Juga saat Dru sangat sadar bahwa sebagai perempuan yang dibesarkan dengan penuh adab oleh Bapak, tak patut rasanya untuk terus mengemis atau mungkin menjadi maling meski hati berkata bahwa ini adalah milikku.
Malam itu bulan tidak berpihak pada Dru.
Mendung tidak. Namun air mata tak kunjung berhenti mengalir begitu derasnya
Tissue yang seharusnya Dru gunakan untuk bersihkan luka Metta, malah dia habiskan untuk ingus yang terus keluar deras sama seperti air matanya.
"Ko kamu sesedih itu sih Dru?"
"Yak karena kau temanku Met"
Dru tatap Metta dengan dalam.
Darah segar kembali mengalir pelan dari pelipis Metta.
Senyum cantik Metta masih saja terlihat di balik luka yang hingga detik ini belum berkenan Metta sampaikan.
Dru sendiri bingung.
Malam itu saat Bram dihapus dari ingatan Dru.