Mohon tunggu...
Chuang Bali
Chuang Bali Mohon Tunggu... Wiraswasta - Orang Biasa yang Bercita-cita Luar Biasa

Anggota klub JoJoBa (Jomblo-Jomblo Bahagia :D ) Pemilik toko daring serba ada Toko Ugahari di Tokopedia.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Empat Cerita dalam Empat Hari

28 Juli 2022   17:57 Diperbarui: 28 Juli 2022   18:06 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Empat Cerita dalam Empat Hari

Kita manusia adalah makhluk naratif yang menyukai cerita, menciptakan, mewarisi, dan mendengar cerita. 

Dari sejak leluhur kita dulu, para manusia purba, kita sudah mengenal cerita dan bahkan dikatakan bahwa spesies kita sebagai satu-satunya spesies manusia yang masih lestari hingga kini---homo sapiens---bisa bertahan dan menang dalam pertarungan kelestarian karena kita punya keunggulan di bidang penciptaan cerita. 

Pesan-pesan kebijaksanaan dan kearifan lokal lebih mudah disampaikan dan diwariskan ke generasi berikutnya melalui cerita. 

Dan atas pertimbangan tersebut, saya akan menceritakan empat cerita berikut ini yang saya harap dapat memberikan inspirasi dan motivasi kepada siapa pun untuk terus berbuat baik.

Cerita #1

Aku sedang duduk di meja tunggal yang disediakan untuk pengunjung yang datang sendirian atau maksimal berdua. Di warung ini suasana sore terasa teduh oleh rimbun pepohonan dan semilir angin yang mengirim aroma dupa wangi entah dari mana. 

Tidak jauh dari mejaku, tampak sebuah keluarga muda: sepasang suami istri dengan satu anak perempuan yang mungkin baru saja masuk TK nol kecil. Si anak memiliki suara seperti genta kecil, nyaring tapi riang dan menyenangkan didengar. Mereka makan dengan tenang, dengan sang Ibu sekalian menyuapkan makanan untuk anaknya dan dirinya sendiri.

 Sang Ayah sabar menjawab atau menanggapi setiap celoteh putrinya. Tampak jelas sang putri memiliki rasa ingin tahu yang besar dan senang mengobrol. Ia ramai bertanya ini itu kepada Ayahnya. 

Saat hidangan telah tandas, sang Ayah membersihkan meja dari remah-remah sisa makanan, mengumpulkannya di satu piring kotor dan lalu menumpuk dengan rapi piring-piring beserta gelas serta ikutannya di tengah-tengah meja.

"Ayah, mengapa piring-piring kita ditumpuk begitu?" sang putri bertanya keheranan melihat tingkah laku Ayahnya.

"Kita bantu agar pelayan warung ini nanti ringan kerjanya, Nak, agar hati mereka senang," jawab sang Ayah. Si anak terlihat tidak terlalu paham maka Ayahnya menjelaskan lebih lanjut, "Misalkan kamu jadi pelayan dan ada orang yang mau bantu kamu bersihkan meja. Kamu suka?"

"Suka dong, Yah," jawab sang putri.

"Nah, Ayah tumpuk piring dan bersihkan meja ini biar para pelayan senang karena kerjaannya sudah dibikin ringan. Yuk, sudah siap pulang?" Istri dan anaknya tersenyum, mereka bangkit bergandengan tangan menuju kasir.

Aku juga tersenyum, ikut bahagia mendengar percakapan dan menyaksikan adegan tadi. Ayah yang bijaksana. Entah sadar atau tidak, dia telah menunjukkan contoh sebuah kebajikan sederhana namun sarat makna kepada putrinya. Itu adalah praktik metta yang sederhana, suatu tindakan dari perniatan agar semua makhluk bahagia dan sejahtera.

Aku melihat pelayan perempuan yang datang menghampiri meja keluarga muda itu tersenyum bahagia.

Cerita #2

Pagi hari di jalanan menuju kantorku, lalu lintas padat dan agak tersendat. Semua kendaraan berjalan pelan dan tampaknya akan lancar-lancar saja sebelum tibat-tiba terdengar suara keras. 

Seorang Ibu jatuh dari motornya, kecelakaan tunggal. Orang-orang seketika berhenti dan menepi. Si Ibu terduduk di pinggir jalan, kaki kirinya patah. 

Meski cukup tabah, tak dapat disangkal bahwa dia mengalami rasa sakit yang sangat. Tanpa dikomando, semua orang bergerak untuk menolong sang Ibu. 

Ada yang mendirikan motor ringsek milik si Ibu dan memindahkannya ke bawah rindang pohon peneduh jalan, ada Ibu lain menyodorkan sebotol air mineral untuk menenangkan korban, dan seorang perempuan muda berpakaian perawat tampak memeriksa kaki korban. 

Dia melakukan tindakan P3K dengan peralatan seadanya di sana, meminta orang-orang segera memanggil ambulance atau mencarikan kendaraan yang bersedia membawa korban ke rumah sakit terdekat.

Sebuah minibus berisi serombongan anak SD berhenti di dekat lokasi, para penumpangnya bergegas turun dan sopirnya berseru agar sang korban dinaikkan ke mobilnya untuk diantar segera ke rumah sakit.

Tapi bagaimana dengan anak-anak SD yang juga harus segera sampai di sekolah mereka? Gampang! Mereka semua berkata akan jalan kaki saja, toh tinggal sekilo meter kurang lagi dan sampailah ke sekolah mereka.

Orang-orang bertepuk tangan mendengarnya!

Aku yang menyaksikan dari jauh juga ikut bahagia. Hati mereka semua bergetar oleh rasa kasih sayang akan derita sang korban.

Inilah praktik karuna, welas asih untuk meringankan derita makhluk yang sedang dalam kesengsaraan. Menjadi suaka bagi yang terancam marabahaya, obat bagi yang sakit, pelita bagi yang dalam kegelapan, pemamdu bagi yang tersesat.

Cerita #3

Teman kantor mengundang ke pesta syukuran karena dia baru saja mendapatkan promosi naik pangkat. Syukuran sederhana untuk sekitar 20 teman terdekat, ramah tamah sambil menyantap suguhan makanan dan minuman di sebuah warung. 

Suasana riang, obrolan ramai. Hadirin ikut bergembira atas prestasi tuan rumah. 

Kami semua bersulang sembari mengucapkan harapan-harapan baik agar si teman sukses mengemban tanggungjawab baru-nya, sekaligus mewanti-wanti agar jangan terlalu sibuk bekerja hingga lupa diri, lupa daratan serta lupa lautan. 

Semua tertawa, semua ikut bahagia. Si kawan pantas memperoleh promosi. Dia adalah seorang pekerja yang baik, profesional dan berdedikasi tinggi serta murah hati. Tak ada yang iri padanya.

Mudita, ikut bahagia atas kebahagiaan orang atau makhluk lain, adalah praktik kebajikan yang menentramkan hati sekaligus menjaga keharmonisan dalam kehidupan sebagai makhluk sosial.

Cerita #4

Toko kelontong model jadoel dengan hawa yang mengesankan suasana tempo doeloe ini dijaga oleh seorang bapak yang kutaksir umurnya paling-paling baru sekitar 50-an tahun. 

Saat aku masuk, seorang pelanggan lain terdengar berteriak marah dengan nada murka, dan setelah puas mencaci maki penjaga toko, dia pun bergegas keluar dengan sembrono. Dia nyaris menabrak sebuah rak penuh barang.

Bapak penjaga toko tetap tenang, tersenyum ramah dan bertanya kepadaku apa yang bisa dia bantu? Aku utarakan niatku membeli sepasang sandal jepit dan sikat gigi serta odolnya. 

Aku perhatikan tak ada ekspresi gusar atau getaran kemarahan sedikit pun pada diri bapak penjaga toko, padahal dia baru saja dicaci maki seorang pelanggan.

"Pak, Bapak tidak marah setelah dicaci-maki Ibu tadi?" tanyaku penasaran.

"Tidak, Bro, sama sekali tidak," jawab beliau.

"Kok bisa?"

"Ya, Bro. Sudah biasa begitu dan saya sudah berlatih juga sedikit-dikit untuk memupuk kesabaran. Saya umpamakan saja seperti kita menyambut tamu yang datang ke rumah kita. Kita sediakan hidangan untuk mereka, tetapi bila mereka tak menyentuh hidangan itu sampai kepulangannya maka hidangan itu menjadi milik siapa?"

 "Milik kita sebagai tuan rumah, Pak."

"Sama seperti itulah, Bro. Ibu tadi menyuguhi saya 'hidangan' caci-maki, tetapi selama saya berhasil mempertahankan batin seimbang maka caci-maki itu kembali menjadi milik si Ibu."

"Batin seimbang? Seperti apa itu, Pak?"

"Itu sikap batin yang ketika kita untung, kita bersukacita tetapi secukupnya dan tetap sadar bahwa ini pun akan berlalu. Dan ketika kita rugi, seperti saya tadi yang dikomplain Ibu itu, kita tetap tenang dan sadar bahwa ini pun akan berlalu. Batin seimbang membuat kita tidak jatuh ke salah satu  ekstrim: mabuk kemenangan ketika untung, meraung sedih ketika rugi."

 "Oo...begitu," aku anggukkan kepala. "Jadi kita menyadari dengan bijaksana bahwa hakihat hidup adalah perubahan yang terus menerus, dan ketika kita melekat pada sesuatu yang hakikatnya selalu berubah maka kita akan menderita sendiri, tergilas dan tersiksa oleh perubahan itu. Begitu, Pak?"

"Benar, Bro. Wah, Bro cepat paham, pasti cerdas ya."

"Hehehe....," aku terkekeh mendengar pujian itu.

"Makannya apa sih, Bro, kok bisa cerdas begitu?"

"Ah, cuma tahu saja, Pak."

Kami tertawa serentak.

Inilah cerita tentang upekkha, ketenangseimbangan. Sikap batin yang tak sudi jatuh ke dalam jebakan empat pasang angin duniawi dari untung-rugi, terkenal-tak terkenal, terpuji-tercela, suka-duka.

Chuang 280722

  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun