Cerita #4
Toko kelontong model jadoel dengan hawa yang mengesankan suasana tempo doeloe ini dijaga oleh seorang bapak yang kutaksir umurnya paling-paling baru sekitar 50-an tahun.Â
Saat aku masuk, seorang pelanggan lain terdengar berteriak marah dengan nada murka, dan setelah puas mencaci maki penjaga toko, dia pun bergegas keluar dengan sembrono. Dia nyaris menabrak sebuah rak penuh barang.
Bapak penjaga toko tetap tenang, tersenyum ramah dan bertanya kepadaku apa yang bisa dia bantu? Aku utarakan niatku membeli sepasang sandal jepit dan sikat gigi serta odolnya.Â
Aku perhatikan tak ada ekspresi gusar atau getaran kemarahan sedikit pun pada diri bapak penjaga toko, padahal dia baru saja dicaci maki seorang pelanggan.
"Pak, Bapak tidak marah setelah dicaci-maki Ibu tadi?" tanyaku penasaran.
"Tidak, Bro, sama sekali tidak," jawab beliau.
"Kok bisa?"
"Ya, Bro. Sudah biasa begitu dan saya sudah berlatih juga sedikit-dikit untuk memupuk kesabaran. Saya umpamakan saja seperti kita menyambut tamu yang datang ke rumah kita. Kita sediakan hidangan untuk mereka, tetapi bila mereka tak menyentuh hidangan itu sampai kepulangannya maka hidangan itu menjadi milik siapa?"
 "Milik kita sebagai tuan rumah, Pak."
"Sama seperti itulah, Bro. Ibu tadi menyuguhi saya 'hidangan' caci-maki, tetapi selama saya berhasil mempertahankan batin seimbang maka caci-maki itu kembali menjadi milik si Ibu."