Mohon tunggu...
Claudia Magany
Claudia Magany Mohon Tunggu... Lainnya - Freelance

Mantan lifter putri pertama Indonesia, merantau di Italia +15 tahun, pengamat yang suka seni dan kreatif!

Selanjutnya

Tutup

Kkn Pilihan

Samba Ria

27 Juni 2024   05:00 Diperbarui: 27 Juni 2024   06:23 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Samba Paria

Dulu itu, pernah ada raja Mandar yang sangat kejam. Kebisaan sang raja hanya memerintah rakyat membayar pajak tinggi demi memperkaya kerajaan. Rakyat dibuatnya miskin dan sangat susah. Sementara sang raja berlimpah harta kekayaannya.

Walau sudah beristri 13, raja tak pernah puas. Dia senang berburu wanita-wanita cantik. Maka, banyak wanita yang bersembunyi sebab takut dijadikan istri oleh baginda yang terkenal bengis dan serakah. Karena letak kerajaan ini di pesisir pantai, jadi banyak rakyatnya yang melarikan diri dengan perahu ke negeri lain.

Suatu malam sang raja bermimpi tentang bunga kuning kecil yang harumnya semerbak di tengah rimba belantara. Karena keelokan bunga tersebut, sang raja memanggil juru mimpi untuk mengartikan mimpinya.

"Daulat paduka, arti mimpi tentang bunga tersebut, baginda raja akan mempersunting gadis cantik dari tengah hutan untuk menjadi permaisuri. Namun gadis itu mempunyai tuba untuk melindungi dirinya," kata juru mimpi.

Saking penasaran, hari itu juga sang raja pergi berburu. Dikawal oleh para prajurit dan sekelompok anjing pemburu, pergilah raja bersama pasukan ke hutan-hutan rimba.

Sementara itu, nun jauh di tengah hutan ada sebuah rumah panggung yang tertutup oleh semak belukar. Rumah ini letaknya sangat tersembunyi karena dikelilingi oleh pohon-pohon tinggi. Siapapun tak akan mengetahui kalau di balik pepohonan tersebut ada sepasang kakak beradik yang tinggal di sana.

Sang kakak bernama Samba. Namun penduduk sekitar mengenalnya sebagai Samba Paria sebab ada pohon paria (pare) yang tumbuh merambat sangat subur mengelilingi rumah mereka.

Samba yang berusia 16 tahun, tinggal dengan adiknya laki-laki. Mereka sudah yatim piatu. Orang tua mereka dibuang ke pengasingan sebab pernah melawan raja. Tak hanya diasingkan, mereka juga dibunuh oleh prajurit raja dan harta mereka dirampas habis.

Persis ketika rombongan raja tiba di hutan lebat sekitar rumah Samba, salah seekor anjing mendapati sisa talas rebus yang terjatuh dari sela-sela lantai rumah panggung. Maka tahulah raja bahwa ada kehidupan tak jauh dari lokasi mereka.

Samba sangat terkejut waktu melihat raja datang bersama rombongan. Ia tak memiliki makanan untuk disuguhkan. Bahkan air pun tidak ada. Jadi ia menyuruh adiknya untuk mengambil air.

Terpesona oleh kecantikan Samba, raja yang licik itu sengaja membocorkan tempayan untuk menampung air. Dengan demikian, air yang akan diisi adiknya, tak akan pernah terisi penuh sampai ke rumah mereka.

Begitu adiknya pergi, sang raja langsung melakukan aksi, yaitu membawa Samba dengan paksa. Samba sangat ketakutan dan bermohon untuk tidak meninggalkan adiknya. Namun raja dengan bengis menjawab, "Tinggalkan dia sendirian biar dimakan binatang buas!"

Samba yang cerdas, langsung mendapat ide, "Kalau begitu, izinkan hamba mengumpulkan daun-daun paria ini, sebab hamba sangat menyukai sayur ini."

Sepanjang jalan, Samba membuang selembar demi selembar daun paria sebagai penunjuk jalan. Lembaran daun tersebut berakhir di depan istana. Maka tahulah adiknya bahwa sang kakak telah diculik oleh raja. Lalu ia pun bermohon kepada raja untuk menemui kakaknya, tapi permohonan ini ditolak.

