Dru masih menunggu di ujung taman Rumah Sakit.
Ada perasaan sangat tidak enak, bayangan itu tetap menghantui. Ingin rasanya menumpahkan segala yang dirasakan namun tak seorang pun yang memahami perasaan Dru saat itu.
Bram masih sempatkan bertanya kabar. Tapi bukan itu yang diinginkan Dru. Jika saja saat itu, sepanjang waktu Dru gelisah selalu ada Bram mungkin akan lain ceritanya.
Dru merasa bodoh sekali. Padahal jauh sebelum itu banyak hal yang sudah Tuhan kasih pertanda.
Bahkan saat Bram meninggalkan Dru di pagi hari di ruangan kosong yang asing, sendiri dengan segala emosi kala itu. Dru masih saja memaksakan untuk bertemu Bram. Sayangnya bram tak kunjung datang.
Ah. Apa jangan-jangan Bram biang keroknya. Jika saja pagi itu Dru tidak menunggu Bram mungkin Dru sudah beranjak meninggalkan Jakarta.
Dru tidak perlu menghabiskan malam tahun baru tanpa rencana. Juga Dru tak perlu menunggu Mall menutup semua pintu masuk dan satu persatu lampu di setiap sudut dipadamkan.
Perasaan Dru yang begitu marah saat itu yang menahan Dru untuk berontak pada waktu dan masa yang tidak diharapkan.
Malam itu, gerimis. Sedikit lebat saat Dru masih seperti orang tolol menunggu Taksi sebelum manusia-manusia itu sibuk tiupkan terompetnya.
Dru kibaskan sebagian badannya. Kuyup. Sungguh bukan hal yang penting dibandingkan perasaan dungu sepanjang hari itu yang akan terus Dru ingat.
"Mbanya mau pakai helm?"
"Ndak usah mas, tengah malam hujan gini mana ada Polisi nilang"
Masnya paham betul. Dia tidak ajak berdebat. Kembali dia simpan helm dan jas hujan untuk Dru.
"Mas ambil jalur kanan, ke kiri macet."
"Lo Mba, kalau ke kanan, jalannya dialihkan nanti malah lama lo sampainya"
" Ya ndak papa Mas, biar lama sampainya"
Lewat tengah malam. Dru sedikit ragu untuk membukan pintu kostnya. Perjalanan tadi sedikit membuat kenangan Bram kembali melintas.
Dibentangkannya sajadah berwarna merah muda. Diam sebentar lalu Dru ambil gunting. Ditatapnya dengan lekat.
"Tuhan, jika malam ini tetesan darah dari nadiku menjadi perjalanan terakhirku, kiranya Engkau berkenan ampuni segala khilafku"
Dru dekatkan ujung gunting ke urat nadinya. Dru yang sempat tidak percaya dengan keberadaan laki-laki. Kembali bersemangat dan mempercayai bahwa Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan.
Tapi ketika Bram yang sudah sangat memberi nyaman untuk Dru, rupanya sama saja. Diangkatnya Dru dengan tinggi, dijatuhkan selayaknya buah Nangka matang di pohonnya.
Dulu ketika Dru disakiti setiap pasangannya, Dru sudah sangat siap. Karena setiap perangai buruk darinya menjadi Langkah awal Dru untuk siap menata kaki, hati dan pikirannya untuk segera selesai.
Tapi tidak dengan Bram. Bram tidak pernah kasar sedikit pun. Bahkan Bram berhasil membuat Dru kembali menemukan hidupnya.
Tapi, di saat Dru sangat membutuhkannya. Hanya pesan pendek saja, "Maaf, aku tidak bisa ada di sampingmu pada saat terberatmu"
Dua Jenazah terbujur kaku di depan Dru.
Hancur hati Dru!
Aku hanya anak durhaka yang tidak sempat berbakti bahkan di saat terakhirnya. Aku terlalu egois. Sibuk dengan keinginan sendiri sampai lupa bahwa ada dua orang yang sangat mencintaiku dan selalu menunggu aku untuk pulang.
Percuma nangis meraung-raung. Percuma pingsan berkali-kali. Jawabannya tetap satu. Aku, anak yang tidak tahu diri!
Siang itu aku sudah sangat merasakan. Perasaanku tidak enak. Bayangan kedua orangtuaku tidak hilang dari kepala ini. Pagi tadi saat aku akan meninggalkan mereka sungguh sangat aneh. Dan dungunya Dru, dikira karena Bram. Tolol!
Jika saja Dru paham tatapan terakhir Ibu dan Bapa, mungkin siang itu tidak perlu meninggalkan rumah. Dungu!
Hari itu, Dru ditinggalkan Bram. Hari itu pula Bram mencacinya. Ah, kukira Bram memang biang keroknya. Aku tak pulang hari itu. Tahun Baru terakhir untuk aku, Ibu dan Bapa. Tahun baru terakhir, Ibu dan Bapa menunggu Dru untuk makan Bersama.
Dru terlambat pulang.
Kecelakaan itu merenggut Ibu dan Bapa bersamaan.
"Mba, ini kukunya lepas. Tolong disimpan"
Ah, kata-kata itu. Tiga hari aku temani Ibu, tiga hari pula aku menerima lepasnya kuku tangannya satu persatu.
Kugenggam dengan erat, dengan berat aku berdoa, Tuhan cukupkan sakit pada Ibu dan Bapaku, izinkan mereka segera pulang ke rumah.
Lagi-lagi aku merasa berdosa. Siang itu sebelum Ibu dan Bapa pergi. Sebelum Bram sempat hadir sejenak.
"Mba, kalau sudah pulang ke rumah siapa yang jagain Ibu dan Bapa ya?"
Ah sungguh aku menyesal sampaikan itu. Bagaimana kalau obrolan itu membuat Ibu meminta Tuhan untuk segera menjemput. Bagaimana jika obrolan itu membuat Bapa sedih lalu kemudian Bapa koma.
Maaf... Tidak ada maksudku untuk berat menjaga Ibu dan Bapa.
Aku bersalah. Aku Mohon maaf
"Sudah empat tahun Dru. Berhentilah menangis!"
"Iya, sudah empat tahun, aku kehilangan sandaran. Empat tahun aku dibuat hancur berantakan. Empat tahun aku merasa semakin kacau. Sungguh aku rindu Bapa dan Ibu"
Jika saja saat itu aku pulang. Aku tidak akan membuat Ibu dan Bapa menungguku untuk makan Bersama.
Aku Rindu!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H