“Sudahlah jangan membantah, aku tak banyak waktu. Berangkatlah besok pakai pesawat, kita ketemu di sana. Seseorang, aku yakin dialah orangnya. Dia tipe kamu banget!”
“Tapi, San…”
“Saat ini aku sudah di Bali. Okey??? Jam tujuh tepat or no wedding anymore.” Kata-kata Susan meyakinkannya. Maka sampailah saat ini Rindu di Ubud, tanpa penyambutan Susan atau lainnya selain seorang pembantu.
Meski sudah beranjak sore, suasana sangat tenang. Tidak terdengar dentuman music dari café ataupun dari bar sekitar. Benar-benar beradu dengan keasrian alam. Rindu jadi teringat beberapa tahun silam, saat lulus SMA Susan pernah mengajak Rindu ke sini. Mereka berlima menghabiskan dua hari bersama komplotan “Geng Mawar Merah” (istilah pertemanan mereka). Perayaan lulusan habis-habisan, music, film, rokok, dan gossip. Bahkan Noni sampai mabuk karena mencoba merasakan minuman alcohol koleksi Om Welly yang mereka ambil tanpa sepengetahuannya.
***
Rindu memilih casual ungu tua bergambar Marleen Monroe nyaris bertelanjang dada dipadu dengan jins biru gelap berpotongan straight cut malam ini. Memoles tipis lipstick pink dan membiarkan rambutnya terurai lepas. Jam tujuh, Susan akan segera datang bersama George dan seseorang yang akan dikenalkan padanya. Ia tinggal turun ke bawah karena semua persiapan katanya sudah diatur. Jam tujuh kurang lima belas menit tapi belum ada tanda-tanda Susan muncul. Rindu sempat merasakan gundah. Jantungnya mulai berdegup kencang. “Sialan! Bisa saja Susan mengerjaiku seperti ini. Kok malah aku yang resah ya?” Bisik Rindu lirih pada dirinya sendiri. Rindu mengambil handphone, Susan harus menjelaskan padanya. Dan tentu saja, tak terhubung! Handphone Susan tak dapat dihubungi, mati. Tiba-tiba pintu kamar diketuk perlahan dari luar. Sesegera mungkin Rindu beranjak membukakan.
“Kau?” mata Rindu menyorot tajam seakan ingin menghunus apa yang ada di hadapannya, tak lama kemudian sorot mata itu menipis saat sadar ia tampak bodoh seperti disambar petir dengan mulut yang masih menganga.
Tak ada sahutan, hanya tatapan mata yang tak berkedip menatap dan seolah menelanjanginya.
Tangan Rindu sigap meraih pintu dan lantas menutupnya dengan geram. Brakkkkk!!
Tak terdengar suara apapun malam itu, hening.
Selang beberapa menit pintu terbuka kembali. Lelaki itu masih belum beranjak, tetap berdiri pada posisi semula. Dengan tangis yang tak sanggup dibendungnya Rindu memeluk tubuh lelaki itu. Rindu sesenggukan, seakan memuaskan dirinya yang telah terbelenggu sekian lama oleh kebisuan pada tangisnya sendiri.