"Batin seimbang? Seperti apa itu, Pak?"
"Itu sikap batin yang ketika kita untung, kita bersukacita tetapi secukupnya dan tetap sadar bahwa ini pun akan berlalu. Dan ketika kita rugi, seperti saya tadi yang dikomplain Ibu itu, kita tetap tenang dan sadar bahwa ini pun akan berlalu. Batin seimbang membuat kita tidak jatuh ke salah satu  ekstrim: mabuk kemenangan ketika untung, meraung sedih ketika rugi."
 "Oo...begitu," aku anggukkan kepala. "Jadi kita menyadari dengan bijaksana bahwa hakihat hidup adalah perubahan yang terus menerus, dan ketika kita melekat pada sesuatu yang hakikatnya selalu berubah maka kita akan menderita sendiri, tergilas dan tersiksa oleh perubahan itu. Begitu, Pak?"
"Benar, Bro. Wah, Bro cepat paham, pasti cerdas ya."
"Hehehe....," aku terkekeh mendengar pujian itu.
"Makannya apa sih, Bro, kok bisa cerdas begitu?"
"Ah, cuma tahu saja, Pak."
Kami tertawa serentak.
Inilah cerita tentang upekkha, ketenangseimbangan. Sikap batin yang tak sudi jatuh ke dalam jebakan empat pasang angin duniawi dari untung-rugi, terkenal-tak terkenal, terpuji-tercela, suka-duka.
Chuang 280722
 Â