Sorot matanya sungguh sangat tajam.
Dijambaknya Dru dengan sekuat tenaganya. Dia ludahi Dru. Lalu ditendangnya dengan sekuat tenaga.
Dru sungguh tidak pernah menduga saat ini adalah masa paling sulit Dru melepaskan dirinya dari situasi yang tidak mengenakkan.
Langkahnya sungguh berat. Diraba pelan lututnya, sedikit ungu.
Dru betulkan posisi kakinya. Tidak ada yang Dru inginkan malam ini selain segera sampai di ranjang bututnya, meluruskan kaki dan punggungnya.
Tuhan, aku tidak pernah bermimpi ada di hari ini.
Juga tidak pernah ingin ada di tempat itu, di malam yang terlalu gelap hingga Dru sulit mengenali manusia yang dengan kasarnya melukai Dru tanpa ampun.
Tepat jam dua pagi. Dru sampai di kamar sempitnya.
Dru tatap dirinya di cermin kotak pemberian Metta. Sedikit bengka di kelopak matanya lalu ada tetesan darah kering di pelipis dan bahu yang sulit untuk digerakkan.
Dru paham, mala mini memang akan tiba. Dru sangat sudah bisa menduga jika Bram terlambat ambil keputusan lambat laun, Dru yang akan tersakiti, tapi tidak dengan Bram.
Bram anggap semuanya biasa saja. Bram anggap Dru memang duri yang seharusnya dicabut, tidak pelu hidup, karena hanya merusak indahnya kehidupan Bram.
Dru benci malam ini, sekaligus berterima kasih pada semesta karena akhirnya Dru paham. Bram tidak patut untuk Dru pertahankan.
"Dru, tolol kamu. Kamu itu tidak jelek, kamu pun sangat berharga. Kenapa kau biarkan Bram terus menyakiti kamu?"
"Engga ko Met. Aku tidak merasakan apapun. Yang kamu lihat sungguh sangat biasa untuk aku"
Metta kompres mata Dru. Dengan penuh cemas, Metta bersihkan luka Dru.
"Pelan ya Met. Aku masih ingin hidup?"
"Syukurlah jika kamu masih ingin hidup. Setidaknya dengan kamu sampai di sini saja aku tahu bahwa kamu masih mau ketemu aku, masih ingin mencapai cita-cita kamu, masih ingin melunasi hutangmu pada Bapa dan Ibu kan?"
"Iya... Iya Met. Aku dibesarkan bukan untuk jadi pecundang"
Dru tersekat.
Dia ingat-ingat masa-masa sedikit manis Bersama Bram.