Sore itu Pian langsung pamit tanpa unjuk diri ke Pak Desa yang biasanya duduk-duduk sore di beranda menunggu kami. Aku langsung bergegas ke kamar mengambil sarung, mengganti sepatu dengan sandal dan mengajak Okto menemani ke pantai. Melihat mukaku sudah pucat pasi, Pak Desa langsung mengerti dan meminjamkan motornya.
Kembali dari pantai, aku cerita acara demi acara seharian itu, termasuk rebutan telur dan insiden setelah makan telur. Semua yang mendengar kisahku, ikut prihatin.
"Setiap hubungan, tak selamanya harus berjalan mulus. Kadang kala ada batu kerikil di tengah jalan. Atau ombak yang datang menghantam biduk kalian. Bukan sesuatu yang aneh," nasehat Pak Desa yang menganggapku sudah seperti anak sendiri karena dia tahu aku perantau di Sulawesi.
Sabtu berikutnya, hanya Ali yang datang dan mengabarkan bahwa Pian sangat sibuk. Hari Minggu Pian juga tidak datang. Demikian pula dengan weekend berikutnya. Aku sendiri sudah menimbang-nimbang kalimat yang disampaikan Pian sore itu.
Akhirnya aku menulis surat yang kutitip lewat Ali.
"Dear Pian, apa kabar? Sudah beberapa minggu kamu tidak pernah datang berkunjung ke Lekopa'dis. Aku tahu kamu marah dan tidak bisa terima situasiku waktu itu. Padahal aku sudah berusaha, tapi gagal. Apa boleh buat, perutku semakin bergejolak setiap kali ditahan. Â
Aku juga sudah merenungi kata-katamu. Untuk hal kecil, ternyata kita berdua tidak ada kecocokan. Bagaimana dengan hal-hal besar di kemudian hari kalau ternyata kita berdua saling bertentangan ide?
Walau sedih, tapi aku tetap bersyukur sebab dari awal sudah membahas masalah 'sepele' yang bagiku sangat vital.
Demi kenyaman kita berdua, aku memutuskan untuk berteman biasa saja.
Terima kasih sudah mengisi indah hari-hari belakangan ini.
Salam hormat dari mantanmu.