Sebelum meninggalkan istana, adiknya yang membawa sebatang dahan kelor, berpesan kepada raja, "Tolong berikan dahan ini kepada kakak hamba untuk ditanam. Kalau tumbuh subur, artinya hamba baik-baik saja. Namun kalau pohon ini layu, maka artinya hamba sedang sakit."

Kali ini, permintaan tersebut dikabulkan. Raja pun memerintah prajurit untuk menanam dahan tersebut di halaman istana yang tanahnya sangat subur. Namun pohon kelor yang sempat bertumbuh itu, setiap hari bertambah layu dan nyaris mati. Maka Samba mencari akal untuk bisa menemui adiknya.

Suatu hari ketika raja pergi berburu, Samba sengaja menjatuhkan cincin pemberian raja pada saat ia mandi di sungai. Akibatnya, semua dayang-dayang sibuk mencari cincin tersebut. Kesempatan ini langsung dimanfaatkan oleh Samba untuk menjumpai adiknya di hutan yang sedang sakit.

Kakak beradik ini tahu bahwa raja pasti marah dan akan mencari mereka. Jadi Samba langsung menyiapkan racikan biji cabe rawit, merica dan daun kelor. Ketika raja datang mendobrak pintu mereka, Samba langsung menyiram racikan tersebut dan mengenai kedua mata sang raja.

Lolong raja tak kalah nyaring dengan lolong anjing yang menemaninya berburu. Namun lolong raja lebih dikarenakan menahan perih di mata yang luar biasa pedas, sehingga raja tak bisa melihat. Raja pun terpeleset dan jatuh. Kepalanya membentur batu di bawah rumah. Dan seketika itu juga raja tewas.

Rakyat yang mendengar berita ini, sangat gembira. Akhirnya ada rakyat yang bisa menaklukan raja mereka yang sangat kejam dan bengis. Maka rakyat meminta Samba untuk kembali ke istana, menggantikan posisi raja. Namun Samba lebih memilih tinggal bersama adiknya di tengah hutan, di rumah panggung warisan orang tuanya. (Cerita Rakyat Mandar)

***

Samba Paria adalah salah satu cerita yang sering dihikayatkan oleh Pak Haji saat mengunjungi kami di rumah Pak Desa. Tak sekali dua kali, tapi beberapa kali beliau menceritakan tentang Samba Paria yang menjadi kebanggaan rakyat Mandar pada umumnya. Kisah kepahlawanan gadis kecil bernama Samba, memang sangat inspiratif dan banyak pesan moral.

Kalau yang bercerita Pak Haji, dengarnya asyik sekali. Beliau giginya hanya sisa di depan. Kadang ada kata yang kurang jelas karena susah dilafalkan, jadi hanya terdengar seperti suara desis. Bawaan Pak Haji juga sangat kocak, banyak sekali guyonannya. Objek apa saja bisa menjadi bahan cerita yang menarik. Walau kadang kurang jelas lafalnya, tetapi kami bisa tertawa sampai terbahak-bahak.

Biasanya kalau makan tumis pare, kami saling berlomba menceritakan ulang kisah Samba Paria. Selain tumis kangkung, toge atau kacang panjang yang menjadi langganan, pare menjadi sayur favorit kami semua.

Entah terinspirasi dari kisah Samba atau memang kebetulan, di halaman rumah Pak Desa juga tumbuh pohon pare. Daunnya sangat lebat. Konon jika rajin dipetik, daunnya akan tumbuh semakin subur.

Kalau sudah minggu-minggu resah kehabisan uang, atas izin pemilik rumah, kami boleh memetik daunnya untuk ditumis. Dari satu pohon yang lumayan tinggi, berhasil dipetik senyiru (setampah) yang menggunung. Tapi begitu daun ini matang, hasilnya cuma semangkok kecil. Jadi cerita tumis daun pare tidak 'nyambung' dengan alur cerita Samba Paria. Sebab hanya saling rebut ingin kebagian sayur yang hanya secuil.

Di rumah Pak Desa tidak ada kompor. Juga rumah-rumah warga sekitar, umumnya masih memasak dengan kayu bakar. Memilih kayu, membakar dan meniup tungku, adalah sesuatu yang mengasyikan. Ada teknik tersendiri untuk meniup pakai buluh bambu. Harus pelan, tapi tekanan kuat dan fokus ke titik api. Sering kali asapnya berbalik arah sehingga hidung dan wajah bisa legam diterpa abu arang yang terbang keluar dari tungku.

Tips lainnya kalau masuk dapur, sebaiknya hindari memakai baju berwarna putih. Sebab waktu keluar, warnanya menjadi kelabu. Kalau di dapur, tangan juga jangan sembarangan pegang alat-alat dapur sebab umumnya hitam legam terbakar kayu api.

Karena alergi debu, setiap kali masuk dapur aku selalu bersin-bersin. Acap kali aku juga menggaruk hidung yang gatal atau mengucek mata yang perih kena asap. Padahal tanganku kotor penuh jelaga. Jadi teman-teman sering tertawa geli melihat tampilanku yang cemong sana-sini. Untung masa itu belum ada HP seperti sekarang. Awal tahun '90 untuk motret-motret harus irit dan menunggu momen tepat dan penting.

Untuk menjerang air ada teko dan untuk menanak nasi, ada dandang besar. Sedangkan untuk memasak ikan dan aneka sayuran tumis, pakai wajan atau panci tembikar (periuk) yang dinding permukaannya rendah. Mencuci benda-benda dari tanah liat ini hanya dengan merebus air panas setiap kali selesai memasak. Jadi bagian luarnya tetap berwarna hitam pekat. Jelaganya menebal sebagai sisa bakaran yang menempel di bagian dasar yang kena api. Otomatis, setiap hari benda-benda ini bertambah berat kalau sering dipakai.

Suatu sore ditemani Okto, aku menumis pare sambil mengulang cerita Samba Paria. Versi kami, sang raja ingin ikutan makan mencicipi sayur yang dimasak Samba. Maklum ceritanya belum selesai, tapi sayurnya sudah matang dan sudah dituang dalam lodor besar, siap hidang.

Karena tidak menemukan cempal, jadi aku menggunakan penjepit bambu untuk mengangkat wajan. Di samping tungku, ada air di teko yang siap menunggu giliran untuk dijerang. Maklum, harus gantian pakai tungku.

Waktu diangkat, wajannya berat sekali. Tanganku juga belum biasa menggunakan penjepit bambu yang rupanya getas. Antara ngeri takut patah dan tak kuat menahan, akhirnya wajan tersebut jatuh persis di atas tumis pare yang akan dihidangkan. Oh, oh... Bajuku juga kena ciprat sayur yang tertimpa benda berat.

Di atas rumah, teman-teman sudah menunggu dengan tak sabar. Nasi dan ikan sudah dihidangkan. Mereka sedang menunggu sayur datang. Sementara kami berdua sedang terpaku di dapur. Okto berbisik, "Mungkin kita berdua kena tulah sebab mengarang cerita asli. Salahmu itu karena bikin pleset cerita orang sini. Jadi sayurnya tidak bisa dimakan."

"Hush! Tak ada hubungan antara tulah dan wajan yang beratnya minta ampun!" sanggahku untuk mengalihkan isu tabu. Maklum, di desa ini banyak sekali hal-hal yang ditabukan. Jadi kalau sudah sebut kata ini, nanti berhari-hari bisa jadi bahan cerita yang panjang.

Tiba-tiba Aziz muncul dari balik tangga dan menanyakan sayur. Melihat wajan gosong ada di atas sayur matang, dengan santai Aziz memindahkan wajan tersebut. Dia mencomot beberapa potongan arang yang tertinggal di atas sayur. Setelah itu dia mengambil sendok, mengaduk-aduk sayur dan membawa ke atas untuk disuguhkan. Sebelum melangkah ke tangga, dia berbisik kepada kami, "Simpan kejadian ini untuk kita bertiga. Semoga tidak ada yang sakit perut!"

Maka malam itu kami makan bersama sambil senyum-senyum. Kali ini cerita parianya pakai versi ketiban wajan gosong. Untung besoknya, tak ada seorang pun yang mengeluh sakit perut. Sebab akan menjadi masalah besar kalau harus bulak-balik mengosongkan isi perut.

Sesekali Aziz berkomentar jika melihat kami berdua sedang berkutat di dapur, "Jangan khawatir, arang juga obat untuk bersihkan isi perut dari racun!" Dan setiap kali dia berkelakar tentang arang, kami terbahak-bahak mengingat kejadian tumis 'arang' yang menjadi rahasia kami bertiga.

***

Teman-teman bilang, aku dan Okto sudah seperti Samba Paria dan adiknya. Kemana-mana kami selalu bersama. Bahkan ketika pacarku ngapel, Okto ikut duduk tak jauh dari kami. Setiap ada temuan atau isu-isu baru, Okto juga langsung mengabarkan kepadaku.

Suatu sore, Okto menghilang tanpa pemberitahuan sebelumnya. Ketika pulang, dengan wajah berseri-seri dia bercerita soal pantai yang baru dikunjungi. Ternyata desa Lekopa'dis tak jauh dari pantai. Sekitar Tinambung memang ada pantai, tapi kami tak pernah mengira kalau dari desa Lekopa'dis juga ada jalan pintas untuk sampai ke pantai terdekat.

"Besok pagi, usahakan bangun subuh. Jangan lupa membawa sarung dan pakai sandal jepit, jangan sepatu."

"Kok bawa sarung? Mau ajak sembahyang ke mesjid Pak Haji, ya?" tanyaku.

"Lihat saja besok. Kejutan buat kamu."

***

Dalam gelap, kami mengendap-endap keluar dari pekarangan rumah. Hanya mengandalkan sisa terang dari bulan yang bercahaya keperakan, kami menyusur sepanjang tepi sungai Mandar yang membelah desa Lekopa'dis.

Bulan tampak memantul di atas permukaan sungai. Sesekali berubah bentuk menjadi oval dan kembali bulat atau abstrak karena mengikuti aliran air yang sesekali pecah kena benturan batu atau sampah yang melayang-layang di sungai.

Beberapa rumah penduduk di sekitar tepi sungai, lampunya tampak masih menyala remang-remang. Mungkin penghuninya masih terlelap. Bahkan ayam pun belum ada yang berkokok membangunkan penduduk desa.

Tiba di ujung sungai, aku bisa mencium bau yodium yang menguap dari laut. Juga terdengar jelas suara ombak yang dimainkan angin. Sekitar pantai masih gelap. Sejauh mata memandang, hanya terlihat buih ombak yang bergelombang berupa kumpulan busa berwarna putih.

Ketika mendongakkan kepala ke langit, wow!? Pemandangannya luar biasa indah! Seumur hidup tinggal di Jakarta, hanya sebuah tempat bernama 'planetarium' di Cikini yang bisa melihat ribuan bintang berkelap-kelip. Mungkin waktu kecil dulu, pernah juga melihat taburan bintang bercahaya di langit di atas Rawamangun yang kala itu belum terjamah listrik.

Pernah juga sekali waktu mengajak teman dari Ujung Pandang untuk ikut acara tutup tahun di bandar udara Hasanuddin. Waktu itu aku masih tinggal di Batang Ase, desa yang perbatasan dengan landasan bandara. Di sana ada pintu yang menghubungkan kompleks Perhubungan Udara dengan bandara.

Malam itu temanku sangat takjub melihat langit di atas landasan. Sejauh mata memandang, hanya ada ribuan bintang dari ujung ke ujung. Pemandangan di pantai Mandar pun, sama persis seperti langit di atas landasan beberapa tahun lalu. Maklum, sejak bandara berubah status menjadi internasional, tidak bisa lagi melihat taburan bintang. Sebab lampu-lampu sepanjang landasan, dinyalakan sepanjang malam.

"Ayo ke laut," ajak Okto membuyarkan kekagumanku atas ciptaan Tuhan yang sungguh dahsyat. Beberapa orang mulai terlihat di kejauhan. Ada yang berdiri, ada juga yang sedang berendam setengah badan. Bahkan banyak yang sedang berjongkok.

Sekitar 3 meter dari garis pantai, Okto mengatur jarak denganku. Lalu dia memanggil kembali dan memperlihatkan teknik membuat lubang memakai tumit. Dia berputar-putar searah jarum jam. Sesekali kepalanya menunduk untuk melihat kedalaman lubang yang dia bor dengan kaki kanannya.

"Menurutmu sudah cukup dalam, belum?" tanya Okto minta pendapatku. Aku hanya angkat bahu sebab belum tahu apa maksud dia membuat lubang.

Sarung yang tadinya disampir dibahu, dia lingkarkan ke pinggang. Okto mulai tarik ulur sarungnya. Dia mengukur ketinggian sarung yang akan dipakainya. Lalu dia meragakan cara jongkok memakai sarung untuk menutup badan. Jongkok diri, jongkok diri beberapa kali. Kepalanya dibiarkan terbuka, bebas merdeka. Di dalam sarung, terlihat bayangan tangannya yang disilangkan di bawah dagu sambil mengapit kedua sisi sarung agar tidak melorot.

Kemudian Okto bergerak kanan-kiri masih dalam posisi jongkok. Rupanya dia sedang menimbun lubang memakai kedua kakinya. Pelan-pelan dia bangkit sambil melihat timbunan pasir yang sudah menutup lubang galian. Lalu dia berjalan ke arah laut.  Di sana, dia berjongkok kembali tetapi tidak membuat lubang.

Okto kembali ke tempat aku berdiri. "Barusan saya memperagakan cara buang air di pantai. Saya tahu kalau kamu sangat takut dengan sungai. Coba cara yang tadi saya ragakan. Jangan lupa lepas celana, sebab tadi tidak masuk dalam peragaan," ujar Okto sambil tertawa. Kemudian dia pergi beberapa langkah untuk menjaga jarak.

Aku belum mudeng dengan kata-kata Okto. Jam segitu biasanya aku masih terlelap di atas kasur. Tiba-tiba pagi itu aku sudah berdiri di tepi pantai yang masih gelap. Masih belum habis takjubku melihat langit, Okto sudah memperagakan ilmu baru yang didapat dari penduduk desa.

Kulihat, Okto sedang melakukan aksinya. Perutku juga mulai bergejolak. Akhirnya kulepas sandalku dan mulai membuat lubang seperti yang diajarkan Okto. Putar-putar kaki di pasir yang bertumpu pada tumit. Terus putar sampai dalam. Entah berapa putaran, aku tak sempat menghitung.

Risih juga melepas celana di balik sarung. Walau hari masih gelap, tetap aja ada rasa kikuk. Namun karena gejolak perut semakin terasa, akhirnya aku berjongkok dengan damai. Pelajaran hari itu, tarik ulur sarung agar nyaman dan aman. Tidak seperti Okto yang pergi jauh ke laut sekalian mandi, aku cukup mencapai bibir pantai untuk membilas.

Ketika kembali ke tempat aku berjongkok, lubangku sudah tidak ada. Pasirnya rata. Ombak telah menyapu bersih gundukan pasir. Mungkin termasuk keseluruhan isi lubangnya. Ajaib!

Air laut mulai pasang. Gelap pun sirna menjadi terang. Di ujung timur, kulihat matahari muncul perlahan. Terlihat jelas ada puluhan pasang sandal bertebaran di pantai di sekitarku.

Tak lama kemudian, satu persatu pemilik sandal bermunculan dari arah laut. Laki perempuan, tua muda, banyak juga. Semuanya pada memakai sarung. Melihat diriku juga bersarung, mereka menganggukkan kepala sambil senyum-senyum seperti menahan tawa. Beberapa dari mereka ada juga yang memberi salam.

Pagi yang harusnya dingin karena embus angin, terasa hangat karena penduduk desa sangat ramah menyapa kami. Hati dan pikiran juga terasa plong sebab urusan ini menjadi masalah besar buatku pribadi selama KKN di desa ini. Waktu itu pemerintah daerah baru merencanakan pembangunan PAM. Rumah-rumah juga belum punya WC. Maka urusan mengosongkan isi perut menjadi masalah besar buat kami yang terbiasa tinggal di kota.

