Suatu sore ditemani Okto, aku menumis pare sambil mengulang cerita Samba Paria. Versi kami, sang raja ingin ikutan makan mencicipi sayur yang dimasak Samba. Maklum ceritanya belum selesai, tapi sayurnya sudah matang dan sudah dituang dalam lodor besar, siap hidang.
Karena tidak menemukan cempal, jadi aku menggunakan penjepit bambu untuk mengangkat wajan. Di samping tungku, ada air di teko yang siap menunggu giliran untuk dijerang. Maklum, harus gantian pakai tungku.
Waktu diangkat, wajannya berat sekali. Tanganku juga belum biasa menggunakan penjepit bambu yang rupanya getas. Antara ngeri takut patah dan tak kuat menahan, akhirnya wajan tersebut jatuh persis di atas tumis pare yang akan dihidangkan. Oh, oh... Bajuku juga kena ciprat sayur yang tertimpa benda berat.
Di atas rumah, teman-teman sudah menunggu dengan tak sabar. Nasi dan ikan sudah dihidangkan. Mereka sedang menunggu sayur datang. Sementara kami berdua sedang terpaku di dapur. Okto berbisik, "Mungkin kita berdua kena tulah sebab mengarang cerita asli. Salahmu itu karena bikin pleset cerita orang sini. Jadi sayurnya tidak bisa dimakan."
"Hush! Tak ada hubungan antara tulah dan wajan yang beratnya minta ampun!" sanggahku untuk mengalihkan isu tabu. Maklum, di desa ini banyak sekali hal-hal yang ditabukan. Jadi kalau sudah sebut kata ini, nanti berhari-hari bisa jadi bahan cerita yang panjang.
Tiba-tiba Aziz muncul dari balik tangga dan menanyakan sayur. Melihat wajan gosong ada di atas sayur matang, dengan santai Aziz memindahkan wajan tersebut. Dia mencomot beberapa potongan arang yang tertinggal di atas sayur. Setelah itu dia mengambil sendok, mengaduk-aduk sayur dan membawa ke atas untuk disuguhkan. Sebelum melangkah ke tangga, dia berbisik kepada kami, "Simpan kejadian ini untuk kita bertiga. Semoga tidak ada yang sakit perut!"
Maka malam itu kami makan bersama sambil senyum-senyum. Kali ini cerita parianya pakai versi ketiban wajan gosong. Untung besoknya, tak ada seorang pun yang mengeluh sakit perut. Sebab akan menjadi masalah besar kalau harus bulak-balik mengosongkan isi perut.
Sesekali Aziz berkomentar jika melihat kami berdua sedang berkutat di dapur, "Jangan khawatir, arang juga obat untuk bersihkan isi perut dari racun!" Dan setiap kali dia berkelakar tentang arang, kami terbahak-bahak mengingat kejadian tumis 'arang' yang menjadi rahasia kami bertiga.
***
Teman-teman bilang, aku dan Okto sudah seperti Samba Paria dan adiknya. Kemana-mana kami selalu bersama. Bahkan ketika pacarku ngapel, Okto ikut duduk tak jauh dari kami. Setiap ada temuan atau isu-isu baru, Okto juga langsung mengabarkan kepadaku.
Suatu sore, Okto menghilang tanpa pemberitahuan sebelumnya. Ketika pulang, dengan wajah berseri-seri dia bercerita soal pantai yang baru dikunjungi. Ternyata desa Lekopa'dis tak jauh dari pantai. Sekitar Tinambung memang ada pantai, tapi kami tak pernah mengira kalau dari desa Lekopa'dis juga ada jalan pintas untuk sampai ke pantai terdekat.