Sinar matahari sore menyeruak di antara dedaunan dan lebatnya Bunga Cassia, bias jingga menerobos melalui kaca jendela setelah gorden merah bata kamar itu tersingkap lewat jari-jemari lentik Rindu di lantai dua Puri Nendra Bungalow. Bau tanah basah karena guyuran hujan semalam lekat tercium begitu daun pintu terbuka, menebar aroma khas. Menyiratkan secercah harapan baru, terbaca jelas di garis bibir Rindu yang sempat senyum simpul.
Hari ini, genap sudah sepekan lagi pesta perkawinannya harus terlaksana. Jika saja semalam Susan tidak menelponnya, sudah dipastikan Rindu masih berada di rumah menenggelamkan dirinya di antara bantal-bantal kamar tidurnya, bukan di bungalow ini, dan sudah dipastikannya pula Rindu akan mengirim permohonan maaf kepada keluarga, kerabat, para sahabat, kolega, dan tamu undangan yang telah diundangnya.
Yup! Sekali ini saja. Masih ada harapan, dan harapan itu harus dijemputnya malam ini. Bisa saja semua bayangan calon mempelai lelakinya yang kandas, Michael, Reza, dan Heru menertawai dan mencibirnya. Aryo yang pada masa lalunya sempat menggetarkan hatinya ternyata saat ini tak sanggup menggetarkan hati Rindu. Wajah Aryo yang tampan dengan tubuh atletisnya telah menyurutkan perasaan Rindu ketika tahu bahwa Aryo mempunyai kelainan yang tak bisa ditoleransinya. Ya, Aryo menderita kelainan biseksual.
Namun kali ini…, demikianlah feeling Rindu berkata lain. Entah mengapa Rindupun tak tahu pasti. Mungkin kata-kata Susan kemarin yang membulatkan kembali harapannya.
“Rin, masih ingat Puri Nendra Bungalow-nya Om Welly kan?”
“Yang di Ubud itu?”
“Ya.”
“Hmm..ada apa San?”
“Besok kita ketemu di sana.”
“Hey! Edan kamu!”