Mohon tunggu...
Chuang Bali
Chuang Bali Mohon Tunggu... Wiraswasta - Orang Biasa yang Bercita-cita Luar Biasa

Anggota klub JoJoBa (Jomblo-Jomblo Bahagia :D ) Pemilik toko daring serba ada Toko Ugahari di Tokopedia.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Jomblo: Bukan (Kisah) Cinta Biasa #2

25 Juli 2022   22:02 Diperbarui: 25 Juli 2022   22:02 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

#2 Papa

Pagi hari. Rumah Keluarga Ceria mulai tersiram sinar keemasan mentari. Di kebun depan, di pucuk pohon Cemara burung Kutilang bernyanyi. Mungkin timbul pertanyaan: mengapa harus burung Kutilang? Mengapa bukan burung Hantu atau burung Perkutut? Karena, memang begitulah bunyi lirik lagunya (hehehe...).

Jomblo  bangun dengan agak ogah-ogahan. Ini baru jam 6 lewat 55 menit, masih belum pukul 7. Rasanya tidak rela memutus mimpi indah semalam yang belum benar-benar tamat. Bayangkan saja, mimpi bisa terbang seperti Superman dan jadi pahlawan yang dielu-elu seluruh dunia. Coba deh, kapan lagi ada kesempatan seperti itu, meski hanya mimpi?

Tapi apa pun, alam telah memanggil, mentari sudah bergegas, dan Papa pasti akan mendobrak kamar sampai jebol jika Jomblo masih saja tak menampakkan batang hidungnya. Yah, Papa memang paling benci dengan orang yang suka bermalasan-malasan. Bagi beliau, orang harus bekerja keras dan berguna, baru hidup itu ada artinya. 

Tak ada yang disebut dengan kerja cerdas. Menurut beliau itu hanyalah alasan yang dibuat si pemalas untuk membenarkan kemalasannya. Kerja keras harus benar-benar dalam arti banting tulang, kalau perlu sampai berdarah-darah. Serem, kan? Sebenarnya Jomblo kurang setuju dengan pendapat itu, tapi daripada ribut dengan orangtua sendiri, mendingan Jomblo mengalah saja deh. Lagipula, bangun pagi itu banyak manfaatnya lho. Tidak percaya? Tanyalah kepada rumput yang bergoyang (hehehe....)

Jadi, dengan mengerahkan segenap kekuatan kemauan, Jomblo menyeret tubuhnya turun dari kasur dan dekapan selimut yang hangat. Dengan gontai seperti langkah Zombie baru lahir, dia melangkah keluar dari kamar, melewati kamar adik perempuannya yang di pintu depannya terpasang stiker pengumuman:

ORANG GALAK ATAU JELEK

DILARANG MASUK!!!

Jomblo menengok sebentar ke dalam kamar adiknya yang pintunya setengah terbuka. Kamar yang rapi dan harum, di dinding ada beberapa poster boyband Korea pujaan ABG. Jomblo jadi nyengir sendiri teringat kamarnya yang tak pernah bisa serapi itu. Dia lalu melewati kamar Papa dan Mama. Rupanya May-may dan Papa+Mama sudah bangun. Dari lantai bawah terdengar sayup-sayup suara sepatah dua percakapan dan dentingan perkakas dapur yang sedang digunakan. Hm...Mama bikin sarapan apa ya hari ini? Semoga Pai Apel lagi seperti kemarin. Soalnya, makyus!      

Sehabis melakukan ritual pagi yang biasa dari sejak dia bisa BAB dan mandi sendiri, Jomblo turun ke lantai bawah. Di bagian tengah dapur yang sekaligus ruang makan ada seperangkat meja makan. Dan di sana sudah terbentuk formasi khas keluarga Ceria: Papa duduk di kursi kesayangannya sambil membaca koran dan sesekali meneguk kopinya, May-May duduk di seberangnya sambil menyelam minum air, eh, maksudnya: sambil melahap sarapannya sekaligus mengirim SMS ke entah siapa pula. Dan Mama? Yah, Mama asyik sendiri mempersiapkan lauk pauk dan segala macam ikutannya untuk makan siang nanti. Biasa, Mama memang ingin praktis saja langsung menyelesaikan satu pekerjaan sekaligus sehingga ketika waktunya makan siang segalanya sudah tersedia. Tinggal dipanaskan dengan oven jika mau.  