Setiba di rumah, Pak Desa dan teman-teman terkejut melihat kami berdua datang dari arah sungai sambil menyampirkan sarung di bahu. Mukaku terlihat masih lecek seperti bangun tidur, tidak seperti Okto yang terlihat segar habis mandi di laut.

Okto menjelaskan secara singkat bahwa kami ke laut dan belajar memanfaatkan sarung, bukan habis meronda. Memang benar, selama ini aku tahunya fungsi sarung hanya untuk menari, sembahyang dan pelengkap busana daerah. Oh ya, sarung juga untuk tidur seperti kebiasaanku. Atau waktu kecil dulu, aku juga suka bermain hantu-hantuan pakai sarung. KKN di wilayah Mandar yang terkenal sebagai penghasil sarung tenun terbaik, aku jadi belajar memanfaatkan sarung untuk fungsi lain. Tepatnya sebagai bilik pelindung dalam keadaan darurat.

Sambil menjelaskan secara garis besar tentang sarung, aku juga meragakan cara pemakaian sarung. Dilanjut dengan peragaan membuat lubang darurat memakai tumit yang membuat mereka terbahak-bahak. Aku sengaja gayaku berputar-putar sambil menggoyangkan pinggul dan bernyanyi, "Goyang samba.. putar-putar!"

Kisah kami pagi itu telah membuat teman-teman menjadi penasaran. Sorenya kami kembali ke pantai, kali ini beramai-ramai. Kami latihan bersama menggali lubang dengan tumit, jongkok diri, jongkok diri (agar tidak kram kalau terlalu lama nongkrong). Lalu menggeser kaki untuk menutup lubang. Ada 2 cara untuk menimbun. Bisa sambil jongkok, bisa juga sambil berdiri. Secara mental, sebaiknya sambil jongkok. Jadi kita tidak melihat isi di dalam lubang. Tapi tiap individu punya pilihan masing-masing.

Sejak temuan hari itu, pergi ke laut menjadi acara favoritku. Kapan saja keinginan melepas muatan dalam perut, bisa langsung kabur ke laut. Kecuali kalau keadaannya sangat mendesak, terpaksa lari ke semak-semak di belakang rumah. Maklum kecepatan gejolak dalam perut, tidak bisa diukur secara matematika. Terkadang bisa melebihi kecepatan cahaya, sebab belum dipikir sudah keluar.

Kode untuk minta ditemani ke laut, cukup menggerakan kaki kanan seperempat lingkaran beberapa kali. Dijamin, teman-teman langsung mengerti kode ini. Reaksi mereka langsung senyum-senyum menahan tawa. Tanpa diminta, Okto atau teman lain selalu siap menemani kami mahasiswa putri yang harus pergi ke pantai.

Dibanding sungai yang airnya mengalir deras dan berbahaya, atau semak-semak yang suka dilewati ular, pantai menjadi alternatif terbaik sebagai tempat tujuan pembuangan akhir sambil merenung.

Malam hari bisa sembari mengamati bintang dan benda-benda langit. Pagi hari, bisa memandang laut lepas menghitung perahu sandeq yang melintas di kejauhan. Atau sore hari memandang ke arah barat menyaksikan matahari tenggelam. Siang hari, sebaiknya dihindari. Kecuali kalau memang terpaksa banget. Maklum, kalau siang panasnya luar biasa. Panas dari langit, dari laut dan dari pasir itu sendiri.

Kegiatan rutin ini, menjadi pengalaman kocak masa-masa KKN. Upacara jongkok bareng-bareng (jongkok massal) di pantai dengan pikiran masing-masing. Menyatu dengan alam yang sangat alami. Tak perlu alat bantu seperti pacul dan lain-lain. Cukup goyang kaki putar-putar gaya samba. Proses dari alam kembali ke alam. "Akhirnya ke laut... " (Bengawan Solo karya Gesang).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kkn Selengkapnya
Lihat Kkn Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun