Siangnya, ketika kami keliling desa untuk berkenalan dengan masyarakat, barulah Wila mengingatkanku untuk berhati-hati dalam banyak hal, termasuk tata cara minum air yang disuguhkan warga yang terkenal 'ilmunya tinggi'. Kemudian Wila mengajariku cara menyentil air sebelum diminum.
"Amati dulu permukaan airnya. Kalau tidak ada bayangan muka kita, berarti air tersebut sudah dijampe-jampe. Sebaiknya, tidak diminum.Ya,pura-pura saja tempelkan mulut di bibir gelas."
Ooops, pelajaranku kesekian di hari pertama di KKN. Kali ini diajarkan Wila, mahasiswi fakultas Pertanian. Dia lahir dan besar di Pinrang, sekitar 2,5 jam dari Tinambung. Karena itu aku turuti saran dia yang pasti mengenal baik adat istiadat orang Mandar.
Ternyata teman-teman lain sudah tahu info ini waktu bisik-bisik dalam bus tadi malam. Mungkin aku satu-satunya yang tidak menyimak soal kepret mengepret air minum. Jadi, dalam hati sudah tertanam perasaan bersalah dan waswas sudah kena jampi-jampi orang Mandar.
"Kalian berdua, anak kembar ya?" tanya seorang ibu ketika melihat aku dan Betty memperkenalkan diri di salah satu rumah yang mengusahakan tenun sarung. Serta merta kami saling berpandangan dan baru menyadari bahwa wajah dan model rambut kami mirip satu sama lain. Kulit sama gelap karena terbakar matahari. Rambut sama-sama pendek, model jongen skop. Muka kami berdua, oval dengan mata bulat galak. Postur kami berdua, atletis. Aku lebih berotot, sedangkan Bety agak gemuk berisi dan lebih tinggi beberapa senti dibanding aku.
***
Sebelumi tidur, masih sempat terbayang-bayang senyum Pak Haji yang sejak awal selalu menatapku dari ujung rambut ke ujung kaki. Kena santet beliaukah aku? Maklum, desas-desus yang sampai ke telinga, katanya Pak Haji punya 9 istri. Dan masih ingin menambah istri.
Karena lelahnya perjalanan dan nyaris tidak tidur semalaman, akhirnya aku bisa tidur pulas pada malam pertama di desa bernama Lekopa'dis. Hari kedua dan seterusnya, aku juga mulai beradaptasi dengan keluarga Pak Desa, teman-teman serumah dan warga sekitar.
Selain Pak Udin, warga desa yang paling rajin bertandang ke tempat kami adalah Pak Haji. Beliau kalau datang tak pernah hampa tangan. Tetapi selalu membawa oleh-oleh makanan buatan salah satu istrinya.
Sambil kami mencicipi buah tangan bawaan Pak Haji, biasanya beliau bercerita tentang proses pengolahan dan asal usul makanan tersebut yang diselipkan dengan bahasa Mandar. Tentunya sambil mempromosikan kehebatan istri-istrinya yang bersaing damai dalam hal masak memasak. Jadi kami ikut menikmati suguhan-suguhan sedap karena hasil persaingan sehat antar kesembilan istri Pak Haji. Tak sampai 2 minggu, celana panjang sudah tak muat lagi. Perutku makin membuncit karena selalu makan enak.
Tak hanya piawai bercerita soal kegiatan warga desa Lekopa'dis yang sehari-hari berjamaah dalam mesjidnya, tetapi Pak Haji juga merekam banyak kisah-kisah heroik raja-raja Mandar, termasuk kisah-kisah mistis yang beredar di wilayah Tinambung dan sekitarnya.