Mandar, dan lain sebagainya.
Dari semua acara yang kami kunjungi sebagai program 'pendekatan' atau pacaran di lokasi KKN, messawe to tamma (khataman) di Balanipa menjadi acara yang paling berkesan. Dalam acara itu kami menyaksikan kuda menari (sayyang pattudu) yang kendarai oleh disayyang (anak yang dipestakan karena telah khatam Al-Qur'an) dan pesayyang, yang mendampingi disayyang.
Kudanya dihias pakai kalung perak, penutup muka dan kacamata. Baik disayyang maupun pesayyang, mereka memakai baju adat Mandar. Kudanya sudah terlatih, namun tetap ada pengiring dalam acara tersebut yang dinamakan pesarung. Biasanya terdiri dari 2 orang yang menjaga di kiri dan kanan kuda, jadi semuanya 4 orang. Mereka juga memakai baju adat.
Acara ini sangat menarik dan unik karena kudanya pandai menari mengikuti irama tabuhan pa'rawana (pemain rebana). Arak-arakan menjadi lengkap dengan hadirnya pa'kalindaq-daq, orang yang melantunkan kalindaq-daq (syair) yang ditujukan kepada disayyang.
Kalindaq-daq adalah sastra lisan di Mandar yang syairnya berisi pesan-pesan leluhur (pappasang) dan bertema religi. Ritual mappatamma biasanya digelar bersamaan dengan pammunuang (maulidan). Jenis makanan khas yang disuguhkan pada akhir acara ini adalah marrappa' tiri' atau berebut telur rebus yang ditusuk serupa sate dan aneka model lainnya.
Acara ini sangat berkesan, sebab aku jadi mengenal karakter Pian yang sesungguhnya. Selama ini kupikir dia sangat pendiam tak banyak omong. Tapi ada tragedi setelah acara ini yang berakhir fatal buat kami berdua.
Waktu marrappa'tiri', kami masing-masing dapat 2 telur. Karena lapar, langsung kumakan keduanya. Setelah itu perutku mulai bergolak. Sepanjang perjalanan pulang, aku terus-terusan mengeluarkan gas dari dalam perut. Walau sudah kuusahakan sembunyi-sembunyi, tapi baunya tidak bisa diredam. Pian tahu kalau sumbernya keluar dari badanku.
Setiap kali dia menutup hidung sambil matanya menerawang jauh. Hadirku sudah tidak dipedulikan. Akhirnya dia bilang, "Kalau mau jadi istri orang Toraja, kamu harus bisa menahan apa yang barusan keluar. Masalahnya bukan cuma nama suami yang dipertaruhkan, tapi juga nama keluarga besar. Nama marga."
Ooops!? Aku diam seribu bahasa. Aku tak tahu harus menjawab apa. Perutku kembung dan bergejolak sangat hebat. Aku berusaha menahan, tapi angin itu keluar tanpa bisa diajak kompromi. Di sisi lain, aku merasa lega sebab sakit yang menusuk-nusuk perutku, mulai berkurang setiap kali gas keluar.
Kalau ada cermin, aku yakin wajahku pucat pasi saat itu. Bukan karena kata-kata Pian, tapi menahan kembung dan sakit di perut. Badanku dingin nyaris menggigil. Jadi satu-satunya cara yang paling aman, hanya diam dan melipat kedua lengan di atas perut untuk menahan sakit.
Sore itu Pian langsung pamit tanpa unjuk diri ke Pak Desa yang biasanya duduk-duduk sore di beranda menunggu kami. Aku langsung bergegas ke kamar mengambil sarung, mengganti sepatu dengan sandal dan mengajak Okto menemani ke pantai. Melihat mukaku sudah pucat pasi, Pak Desa langsung mengerti dan meminjamkan motornya.
Kembali dari pantai, aku cerita acara demi acara seharian itu, termasuk rebutan telur dan insiden setelah makan telur. Semua yang mendengar kisahku, ikut prihatin.
"Setiap hubungan, tak selamanya harus berjalan mulus. Kadang kala ada batu kerikil di tengah jalan. Atau ombak yang datang menghantam biduk kalian. Bukan sesuatu yang aneh," nasehat Pak Desa yang menganggapku sudah seperti anak sendiri karena dia tahu aku perantau di Sulawesi.
Sabtu berikutnya, hanya Ali yang datang dan mengabarkan bahwa Pian sangat sibuk. Hari Minggu Pian juga tidak datang. Demikian pula dengan weekend berikutnya. Aku sendiri sudah menimbang-nimbang kalimat yang disampaikan Pian sore itu.
Akhirnya aku menulis surat yang kutitip lewat Ali.
"Dear Pian, apa kabar? Sudah beberapa minggu kamu tidak pernah datang berkunjung ke Lekopa'dis. Aku tahu kamu marah dan tidak bisa terima situasiku waktu itu. Padahal aku sudah berusaha, tapi gagal. Apa boleh buat, perutku semakin bergejolak setiap kali ditahan. Â
Aku juga sudah merenungi kata-katamu. Untuk hal kecil, ternyata kita berdua tidak ada kecocokan. Bagaimana dengan hal-hal besar di kemudian hari kalau ternyata kita berdua saling bertentangan ide?
Walau sedih, tapi aku tetap bersyukur sebab dari awal sudah membahas masalah 'sepele' yang bagiku sangat vital.
Demi kenyaman kita berdua, aku memutuskan untuk berteman biasa saja.
Terima kasih sudah mengisi indah hari-hari belakangan ini.
Salam hormat dari mantanmu.
***
"Sudah dipertimbangkan baik-baik?" tanya Ali yang ikut sedih sebab cintaku kandas di tengah jalan dan kami tidak jadi sepupuan. Dia juga merasa gagal sebagai mak comblang. Ali sangat menyayangkan kejadian ini, sebab dia yakin kalau Pian sungguh mencintaiku dan aku juga betul-betul kasmaran. Kami berdua terlihat sebagai pasangan yang sepadan dan sangat serasi.
Aku hanya tersenyum, tak menjawab. Pikiranku melayang, ingat abangku yang pernah dirawat seminggu karena tidak bisa mengeluarkan angin. Perutnya bengkak dan terlihat sangat menderita. Atas pengalaman ini, membuang gas setiap bangun tidur menjadi kebiasaan sehat di keluarga kami. Rasanya plong untuk memulai hari, sebab telah membebaskan sesuatu yang mengganjal dalam perut. Di keluargaku, kapan saja tidak ada larangan untuk mengeluarkan gas.
Setelah menyerahkan surat, akhirnya aku bisa bernapas lega. Rasanya plong karena terbebas dari adat yang bakal mengikatku dari hal-hal yang selama ini telah membuatku bahagia. Yah, hanya bisa membatin, "Belum jodoh"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H