Mohon tunggu...
Cinta Anindita Aji
Cinta Anindita Aji Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Dosen Pengampu: Indri Arrafi Juliannisa, SE., ME Kelompok 13: Cinta Anindita Aji (2010115017); Tias Handayani (2010115018) Program Studi Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

E-money dalam Ekonomi Digital terhadap Inflasi di Indonesia

6 Juni 2022   22:27 Diperbarui: 6 Juni 2022   22:41 569
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perkembangan teknologi berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat terutama dalam kegiatan ekonomi di Indonesia. Hal ini didukung dengan kebutuhan manusia yang semakin bervariatif dalam pembayaran dengan menggunakan pembayaran elektronik atau e-money yang sangat memudahkan masyarakat dalam bertransaksi jual-beli atau kegiatan 

yang tidak membuat masyarakat mengharuskan membawa uang banyak di dalam dompet dan hanya cukup membawa kartu ATM, kartu kredit, dan handphone yang dimana di dalamnya dapat menggunakan fasilitas yang disediakan oleh bank. Bank for International Settlement menerbitkan pengertian e-money sebagai produk stored-value atau prepaid yang dimiliki 

seseorang dengan sejumlah uang yang telah disimpan pada suatu media elektronik atau dalam bentuk kartu yang digunakan sebagai alat pembayaran yang sah terhadap pedagang yang menyediakan mesin pembayaran tetapi bukan penerbit kartu atau uang (Hidayati, Nurhayati, Firmansyah, Fadly, & Darmawan, 2006). E-money ini pembayaran non-cash domestik 

maupun internasional yang berkembang pesat secara inovasi yang mengarah pada penggunaan yang efisien, aman, cepat, dan nyaman.

Ekonomi digital adalah kegiatan ekonomi yang menggunakan bantuan jaringan dan kecerdasan buatan atau artificial intelligence. Di Indonesia, ekonomi digital ini membawa dampak yang positif untuk negara. Namun, banyak hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintah dalam membuat kebijakan dalam membuat model bisnis baru, integrasi antar sektor bisnis, 

dan perubahan model pada sektor yang telah ada. Munculnya beragam aplikasi digital sebagai alat pembayaran ini menjadi sebuah bukti adanya perkembangan pada sektor finansial di era ekonomi digital ini. Hal tersebut dapat dikaitkan dengan kecepatan perputaran uang dalam perekonomian yang mengukur pendapatan nasional 

dibandingkan dengan perilaku pembelian yang digambarkan hubungan antara uang, pembelian barang-jasa sehingga adanya perbandingan pendapatan nasional bruto terhadap jumlah uang yang beredar. Teori Irving Fisher ini membahas kaitan antara transaksi uang beredar dengan total produksi barang dan jasa (PDB).

Tabel 1. Produk Domestik Bruto, Jumlah Uang Beredar, dan Perputaran Uang di Indonesia 2015 – 2021

Tahun

PDB

JUB

PU

2015

8,982,517

12,047,364

8.51

2016

9,434,613

13,508,102

7.62

2017

9,912,928

15,394,182

7.13

2018

10,425,851

16,721,118

7.15

2019

10,949,155

17,761,118

8.24

2020

10,723,054

18,192,012

8.73

2021

11,118,868

19,202,983

10.87

Sumber: (Badan Pusat Statistik, 2020)

Berdasarkan tabel 1, dapat dilihat bahwa dari tahun 2015 – 2021 nilai produk domestik bruto dan jumlah uang beredar di Indonesia ini cenderung mengalami peningkatan, sedangkan perkembangan perputaran uang selama 7 tahun ini cenderung fluktuatif. Perputaran ini berkaitan dengan sistem pembayaran. 

Salah satu lembaga keuangan yang mengatur sistem pembayaran dengan penetapan instrumennya secara nasional adalah Bank Indonesia. Mengikuti perkembangan zaman ini transaksi yang sebelumnya dilakukan secara tunai, kini dapat dilakukan secara online. 

Instrumen non-tunai atau secara online ini lebih banyak digunakan masyarakat menggunakan card based atau electronic based. Menurut Ekonografik Katadata dari Bank Indonesia, pertumbuhan e-money mencapai 97.7 persen di tahun 2021 dengan penggunaan kartu debit pertumbuhannya 19.7 persen dan pertumbuhan kartu kredit dirata-ratakan 8.2 persen.

Tabel 2. Jumlah E-money Beredar di Indonesia Tahun 2015 – 2021

Tahun

Jumlah Uang Elektronik Beredar (unit)

2015

34,314,795

2016

51,204,580

2017

90,003,848

2018

167,205,578

2019

292,182,291

2020

313,772.201

2021

558,959.192

Sumber: (Sukirno, 2020)

Berdasarkan tabel 2 dapat dijelaskan bahwa jumlah uang elektronik yang beredar selalu mengalami perkembangan dan terus meningkat setiap tahunnya dari tahun 2015 – 2021. Namun, tak menutup jikalau masih ada masyarakat yang menggunakan dan nyaman dalam penggunaan uang kartal. Hal tersebut akan menghambat Gerakan Nasional Non-Tunai (GNNT) 

yang dirancang oleh Bank Indonesia. Dimana gerakan e-money ini dimunculkan pada Alinea Bank Indonesia dengan latar belakang Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 sebagai pendukung agenda Bank Indonesia untuk menciptakan less cash society di Indonesia. Adanya e-money ini diharapkan dapat meningkatkan 

kegiatan perekonomian dan meningkatkan output negara sehingga fokus dari pemerintah adalah mengurangi risiko sistematik dan meningkatkan efisiensi adanya pelayanan pembayaran.

Bank Indonesia mengatakan bahwa penggunaan uang elektronik dapat mendorong terjadinya inflasi. Hal tersebut karena adanya ketidaksesuaian dalam besaran nilai transaksi atau nilai pembayaran dalam penggunaan uang elektronik 

tidak sesuai dengan nilai aslinya yang melebihkan atau mengurangkan karena adanya perbedaan kemampuan nilai barang yang dibeli dengan harga yang tertera, sehingga ada efek penyusutan atau penambahan nilai barangnya. 

Tabel 3. Inflasi di Indonesia Tahun 2015 – 2021

Tahun

Inflasi (persen)

2015

3.35

2016

3.02

2017

3.61

2018

3.13

2019

2.72

2020

1.62

2021

1.81

Sumber: (Badan Pusat Statistik, 2020)

Berdasarkan tabel 3 dapat dilihat bahwa laju inflasi di Indonesia cenderung fluktuatif. Dimana pada tahun 2017 laju inflasi ini memiliki tingkat yang tertinggi, salah satu penyebabnya adalah karena adanya penggunaan e-money yang tidak sesuai dengan nilai aslinya dan 

kenaikan tarif angkutan udara. Kemudian, di tahun berikutnya inflasi ini mengalami penurunan secara signifikan sampai dengan tahun 2020 karena kebijakan yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia mengenai penggunaan uang elektronik berjalan dengan baik mengikuti peraturan yang disesuaikan walaupun ada beberapa kendala di luar faktor penggunaan e-money yang membuat inflasi masih terjadi.

Laju inflasi yang terkendali akan menambahkan keuntungan bagi perusahaan maupun pemerintah sehingga menambah keuntungan dalam meningkatkan investasi di masa depan dan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Namun, sebaliknya apabila inflasi tinggi maka akan berdampak negatif pada perekonomian selanjutnya dan mengganggu kestabilan sosial dan politik, serta tingkat suku bunga bank di Indonesia yang dipengaruhi.

Tabel 4. Tingkat BI Rate di Indonesia Tahun 2015 – 2021

Tahun

BI Rate

2015

7.50

2016

6.50

2017

4.75

2018

5.25

2019

5.75

2020

4.50

2021

3.50

Sumber: (Badan Pusat Statistik, 2020)

Melalui tabel 4, dapat dilihat secara umum selama periode 2015 – 2021 pergerakan tingkat suku bunga yang menjadi acuan penetapan suku bunga bank yang berinduk di Bank Indonesia. Bila dilihat secara tahunan, pergerakan suku bunga ini mengalami penurunan cukup signifikan. Hal tersebut dinyatakan penetapan BI Rate ini dipengaruhi oleh tingkat inflasi yang terjadi.

Apabila tingkat BI Rate mengalami kenaikan, maka nilai Inflasi juga akan mengalami kenaikan dan sebaliknya apabila BI Rate turun maka nilai BI Rate juga akan mengalami penurunan. Pernyataan tersebut tidak sejalan dengan tingkat inflasi di Indonesia yang cenderung fluktuatif. 

Oleh karena itu, penelitian ini dibuat untuk melihat korelasi pengaruh dari variabel dan fakta yang diterima setelah melakukan pengujian apakah terjadi pengaruh atau tidak terhadap variabel yang ditentukan dengan pernyataan yang dikatakan. Oleh karena itu, harus ada kebijakan mengatasi penyakit ekonomi untuk memperlancar proses roda pembangunan.

Hasil

Penelitian ini diuji menggunakan analisis deskriptif dan analisis kuantitatif dengan menggunakan metode linier berganda yaitu Ordinary Least Square (OLS). Metode regresi linier berganda ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat baik secara parsial 

maupun secara simultan. Hasil estimasi dengan menggunakan metode OLS menunjukkan bahwa secara parsial semua variabel berpengaruh secara signifikan terhadap variabel terikat, begitupun secara simultan seluruh variabel bebas berpengaruh secara simultan terhadap variabel terikat. Berikut hasil yang diperoleh dari pengujian estimasi OLS.

Hasil estimasi data dengan menggunakan metode OLS dan dapat dijelaskan bahwa secara simultan seluruh variabel bebas ini memiliki pengaruh signifikan terhadap inflasi. Hasil tersebut dapat dilihat berdasarkan nilai prob. F-statistik yang menunjukkan nilai 0.0060 < alfa 0.05, 

sedangkan secara parsial dapat dilihat pada probabilitanya JUB berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Inflasi dengan nilai koefisien -5.75e-07 dan probabilitas sebesar 0.004. E-money berpengaruh positif dan signifikan terhadap inflasi dengan nilai koefisien 6.13e-09 

dan probabilitas 0.005, sedangkan BI Rate menunjukkan pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap Inflasi dengan nilai koefisiennya -0.7208 dan probabilitasnya sebesar 0.013.

Kemudian, dilanjutkan dengan pengujian asumsi klasik pada variabel-variabel dalam model ekonometrika yang digunakan dalam penelitian sebagai langkah estimasi yang dilakukan sebagai syarat pengujian asumsi klasik. Hal tersebut karena model penelitian dikatakan baik secara ekonometrika apabila telah melakukan uji-uji dasar yang menghasilkan fakta yang ditunjukkan dalam penelitian.

Tabel 5. Hasil Estimasi Uji Asumsi Klasik

Uji Diagnosis

Test

Output Hitung

Prob

Multikolinieritas

Uji VIF

5.35

Hasilnya < 10

Autokorelasi

Durbin-Watson

2.588424

-

Heteroskedastisitas

Breusch-Pagan

0.89

0.3464

Normalitas

Shapiro-Wilk

-

0.30239

Pengujian autokorelasi menggunakan uji Durbin Watson yang dapat dideteksi dengan kriteria sebagai berikut:

1) Jika dW, dL, atau dW > 4-dL, maka H0 ditolak, berarti ada autokorelasi positif maupun negatif. 2) Jika dU < dW < 4-dU, maka H0 diterima, berarti tidak ada autokorelasi. 3) Jika dU < dU atau 4-dU < 4-dL, maka tidak ada kesimpulan. Melihat hasil output pada pengujian diperoleh nilai Durbin-Watson d-statistic (4,7) 

sebesar 2.588424 dengan tingkat signifikan 0.05 maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat autokorelasi antar residual pada model regresi. Pada pengujian uji multikolinearitas dapat dilihat nilai VIF dari ketiga variabel bebasnya adalah 7.13; 1.73; dan 7.20 dimana ketiganya tidak ada yang lebih besar dari 10, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi multikolinearitas pada ketiga variabel bebas tersebut.

Uji heteroskedasitas dengan uji glejser breusch-pagan dapat diketahui bahwa probabilitas chi-square sebesar 0.89 dan prob>chi2 sebesar 0.3464 lebih besar dari tingkat signifikansi yang digunakan yaitu alfa 0.05, sehingga dapat disimpulkan bahwa model terbebas dari heteroskedastisitas dengan 

kata lain bahwa model regresi memiliki varian residual tetap (homoskedastisitas). Kemudian, pengujian normalitas variabel dengan metode Shapiro-wilk dapat dilihat prob>z masing-masing variabel adalah 0.69424; 0.13684; dan 0.99210 lebih besar dari 0.05 sehingga dapat dinyatakan variabel bebasnya berdistribusi normal.

Pembahasan

Hasil regresi dengan menggunakan analisis OLS didapatkan beberapa temuan yang menggambarkan hubungan antara JUB, E-money, dan BI Rate terhadap inflasi di Indonesia. Hasil analisis kuantitatif yang digunakan dalam menjawab pertanyaan empiris menggunakan metode OLS menunjukan secara simultan 

ketiga variabel bebas ini mempunyai pengaruh secara signifikan terhadap inflasi di Indonesia. Hasil uji simultan dapat dilihat dari pengujian probabilitas F-statistik dengan metode OLS yang nilainya lebih kecil daripada tingkat signifikansi alfa 0.05. Begitupun secara parsial nilai probabilitas t-statistik ketiga variabel bebas menunjukkan hasil yang berbeda dengan nilai semuanya lebih kecil daripada signifikansi alfa 0.05.

Hasil estimasi dengan menggunakan metode OLS menghasilkan data yang menunjukkan bahwa secara parsial variabel Jumlah Uang Beredar (JUB) di Indonesia berpengaruh negatif dan signifikan terhadap inflasi. Berpengaruh negatif ini artinya hasil uji yang dilakukan tidak sesuai teori yang ada. 

Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan JUB yang digunakan, dimana dalam teori klasik JUB yang dimaksudkan adalah M1. Dimana M1 merupakan arti sempit dari JUB yang dipegang masyarakat dan terdiri atas uang kertas dan uang logam (uang kartal) ditambah uang giral. Sedangkan pada kenyataannya JUB 

yang ada dikelompokkan menjadi beberapa jenis, diantaranya M1 merupakan uang yang dipegang masyarakat, M2 yakni uang beredar dalam artian secara luas terdiri dari M1 dan uang kuasi (tabungan dan deposito berjangka) pada bank umum, serta M3 merupakan total jumlah M2, tabungan, serta deposito berjangka pada lembaga-lembaga tabungan non-bank. Sementara itu JUB yang digunakan dalam penelitian adalah M2.

Hasil yang diperoleh ini, berbeda dengan keadaan seharusnya yang dimana JUB selalu mempengaruhi inflasi. Pada penelitian ini JUB di tahun 2015-2020 berpengaruh negatif disebabkan karena adanya dampak dari wabah covid 19 yang terjadi pada tahun 2019-2020 yang menyebabkan JUB pada tahun 2015-2021 

tidak mempengaruhi inflasi, sehingga dapat simpulkan walaupun berpengaruh negatif tetapi signifikansi terhadap inflasi ini menyatakan semakin tinggi jumlah uang yang beredar di masyarakat, maka akan semakin menurun tingkat inflasi yang terjadi. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Paramaisela, 2020) 

yang memaparkan bahwa JUB mempunyai pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap inflasi di Indonesia tahun 2015 – 2020. Dimana semakin tinggi jumlah uang beredar di masyarakat, maka akan menurunkan tingkat inflasi.

E-money memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap inflasi di Indonesia. Hal ini disebabkan dari perkembangan zaman yang semakin modern membuat banyak masyarakat Indonesia mengenal dengan pembaharuan transaksi yang efisien ini, sehingga penggunaan e-money dapat dikatakan cukup maksimal dibandingkan dengan menggunakan uang tunai untuk sekarang ini. 

Kini, dengan adanya kebijakan yang ditetapkan dengan kesesuaian perbankan dan JUB membuat e-money dapat berpengaruh terhadap inflasi. Ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan kontrol terhadap inflasi dimana pemerintah telah menggunakan penggunaan uang elektronik sebagai pengganti dari penggunaan uang secara tunai, saat ini yang diharapkan 

mampu mengontrol laju tingkat inflasi yang tinggi. Setelah diteliti lebih lanjut ternyata kontrol terhadap inflasi tidak hanya dapat menggunakan 1 kebijakan saja namun perlunya kebijakan lain yang ditetapkan, seperti pembatasan penggunaan uang tunai serta mempermudah masyarakat dalam memperoleh uang elektronik. Hasil dari penelitian ini 

ditemukan bahwa ternyata Probabilitas t-hitung variabel e-money yang lebih kecil dari tingkat signifikansi alfa 0.05 menunjukkan bahwa variabel e-money berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi.

Dalam jangka pendek, variabel BI rate mempunyai berpengaruh signifikan terhadap variabel laju inflasi. Begitupun dalam Jangka panjang, BI rate berpengaruh signifikan terhadap variabel laju inflasi. BI Rate berpengaruh signifikan terhadap inflasi tersebut menunjukkan bahwa kebijakan moneter melalui BI Rate oleh 

Bank Indonesia mampu mengendalikan laju inflasi dan sesuai dengan target inflasi yang akan dicapai. Pada teori yang Klasik dijelaskan bahwa suku bunga merupakan fungsi dari tabungan. Semakin tinggi suku bunga maka keinginan untuk menabung akan tinggi. Keinginan menabung yang tinggi akan mengurangi tingkat konsumsi masyarakat. 

Sehingga pada akhirnya laju inflasi juga akan ikut menurun. Singkatnya, jikalau tingkat suku bunga yang tinggi akan menurunkan inflasi dikarenakan masyarakat langsung menyimpan uang mereka dalam bank-bank umum dan mendapatkan bunga dari tabungan sehingga JUB berkurang dan inflasi ikut turun. Hasil yang diperoleh pada penelitian 

ini sama dengan hipotesis awal yang menyatakan bahwa suku bunga BI Rate berpengaruh negatif terhadap tingkat Inflasi di Indonesia. Dimana hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang dijelaskan oleh Keynes dan bertentangan dengan persamaan fisher yang menyatakan bahwa kenaikan 1 persen dalam inflasi menyebabkan kenaikan 1 persen dalam tingkat bunga nominal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun