“Iya, mama berangkat sekarang juga. Kamu baik-baik saja kan?”
“Iya, ma.” Lemah saja suara itu mengakhiri pembicaraan.
***
Sementara Rindu yang kalut setelah mendapat telpon mama Satria, malam itu segera berpacu dengan waktu menuju ke Jakarta. Susan dan George masih setia menemaninya. Juga ada Panji di sampingnya sedikit banyak membantu beban pikirannya. Penyesalan. Ya, hanya kata itu yang bisa keluar dari mulut Rindu.
"Aku sibuk mengurusi diriku, sibuk diperbudak egoku, dan melupakan Satria. Rindu berkata sambil matanya berkaca-kaca. ...Demi Allah! Perempuan macam apakah diriku ini?" Rindu mengungkapkan isi hatinya.
“Sudahlah, Ndu. Apa mau dikata? Yang penting tenangkan dulu dirimu.” Susan berusaha menasehatinya. George suami Susan ikut gelisah, ia berkali- kali meneguk air mineral dan sesekali menawari istrinya.
“Mengapa Satria memperlakukanku begini, Sus?”
“Mengapa ia tidak terus terang kepadaku? Ia menyembunyikan hal sebesar ini dariku??? Oh....Rindu merasa bersalah. Hilang harapan. Semua terasa pahit…bahkan wajah Panji di hadapannya, terlihat seperti makhluk asing yang tiba-tiba datang dalam hidupnya dan mengambil bagian dalam petualangan gilanya. Mobil melesat kencang menuju Ngurah Rai, berharap ada pesawat yang bisa membawanya ke Jakarta malam ini juga.
***
Pagi, pukul 06.55 Wib. Rumah itu tampak lengang. Rindu sudah berulang kali menekan bel pintu, tapi tak ada seorangpun yang keluar. Pintu pagar terkunci rapat.
“Satria…Satria…!!! Ini aku Mas…” teriak Rindu sambil beberapa kali menghubungi telpon rumah dan HP Satria, tidak satupun yang mengangkat telepon. Pagar digedor-gedor keras. Tak ada yang keluar.