Mohon tunggu...
Claudia Magany
Claudia Magany Mohon Tunggu... Lainnya - Freelance

Mantan lifter putri pertama Indonesia, merantau di Italia +15 tahun, pengamat yang suka seni dan kreatif!

Selanjutnya

Tutup

KKN Pilihan

Samba Ria

27 Juni 2024   05:00 Diperbarui: 27 Juni 2024   06:23 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ayo ke laut," ajak Okto membuyarkan kekagumanku atas ciptaan Tuhan yang sungguh dahsyat. Beberapa orang mulai terlihat di kejauhan. Ada yang berdiri, ada juga yang sedang berendam setengah badan. Bahkan banyak yang sedang berjongkok.

Sekitar 3 meter dari garis pantai, Okto mengatur jarak denganku. Lalu dia memanggil kembali dan memperlihatkan teknik membuat lubang memakai tumit. Dia berputar-putar searah jarum jam. Sesekali kepalanya menunduk untuk melihat kedalaman lubang yang dia bor dengan kaki kanannya.

"Menurutmu sudah cukup dalam, belum?" tanya Okto minta pendapatku. Aku hanya angkat bahu sebab belum tahu apa maksud dia membuat lubang.

Sarung yang tadinya disampir dibahu, dia lingkarkan ke pinggang. Okto mulai tarik ulur sarungnya. Dia mengukur ketinggian sarung yang akan dipakainya. Lalu dia meragakan cara jongkok memakai sarung untuk menutup badan. Jongkok diri, jongkok diri beberapa kali. Kepalanya dibiarkan terbuka, bebas merdeka. Di dalam sarung, terlihat bayangan tangannya yang disilangkan di bawah dagu sambil mengapit kedua sisi sarung agar tidak melorot.

Kemudian Okto bergerak kanan-kiri masih dalam posisi jongkok. Rupanya dia sedang menimbun lubang memakai kedua kakinya. Pelan-pelan dia bangkit sambil melihat timbunan pasir yang sudah menutup lubang galian. Lalu dia berjalan ke arah laut.  Di sana, dia berjongkok kembali tetapi tidak membuat lubang.

Okto kembali ke tempat aku berdiri. "Barusan saya memperagakan cara buang air di pantai. Saya tahu kalau kamu sangat takut dengan sungai. Coba cara yang tadi saya ragakan. Jangan lupa lepas celana, sebab tadi tidak masuk dalam peragaan," ujar Okto sambil tertawa. Kemudian dia pergi beberapa langkah untuk menjaga jarak.

Aku belum mudeng dengan kata-kata Okto. Jam segitu biasanya aku masih terlelap di atas kasur. Tiba-tiba pagi itu aku sudah berdiri di tepi pantai yang masih gelap. Masih belum habis takjubku melihat langit, Okto sudah memperagakan ilmu baru yang didapat dari penduduk desa.

Kulihat, Okto sedang melakukan aksinya. Perutku juga mulai bergejolak. Akhirnya kulepas sandalku dan mulai membuat lubang seperti yang diajarkan Okto. Putar-putar kaki di pasir yang bertumpu pada tumit. Terus putar sampai dalam. Entah berapa putaran, aku tak sempat menghitung.

Risih juga melepas celana di balik sarung. Walau hari masih gelap, tetap aja ada rasa kikuk. Namun karena gejolak perut semakin terasa, akhirnya aku berjongkok dengan damai. Pelajaran hari itu, tarik ulur sarung agar nyaman dan aman. Tidak seperti Okto yang pergi jauh ke laut sekalian mandi, aku cukup mencapai bibir pantai untuk membilas.

Ketika kembali ke tempat aku berjongkok, lubangku sudah tidak ada. Pasirnya rata. Ombak telah menyapu bersih gundukan pasir. Mungkin termasuk keseluruhan isi lubangnya. Ajaib!

Air laut mulai pasang. Gelap pun sirna menjadi terang. Di ujung timur, kulihat matahari muncul perlahan. Terlihat jelas ada puluhan pasang sandal bertebaran di pantai di sekitarku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten KKN Selengkapnya
Lihat KKN Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun