Mohon tunggu...
Claudia Magany
Claudia Magany Mohon Tunggu... Lainnya - Freelance

Mantan lifter putri pertama Indonesia, merantau di Italia +15 tahun, pengamat yang suka seni dan kreatif!

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Artikel Utama

Melihat Penerapan Pengaturan Lalu Lintas di Italia

29 September 2021   07:00 Diperbarui: 29 September 2021   09:58 1198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kondisi lalu lintas di Italia | Sumber: PA-EFE/STEFANO CAVICCHI(STEFANO CAVICCHI)

Setiap kali melihat papan bertuliskan PROVINCIA DI TREVISO PROGETTO ROTATORIE, pikiran saya melayang ke Jakarta tahun '70an. 

Pada masa pemerintahan Gubernur Ali Sadikin, di mana-mana bisa terlihat papan-papan bertuliskan Proyek MHT (Muhammad Husni Thamrin). 

Kalau di Jakarta saat itu sedang membangun jalanan beraspal, di provinsi Treviso berfokus pada pembangunan bundaran di setiap persimpangan.

Papan ini didominasi warna oranye dengan kombinasi hitam dan putih. Jadi, dari kejauhan bisa langsung tertangkap mata karena posisinya di tengah-tengah jalan, tepatnya di tikungan dalam bundaran. 

Awalnya, saya tidak terlalu memperhatikan maksud proyek ini. Tapi karena hampir ditemui di semua pelosok di provinsi yang bersebelahan dengan provinsi Venezia, mulailah rasa ingin tahu muncul dalam benak saya.

Projek Bundaran Treviso (Foto. dokpri) 
Projek Bundaran Treviso (Foto. dokpri) 

Ketika ikut sekolah mengemudi di negeri ini, selain harus menguasai makna-makna marka jalan, aturan berkendaraan dan lain sebagainya, pelajaran yang cukup penting adalah memahami aturan berlalu-lintas di bundaran. 

Seingat saya, sekolah mengemudi di Jakarta dulu, teori soal 'bundaran' tidak diajarkan secara mendalam seperti di Italia. Mungkin karena tidak banyak 'bundaran' di jalan-jalan di tanah air. 

Kemungkinan lainnya, di setiap bundaran di Indonesia biasanya dibarengi lampu lalu lintas. Misalnya bundaran HI yang dilengkapi lampu lalu lintas dari semua arah. Dalam hal ini pengendara cukup melihat dan mematuhi rambu lampu lalu lintas: merah atau hijau.

Sementara semua bundaran di sini, hadir tanpa tiang lampu lalu lintas. Jadi tiap pengemudi harus memperhatikan baik-baik suasana jalanan sekitar; siapa yang berhak mendapat kesempatan pertama. 

Karena letak setir kendaraan di Eropa secara umum ada di sebelah kiri (kecuali Inggris), maka pengendara dari arah kirilah yang berhak mendapat kesempatan pertama. 

Pada area sebelum memasuki bundaran, tiap pengendara wajib stop untuk melihat siapa yang masuk bundaran lebih awal. Praktiknya, utamakan mereka (beri kesempatan) yang datang dari arah kiri.

Bundaran di ruas jalan besar dan kecil mengganti fungsi lampu lalu lintas (Foto. dokpri)  
Bundaran di ruas jalan besar dan kecil mengganti fungsi lampu lalu lintas (Foto. dokpri)  

Kalau aturan ini diterapkan di Indonesia yang letak kemudinya di sebelah kanan, tentu harus memberi kesempatan kendaraan di sebelah kanan untuk lewat duluan.

Sebelum hijrah ke Treviso, tepatnya kota Oderzo, saya sempat bermukim enam tahunan di kota Mestre (Venezia). 

Waktu itu saya masih berstatus pendatang, jadi hobi banget blusukan untuk mengenal pelosok kota dan sekitarnya. 

Sebagai kota transit yang menghubungkan Venezia dengan daratan, aktivitas kendaraan umum di Mestre hampir non-stop 24 jam. Malam hari kendaraan umum tetap beroperasi namun jumlahnya terbatas.

Secara toponomastica (ilmu nama tempat), saya cukup hafal berbagai lokasi penting bahkan urutan fermata (halte) sebab berlangganan kartu transportasi yang berlaku untuk bus, tram dan vaporetto (bus air) yang menghubungkan pulau-pulau di laguna di Venezia dan kota-kota sekitar Mestre. 

Karena itu, saya manfaatkan baik-baik kesempatan ini. Tiap ada waktu luang, saya nikmati perjalanan dari bus ke bus, tram ke tram, juga antar vaporetto. 

Lampu merah dan macet adalah keasyikan tersendiri, sebab pada saat kendaraan berhenti, saya bisa leluasa memotret pemandangan sekitar dari balik jendela bus.

Sama seperti Jakarta dan kota-kota lain, Mestre juga masih mengandalkan fasilitas lampu lalu lintas hampir di setiap perempatan bahkan pertigaan ruas jalan dan gang. Ada beberapa bundaran, tapi jumlahnya masih bisa dihitung jari. Jauh berbeda dengan Treviso, kota seribu bundaran.

Waktu awal-awal tinggal di Oderzo (provinsi Treviso), saya masih sempat merasakan kehadiran lampu 'merah' di beberapa ruas jalan besar. 

Namun tahun ini saya tak lagi melihat tiang-tiang lampu lalu lintas di sepanjang ruas-ruas jalan di kota ini. Masih ada satu-dua yang tetap kelap-kelip warna kuning karena belum dicabut oleh petugas 'DLLAJR' kota ini. Maaf, saya pakai istilah singkatan ini karena lebih mudah dibayangkan. 

Satu-satunya lampu lalu lintas yang masih aktif, ada di depan gedung kompleks Brandolini. Lampu ini bukan di persimpangan jalan, tetapi nyaris dekat mulut 'under ground' lintasan kereta.

Lampu lalu lintas di Bandolini untuk penyeberang jalan (Foto. dokpri)
Lampu lalu lintas di Bandolini untuk penyeberang jalan (Foto. dokpri)
Lampu ini akan menyala merah dan berbunyi (sinyal) kalau dipencet oleh pejalan kaki yang hendak menyeberang. Tapi kalau tidak ada yang memencet tombol, warna lampu tetap hijau. Artinya, kendaraan tetap bebas melaju melewati jalanan ini kalau tidak ada permintaan dari pejalan kaki.

Pemasangan lampu ini juga tergolong baru, karena sebelum pandemia tahun lalu, ada seorang penduduk senior yang bermukim di wilayah tersebut menjadi korban. Dimaklumi kalau kendaraan yang datang dari arah bawah terowongan, biasanya melaju dengan kecepatan tinggi. 

Padahal tak jauh dari mulut terowongan, ada bangunan publik (kampus) Brandolini dan area pemukiman. Karena itu, comune (Pemda) menempatkan lampu lalu lintas di lokasi ini khusus untuk pejalan kaki yang ingin menyeberang jalan.

Satu set lampu merah lainnya yang tetap aktif, ada di dekat mulut terowongan bawah tanah di via Gorgazzo. Karena jalanan kecil dengan dua arah, lampu ini berfungsi untuk mengatur kendaraan melewati sepotong jalanan pendek di bawah lintasan kereta secara bergantian. Letak terowongan juga agak berkelok, jadi sulit melihat kendaraan lain dari arah berlawanan.

Pasangan lampu merah ini sudah ada sejak lama dan akan tetap ada karena kehadirannya memang sangat penting demi menghindari kecelakaan antar kendaraan yang bisa berakibat fatal. Karena agak terpisah dari bangunan sekitar, di atas masing-masing tiang lampu, ada panel surya ukuran kecil untuk mengoperasikan lampu. Maka total, hanya ada dua pasang lampu merah di dalam kota Oderzo.

Dari segi ekonomi, pengurangan jumlah lampu lalu lintas di ruas-ruas jalan yang digantikan dengan bundaran, biaya operasional hariannya bisa ditekan. 

Dana untuk membayar listrik marka jalanan ini, bisa dialihkan untuk hal lain seperti 'autovelox' (kamera untuk mengukur kecepatan kendaraan yang lewat), CCTV atau pemeliharaan jalanan. 

Bayangkan dari satu lampu lalu lintas yang menyala non-stop 24 jam sehari sepanjang tahun. Entah berapa titik lampu lalu lintas dalam satu kota, satu wilayah, satu provinsi bahkan satu negara.

Dulu, ketika masih dipasang lampu lalu lintas di kota ini, saya ingat ada beberapa ruas jalan yang sering kali bikin kecewa pengendara karena harus menunggu lama. 

Biasanya ruas jalan ini ikut dilengkapi dengan marka bertuliskan 'matikan mesin kendaraan'. Tujuannya untuk menghindari polusi udara. Selain mengganggu kesehatan, tentunya juga pemborosan bahan bakar karena dipakai sia-sia.

Tak jarang, sering pula terjadi kecelakaan sebab saat lampunya menyala kuning, banyak kendaraan yang nekat bablas menerobos dengan kecepatan tinggi karena ingin menghindari lampu merah.

Dalam pelajaran berlalu-lintas, ada istilah 'semforo di onda verde' yaitu sejumlah lampu lalu lintas yang dipasang di beberapa titik di sepanjang satu ruas jalan secara berurutan. 

Secara teori, pengemudi disarankan agar mempertahankan kecepatan yang sama, sebab kalau menyala hijau, akan tetap ketemu hijau pada persimpangan berikutnya. Karena itu dinamakan 'lampu lalu lintas gelombang hijau'. Sebaliknya kalau pas ketemu merah, siapkan mental untuk ketemu merah pada tikungan berikutnya.

Di dalam kota Mestre dan sepanjang jalan via Terraglio yang menghubungkan Mestre dan Treviso, masih ditemukan beberapa seri lampu lalu lintas macam ini. Karena itu, pengemudi harus bersabar kalau kebetulan kena lampu merah. 

Jadi bersyukur karena di Oderzo sudah tak lagi melihat lampu lalu lintas di persimpangan ruas-ruas jalan. Secara emosi, pengendara bisa merasa relaks, jauh dari stres saat mengemudi di kota ini.

Masalah lain yang kerap terjadi pada saat mati lampu secara total, lampu lalu lintas yang memakai listrik dari sumber yang sama, biasanya ikut padam juga secara otomatis. Walau teknologi semakin canggih, masalah lampu padam tetap saja tidak bisa dihindari. 

Di rumah, mungkin masih bisa mengandalkan lilin dan sebagainya. Namun di persimpangan jalan umum kalau petugas patroli jalan tidak turun tangan, bisa terjadi kekacauan antar sesama pengemudi pemakai jalan.

Namun sejak diterapkan sistem bundaran di perempatan ruas-ruas jalan, rasanya hampir tak pernah menemui hal-hal yang umum terjadi ketika masih mengandalkan lampu lalu lintas. Kecelakan di jalanan juga semakin berkurang. Pemakai jalan sudah terlatih secara otomatis untuk selalu mengurangi kecepatan sebelum mencapai bundaran. 

Kadang masih suka ada satu-dua pengendara yang lengah. Namun kesadaran masing-masing pengemudi untuk selalu memperhatikan situasi jalan, maka kecelakaan pun bisa dihindari. 

Untuk pertigaan, dibangun 'isola' (pulau) yang fungsinya sama dengan bundaran. Sistemnya juga sama dan memberi kesempatan kendaraan yang datang dari jalan poros utama.

Isola di pertigaan jalan, sama fungsi dengan bundaran (Foto. dokpri) 
Isola di pertigaan jalan, sama fungsi dengan bundaran (Foto. dokpri) 

Bagi petugas patroli jalan, tugas mereka juga tidak seberat jaman lampu lalu lintas. Mati lampu (black out) se-kota bahkan se-provinsi, tidak berpengaruh untuk melintas di perempatan ruas jalan. 

Selama ini juga tak pernah ada kasus jalanan 'macet' karena masing-masing punya kesadaran dan tanggung jawab saat menggunakan jalanan.

Biasanya, dekat bundaran juga dilengkapi 'strisce pedonali' (zebra cross) buat pejalan atau 'attraversamenti ciclo-pedonali', penyeberangan untuk pengendara sepeda dan pejalan kaki. 

Teorinya, pengendara sepeda harus turun dari kendaraan pada saat melintas area penyeberangan. Namun praktiknya, masih banyak yang tetap menggenjot dengan santai.

Zebra cross sepaket dengan bundaran (Foto. dokpri) 
Zebra cross sepaket dengan bundaran (Foto. dokpri) 

Bundaran di persimpangan jalan poros yang banyak dilalui kendaraan, biasanya juga menjadi ajang promosi antar toko bunga yang bekerja sama dengan pemerintah setempat (comune). 

Mereka saling berlomba untuk mempercantik sepetak lahan yang ada dengan aneka tanaman hias yang sedang tren. 

Terkadang, beberapa organisasi sosial juga ikut menitip logo untuk mempublikasikan kegiatan atau peringatan tertentu lewat paket dekorasi di dalam bundaran. Misalnya peringatan Hari Kanker berupa ornamen pita pink ukuran besar sebagai simbol, dst.

Mengutip dari wikipedia, provinsi Treviso telah menginvestasikan 500 juta euro dalam "Proyek Bundaran" dan telah berhasil meresmikan lebih dari 250 bundaran baru; artinya mengurangi jumlah kematian di jalan hingga lebih dari 50% dari tahun 1997 hingga 2006. Wow!? Secara dana, memang cukup besar juga jumlahnya. Namun secara manfaat, banyak sekali nilai positifnya. 

Sebagai alternatif pengganti lampu lalu lintas, pemerintah daerah dan masyarakat pemakai jalan sangat menyadari fungsi bundaran sebagai solusi yang efektif dan efisien. 

Sekadar info, catatan dari wikipedia ini belum diperbarui, sebab sekarang tahun 2021 dan hanya tinggal tiga bulanan untuk masuk ke tahun 2022. 

Entah sudah berapa ratus atau mungkin ribuan bundaran telah dibangun di provinsi Treviso dengan luas 2. 479,83 km²

Fungsi lain bundaran sebagai dekorasi dan ajang publikasi (Foto. dokpri)
Fungsi lain bundaran sebagai dekorasi dan ajang publikasi (Foto. dokpri)

Sebelum meledak pandemia, pemerintah Indonesia dalam hal ini Presiden Jokowi pernah merencanakan pemindahan ibu kota baru. Entah sudah direalisasikan pembangunannya atau belum, saya hanya berandai-andai sekiranya di ibu kota baru juga dibuatkan bundaran-bundaran di setiap perempatan ruas jalan untuk mengganti fungsi lampu lalu lintas. 

Optimis akan banyak hal positif yang bisa dipetik. Baik dari segi penghematan biaya pemakaian listrik, dampak lingkungan yang tetap terjaga bersih dan sehat, juga jumlah tingkat kecelakaan di jalan dapat dihindari. Tentu disesuaikan dengan aturan lalu lintas yang berlaku di Indonesia. 

Semoga dalam rencana pembangunan ibu kota baru, masukan ini bisa menjadi pertimbangan positif untuk menyempurnakan infrastruktur di Indonesia. Walau jauh di perantauan, kalau ada hal-hal baik yang bisa disumbangkan untuk Indonesia, mudah-mudahan pengalaman dan pengamatan sebagai perantau di negeri orang, bisa diambil manfaatnya secara positif. 

Kalau dulu selalu melihat aneh papan bergambar tiga anak panah melingkar berwarna putih dengan latar warna 'jreng' oranye dan hitam, sekarang papan ini terlihat sangat bersahaja. Sebab banyak manfaat positif dari proyek bundaran sebagai pengganti (alternatif) untuk meminimalisasi penggunaan lampu lalu lintas di persimpangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun