Jemarinya yang kokoh menggenggam jemariku yang rapuh
Dua puluh satu tahun yang lalu
Lenganmu yang kekar mendekapku dengan lembut
Serasa baru kemarin aku meninggalkan rumah
Pipimu masih chubby
Lenganmu masih berotot
Dan senyummu masih merekah
Namun hari ini
Ku lihat kau terbaring lunglai di ranjang pesakitan
Mukamu yang pucat
Membuatku pilu
Garis garis keriput di punggung tanganmuÂ
Menyadarkanku betapa kejamnya waktu
Atau diriku yang bodoh karena tak menyadarinya
Mustahil untuk memutar kembali waktu
Pengecut jika hanya bisa menyesalinya
Kugenggam tanganmu seperti kau menggenggamnya dulu
Rasa aneh yang muncul dalam hatiku
Seperti penyesalan dan ketakutan
Takut belum bisa memberimu kebahagiaan seperti yang telah kau beri dulu padaku
Detik jam di nakas tak pernah berhentiÂ
Dan aku tau rasa sayangmu padaku tak pernah berhenti seperti detik jam itu
Air mata membasahi wajahmu yang garang
Seketika hatiku runtuh
Ingin ku berteriak dan menangis menyesali kenakalanku selama ini
Tak pernah kulihatmu selemah ini, Ayah
Bahkan saat darah mengucur dan tanganmu koyak
Lebam di kaki, dan saat gigimu tanggal
Kau selalu berdiri kokoh didepanku
Tak pernah kubayangkan kau akan menjadi selemah ini
Ayah...
Maafkan aku
Aku bersalah karna abai denganmu
Aku berdosa karna lupa akan hadirmu
Ayah ...
Aku mencintaimu
Tunggulah sebentar lagi, akan kutinggalkan semua nya
Untuk dapat bersamamu
Disisa waktu yang masih kita miliki
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H