Dulu ketika Dru disakiti setiap pasangannya, Dru sudah sangat siap. Karena setiap perangai buruk darinya menjadi Langkah awal Dru untuk siap menata kaki, hati dan pikirannya untuk segera selesai.
Tapi tidak dengan Bram. Bram tidak pernah kasar sedikit pun. Bahkan Bram berhasil membuat Dru kembali menemukan hidupnya.
Tapi, di saat Dru sangat membutuhkannya. Hanya pesan pendek saja, "Maaf, aku tidak bisa ada di sampingmu pada saat terberatmu"
Dua Jenazah terbujur kaku di depan Dru.
Hancur hati Dru!
Aku hanya anak durhaka yang tidak sempat berbakti bahkan di saat terakhirnya. Aku terlalu egois. Sibuk dengan keinginan sendiri sampai lupa bahwa ada dua orang yang sangat mencintaiku dan selalu menunggu aku untuk pulang.
Percuma nangis meraung-raung. Percuma pingsan berkali-kali. Jawabannya tetap satu. Aku, anak yang tidak tahu diri!
Siang itu aku sudah sangat merasakan. Perasaanku tidak enak. Bayangan kedua orangtuaku tidak hilang dari kepala ini. Pagi tadi saat aku akan meninggalkan mereka sungguh sangat aneh. Dan dungunya Dru, dikira karena Bram. Tolol!
Jika saja Dru paham tatapan terakhir Ibu dan Bapa, mungkin siang itu tidak perlu meninggalkan rumah. Dungu!
Hari itu, Dru ditinggalkan Bram. Hari itu pula Bram mencacinya. Ah, kukira Bram memang biang keroknya. Aku tak pulang hari itu. Tahun Baru terakhir untuk aku, Ibu dan Bapa. Tahun baru terakhir, Ibu dan Bapa menunggu Dru untuk makan Bersama.
Dru terlambat pulang.
Kecelakaan itu merenggut Ibu dan Bapa bersamaan.
"Mba, ini kukunya lepas. Tolong disimpan"