Shinta berlari ke kamar sambil membanting pintu hingga getarannya mencapai 5 Skala Richter saat seismogram dari mulut Bu Tina ikut berteriak.
"Woi anak bukan setan, pelan-pelan kalau banting pintu. Ibu tidak punya uang untuk ganti pintu dan jendela yang pecah."
Shinta menangis deras, masa indah Shinta diambil paksa seketika.
Sebenarnya ibu sangat berbahagia saat menikah dengan bapak. Ibu sebagai anak yang broken home sulit untuk mencintai laki-laki.Â
Opah Sutoyo adalah pensiunan tentara. Beliau sangat ringan tangan. Seringkali Omah Ratni menjadi bulan-bulanan opah bila opah sedang kesal. Ibu sudah terlalu sering melihat lebam di tubuh omah.Â
"Ndapapa, ibuk lebam-lebam, tapi bapakmu itu setia ndo. Banyak perempuan yang mau sama bapak. Bapak tetap sama ibu. Anggap saja lebam ini penggantinya. Ibu ikhlas."
Lebam bahkan tak jarang hidung omah berdarah saking keras opah menonjok omah, tak pernah satu kalipun omah berteriak atau menangis. Padahal opah seringkali berkata kasar selain juga ringan tangan.
"Hei tolol, suami pulang malah asik nyulam, haus nih, Buatkan teh manis !"
Kali lainnya, "Brengsek kamu jadi isteri ya, saya menyesal kawin sama kamu. Jadi isteri itu harus resik. Orang lain ingin punya rumah susah. Kamu ta kasih rumah besar malah berantakan."
Begitulah kehidupan omah, bahkan aku masih menyaksikan perbuatan opah terhadap omah, aku dan ibu jengkel dibuatnya.Â
Rumah yang kami tinggali adalah rumah pemberian opah. Sampai akhir hayatnya omah dan opah habiskan waktunya di sini. Walau dengan banyak pertikaian. Opah dan Omah rupanya memiliki cinta sejati.