Baru saja Jomblo mendaratkan pantat gepengnya di kursi samping Papa, sudah terdengar suara gerutuan.

"Koruptor lagi, koruptor lagi," dari balik lembar koran Papa terdengar kesal sembari tangannya meraih kopi. Kepalanya mendadak pusing karena tensi darah yang tiba-tiba melonjak tinggi gara-gara seekor, eh, seorang koruptor nampang di halaman depan koran, sambil cengengesan pula! Gluk, gluk, gluk..hmm...

"Sabar, Papa, jangan galak-galak. Ingat darah tingginya," kata Mama menenangkan.

"Ah, sabar, sabar...para pemimpin itu, mengaku-aku reformis antikorupsi, tapi nyatanya korupsi makin mewabah. Bagaimana berharap tidak merajalela jika orang tidak jera melakukan praktik korupsi karena hukum bisa dibeli? Penjara pun kini tidak lagi menakutkan. Asalkan ada uang, kamar penjara bisa di-simsalabim-kan menjadi kamar mewah hotel berbintang lengkap dengan layanan kamarnya."

"Jadi, koruptor itu harusnya dihukum berat, ya Pa?" rupanya May-may tidak sibuk-sibuk amat ber-SMS ria. Terbukti dia bisa menanggapi gerutuan Papa.

"Betul! Di hukum mati saja! Ditembak atau digantung, disetrum juga oke. Kalau tidak tega, minimal hukuman penjara 10 tahun dan dibuat miskin dengan disita harta bendanya supaya tidak bisa menyogok atau membeli hukum. Dan saat menghadiri sidang harus pakai pakaian khusus ala Gerombolan Si Berat atau Dalton Bersaudara biar tidak bisa bergaya petantang petenteng pakai batik sutra atau jas mewah sambil senyam-senyum seperti tak berdosa."

"Iiihh...kejam amat," May-may bergidik.

"Harus begitu, sayang. Karena korupsi itu bukan kejahatan biasa seperti perampokan atau pencurian. Korupsi bisa menghancurkan tatanan sosial kita. Bayangkan bila seorang pejabat korup menilep uang yang sedianya untuk membiayai sekolah-sekolah bagi generasi muda kita, berapa banyak anak-anak muda yang menjadi korban karena kesempatannya untuk memgembangkan diri melalui pendidikan dirampas oleh si pejabat? Payah dah! Jika terus-terusan begini-begini saja, koruptor tidak akan jera dan orang tidak takut atau malu melakukan korupsi. Lama-lama negara ini mau jadi apa?"

"Yah, paling-paling juga jadi NKRI" sahut May-may. Nada suaranya terdengar agak mencurigakan sehingga perasaan Jomblo jadi was-was. Benar saja, Papa mencaplok umpannya.

"NKRI? Maksudmu Negara Kesatuan Republik Indonesia?"

"Bukaaan...Papa sayang."

"Apa, dong?"

"Negara Kleptokrasi Republik Indonesia!"

Papa mendelik, sudah siap menyemprotkan kata-kata penuh omel, tapi kemudian dia tersadar. "Oh iya, haha...wah, gadis kecil Papa pinter juga, hahaha..."

"Siapa dulu dong Mamanya," dari dapur Mama menyelutuk tangkas.

"Salah! Siapa dulu dong Papanya," Papa tidak mau kalah. "Menurut penelitian, perkembangan anak gadis itu dipengaruhi oleh figur ayah. Kalau anak cowok baru dari figur ibu yang dominan. Nah bagianmu itu si Jomblo tuh...", kata Papa sambil memoyongkan bibirnya ke arah Jomblo. Jomblo jadi ingin ketawa. Mulut monyong Papa mengingatkannya pada mulut ikan Cucut yang pernah dilihatnya di pantai.  

"Penelitian apa, tuh? Ngawur kayaknya!" Mama menangkis dengan jurus kepala batunya yang sudah tersohor itu, warisan turun temurun dari leluhurnya. "Jangan-jangan itu cuma karanganmu saja."

"Eh, enak saja nuduh-nuduh aku ngarang!" Papa jadi ikut-ikutan ngotot. Wah gawat, nih, punya orangtua hobi debat seperti ini. Jomblo cepat-cepat mengirim sinyal SOS ke May-May. Tapi sialan! Gadis itu cuma mendongakkan kepalanya sebentar dari layar ponsel, lalu mengangkat bahu dengan ekspresi EGP. Terpaksa Jomblo harus mengambil langkah penyelamatan sendiri.

"Ehem, begini..." Jomblo berdehem, sengaja dengan suara dikeras-keraskan laksana bijaksanawan yang hendak mengucapkan suatu sabda. Akibatnya, dua "oknum" siap perang itu menolehkan pandangan galak mereka ke Jomblo. Ngeri! Sudah terlanjur. Maju kena mundur pun setali tiga uang.  

"Saya rasa Papa dan Mama sama-sama punya andil sehingga bisa punya anak secerdas dan secantik May-May."

Mendadak di sisi meja ada yang terlihat kepalanya tambah besar dan hidungnya kembang kempis sampai berbunyi bang-pis-bang-pis segala. Ponsel yang sedari tadi dimainkannya bahkan ditinggalkannya sebentar untuk menikmati momen pujian seperti itu. Sambil merem melek, pula. Alamak! Segitunya, lebay amat!

"Menurut teori, kecerdasan anak bawaan dari pihak ibu," kata Jomblo melanjutkan. Mama tersenyum cerah dengan ekspresi "apa gua bilang".

"Jadi jika ibu cerdas, kemungkinan besar anak-anaknya pun cerdas.Tapi modal genetik seperti itu baru separuh saja dari seluruh potensi kecerdasan. Lingkungan pengasuhan juga mempengaruhi, dan dalam hal ini peran ayah sangat menentukan." Sekarang giliran Papa yang berseri-seri.

"Oh ya, karena kualitas positif berasal dari andil dua pihak, hal yang negatif pun kemungkinan berasal dari masing-masing sisi juga," Jomblo meneruskan, kali ini nadanya terdengar agak mencurigakan.

"Hal negatif macam apa?" Mama menukas cepat. May-may tampak mulai galau. Jangan-jangan....

"Yah, misalnya kebiasaan jorok May-may mengupil kalau sedang stress. Kata Oma, dulu waktu kecil Mama juga sering begitu, tapi untungnya sejak jadi ibu sudah mulai bisa terkendali." Mama cemberut, Papa tertawa ngakak, May-may berteriak histeris, "Stop! Stop!" sambil menutup kedua kupingnya seperti salah satu dari tiga monyet bijak yang terkenal itu.

"Sudah, sudah," Papa mencoba mengendalikan tawanya yang masih tersisa. "Yuk, May, kita berangkat. Sudah siang, kamu tidak ingin terlambat ke sekolah, kan?"

May-may mengangguk dengan muka cemberut dan mata melotot sadis ke Jomblo. Dalam benaknya pasti sudah tersusun rencana balas dendam. Awas kamu, Blo!

Dipelototi begitu, Jomblo pura-pura merasa ngeri. Tapi dia masih sempat-sempatnya memberi sentuhan akhir dengan berkata, "Daa..daa..adik cantik! Jangan ngupil di jalan ya, berbahaya!" Papa sudah siap meledakkan tawanya lagi, tapi buru-buru Papa memasang wajah serius kebapakan ketika dia melihat Mama mendelik ke arahnya.

"Oke deh, yayangku, aku pergi dulu ya. Muaach.." kata Papa sambil mengirim ciuman jarak jauh ke Mama. Mama tertawa geli sambil melambaikan sendok penggorengan. "Titi DJ Pa, May!"

Sableng, ya?

Yah, memang agak sableng, tapi begitulah keluarga Ceria.

Pak Kus, sopir Papa, sudah menunggu di luar. Tak lama terdengar suara mobil menderu keluar dari garasi. Suaranya makin lama makin menjauh. Setelah itu suasana pagi di dapur kembali hening. Jomblo asyik dengan sarapannya yang dibuatkan Mama, si Gemboel bermalas-malasan di bawah meja, di dekat kakinya.

"Apa rencanamu hari ini, Blo?" suara Mama terdengar dari dapur.

Mama memang paling suka berada di dapur. Dapur ibaratnya daerah istimewa buat Mama, ranah di mana Mama bisa mengekspresikan dirinya sebebas-bebasnya melalui masakan dan pelayanannya kepada keluarga. Mama jenis orang yang suka bekerja keras dan senang melayani, sama seperti Papa. Bukan hanya kepada keluarganya sendiri Papa dan Mama gemar menolong dan melayani, tapi bahkan kepada kerabat dan kenalan yang tak begitu dekat pun. Dalam Buddhisme, sifat senang melayani ini adalah salah satu kualitas dari seorang Bodhisatta yang diungkapkan dengan sangat baik melalui motto "melayani untuk sempurna, sempurna untuk melayani" Dan itulah mengapa mereka bisa cocok dan jadi suami istri. Tapi tentu saja ada banyak juga perbedaan yang kadang memunculkan konflik di antara mereka. Karena begitulah dunia, begitulah kehidupan: hidup bukanlah dongeng yang sering menggambarkan sepasang kekasih akhirnya hidup bahagia dan damai selamanya,,,,

"Ada pesanan desain iklan yang harus saya kerjakan, Ma," jawab Jomblo sambil mengunyah sepotong pai apel. Lezaat!

"Nanti siang tolong belanja untuk Mama, ya, di minimarket langganan kita. Mama perlu beberapa bumbu dapur dan sekalian belikan Papa sandal. Sandal dia sudah amat buntut sekali. Sudah berkali-kali Mama protes suruh dia ganti tapi bandelnya minta ampun. Sayang amat sih sama sandal buntut tahun kuda gigit besi itu?" suara Mama terdengar bersungut-sungut,

Jomblo jadi ingin tertawa tapi buru-buru dikendalikannya si urat tawa, takut keselek Pai Apel. Bukan hal aneh bagi Jomblo bila Papa paling malas jika disuruh membeli sandal atau baju atau celana baru. Papa jenis orang yang tak pernah punya perhatian besar terhadap penampilan luar. Papa adalah "si juara apa adanya" untuk urusan ini, dan jika tidak ada Mama, bisa jadi dari dulu Papa akan terus mempertahankan baju-baju jadoel masa lajangnya dulu, termasuk kaus kutang bolong-bolong dan CD (yang segitiga maksudnya, bukan yang bulat) ala milik Tarzan yang seperti baru saja dicakar Simba. Untunglah Papa menikahi gadis yang piawai memilih busana dan seleranya bagus. Kalau tidak begitu, gawat juga. Bisa bayangkan seorang direktur seperti Papa berbusana amat kampungan norak-norak bergembira?

"Beres, Ma, nanti saya belikan," Jomblo cepat-cepat mencomot sepotong Pai Apel lagi dan menyambar segelas kopi untuk dibawa masuk ke kamarnya. Asyikknya punya pekerjaan yang tak terikat waktu formal adalah: kita bisa bekerja kapan pun dan di mana pun kita mau. Sambil minum kopi dan mengudap Pai Apel di kamar pun jadi. Bahkan kadang, jika malasnya kumat, Jomblo tak mandi dan gosok gigi seharian: begitu bangun tidur langsung saja menyalakan laptop. Untung si laptop tidak pernah protes punya majikan yang kadang tak mandi dan gosok gigi (hehehehe....)  

"Oh iya, kamu juga diminta jemput May-may di sekolahnya nanti, ya. Pak Kus tidak bisa menjemput seperti biasa," teriak Mama.

"Oke, Ma, jangan kuatir," balas Jomblo. May-may memang diantar jemput bila ke sekolah atau ke mana pun dia harus pergi. Bukan bermaksud memanjakan anak, tapi Papa sangat kuatir dan cenderung amat protektif terhadap putri satu-satunya itu. Mama kadang mengomel soal ini, takut anaknya jadi manja. Tapi Jomblo bisa mengerti. Kejahatan jalanan kini semakin ganas saja.      

+++

Sore menjelang malam. Biasanya jam segini Papa memang belum pulang, jadi Mama memutuskan untuk menunggu Papa sambil menonton tv. Lagi-lagi sepasang artis cerai dan bertengkar saling menudingkan jari telunjuk. Artis lain kawin lagi setelah 2 kali pernikahan sebelumnya gagal. Tampaknya dia belum kapok, atau mungkin sedang dalam proses menorehkan rekor nasional sebagai artis yang paling banyak kawin cerai. Siapa tahu?

Kriing! Kriing! Kriing! Itu bukan suara Pak Pos, tapi suara telepon yang menjerit mengusik kekhusyukan Mama menyimak tingkah polah seleb kita di tivi. Mama bangkit dari duduknya untuk meraih gagang telepon.

"Halo, apa benar ini rumah Pak Chandra Ceria?" tanya suara dari seberang dengan tak sabar.

"Benar, dengan siapa ya?" jawab Mama.

"Saya Rani, petugas resepsionis di RS KITA. Bisa bicara dengan istri atau anggota keluarga Pak Chandra Ceria?"

"Saya istrinya. Ada apa, ya?" Mama mulai kuatir.

"Maaf, Bu, suami Anda kecelakaan. Baru saja masuk UGD!"

Deg! Seperti ada sejuta palu menghantam kepala Mama. Jantung Mama berdetak keras. Mama coba menenangkan dirinya dan menjawab, "Apa? Ini sungguhan?"

"Ya, Bu, mohon segera kemari. Kami memerlukan tanda tangan Anda untuk tindakan operasi yang harus dilakukan."

"Baik, saya akan segera ke sana. Terima kasih!" Mama cepat-cepat menutup telepon dan bergegas naik ke lantai atas untuk berganti baju. Sambil berjalan dengan cepat Mama berteriak memanggil Jomblo dan May-may. "Blo! May-may! Papa kecelakaan! Sekarang ada di RS. Cepat ganti pakaian dan kita pergi sama-sama. Jomblo, kamu yang menyetir! Cepat!"

Rasanya seperti adegan film yang dipercepat sekian puluh frame per detiknya. Di film-film bisu Charlie Chaplin atau film komedi, adegan sipat kuping seperti itu mungkin sengaja dibikin untuk memancing tawa. Tapi tentu saja Mama, Jomblo dan May-may tidak sedang melucu. Mereka bergegas-gegas secepat-cepatnya tiba di RS. Jomblo menyetir mobil dengan kecepatan yang dalam keadaan normal pasti sudah memanen protes dari Mama atau May-may atau bahkan Papa jika mereka sedang pergi bersama-sama.

Sepanjang perjalanan tidak ada satu pun yang bersuara. Masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri. Mama jelas terlihat amat kuatir, tapi juga tabah. May-may berkaca-kaca, rasanya bentar lagi bendungan di matanya jebol. Untung ada sekotak tissu di mobil. Jomblo? Jujur saja, pelbagai macam pikiran berkecamuk di benaknya. Jangan-jangan keadaan Papa parah. Jangan-jangan Papa sudah koma.

Eiits!

Tiba-tiba Jomblo sadar. Cepat-cepat dia menepis pikiran-pikiran syak wasangka negatif seperti itu dengan melakukan pengupayaan benar. Sebagai hasilnya pikiran-pikiran negatif itu mereda, dan muncullah ketenangan. Jomblo sadar bahwa sebagai seorang meditator, meskipun pemula, inilah saatnya menguji diri apakah dia bisa memahami ketidaktetapan kehidupan seperti yang selalu dicamkan untuk disadari oleh setiap praktisi. Biarlah, batin Jomblo, apa pun yang harus terjadi pasti terjadi. Semoga Papa baik-baik saja. Semoga segala kebajikannya melindungi Papa dari segala marabahaya. Rasanya agak lega dan itu membuat Jomblo bisa berpikir dengan lebih jernih, membuatnya mendadak teringat sesuatu. Aduh! Ya, ampun! si Gemboel tadi belum diberi makan. Saking terburu-burunya mereka tidak ingat pada si Gemboel. Kasihan dikau, Boel! Sabar ya! Semoga kami tidak lama di RS. Sedikit berpuasa baik untuk kesehatanmu lho!

+++

RS KITA. Megah dan mengesankan. Putih bersih di mana-mana, dengan senyum para perawatnya, cantik-cantik. Tapi seberapa pun menyenangkan sebuah RS, siapakah orang waras yang ingin berlama-lama tinggal di sini? Jika bisa, kita semua amat sangat ingin menjauhkan kehidupan kita dari tempat ini, ya kan? Karena menderita sakit adalah salah satu dari sekian banyak penderitaan yang ingin sekali kita hindari. Andai sungguh ada Jin botol seperti milik si Aladin, dan si Jin benar mahakuasa mengabulkan 3 permintaan apa pun, Jomblo bayangkan dia pasti akan meminta 3 hal ini:

1) kesehatan yang prima sampai akhir hayat,

2) rejeki yang banyak supaya bisa hidup berkecukupan dan berdana, dan

3) minta lagi 3 kesempatan untuk mengajukan permintaan lainnya, hehehehe....

Tapi sayangnya, itu hanyalah khayalan belaka. Karena menderita sakit tak terelakkan. Begitu kita lahir, saat itu pula kita harus menerima sakit, menua, dan kematian sebagai satu paket dengan kelahiran.

Untunglah, Papa baik-baik saja. Hanya menderita patah tulang di lengan kirinya. Pak Kus sopir Papa bahkan hanya menderita lecet-lecet dan sudah dari awal diperbolehkan pulang. Rupanya kecelakaan terjadi karena Pak Kus kaget ketika mendadak ada seekor kucing yang menyeberang jalan. Dia berusaha menghindari menabrak kucing itu dengan membanting stir mobil ke kiri. Akibatnya, mobil menabrak sebatang pohon perindang jalan. Mobil Papa penyok cukup parah, dan kini sudah berada di bengkel untuk diperbaiki.

Setelah menunggu cukup lama, akhirnya Papa didorong keluar dari ruang UGD untuk diantarkan ke kamarnya karena dokter menyarankan menginap minimal 1 hari. Kebetulan semua biaya ditanggung pihak asuransi, jadi tidak ada masalah bahkan jika harus menginap lebih dari sehari.

Papa sebenarnya menolak duduk di kursi roda. Mama, Jomblo dan May-may bergegas menyongsong. Papa masih saja mengomel.  

"Yang patah tangan saya, kaki masih oke buat dipakai jalan. Apa saya ini sudah pikun atau jompo sampai harus duduk di kursi roda?" omel Papa.

Tapi para suster bersikeras, " Sudahlah, Pak, Ini memang prosedur standar kami, jadi mohon duduklah dengan tenang." Apa boleh buat, biar urusan cepat beres Papa akhirnya diam meski mukanya agak cemberut. Jomblo tersenyum kecil mendengarnya Itu baru Papaku, mandiri dan tidak suka merepotkan orang lain.          

"Iya, Papa duduk manis saja, ya. Sini, biar Mama yang mendorong," bujuk Mama. May-may memeluk Papa, mencium pipinya, bertanya, "Tangannya masih terasa sakit, Pa?"

"Ah, tidak apa-apa, manis. Tadi sudah diberi obat oleh dokter."

"Kita pulang sekarang?" tanya Jomblo. Dia bayangkan si Gemboel pasti sudah sekarat karena kelaparan.

"Papa harus menginap dan Mama akan menjaga Papa di sini. Kalian pulang saja dulu," kata Mama. "Dan, Blo," Mama menatap Jomblo, "besok pagi-pagi kamu jemput Papa dan Mama sekalian bawakan baju ganti dan perlengkapan mandi Papa dan Mama, ya. Kamu ambil saja di kamar. Ini kunci rumah dan kunci kamar. Jangan sampai lupa."

"Oke, Ma," jawab Jomblo.

"Yuk, May,  kita pulang. Gemboel pasti sudah kelaparan berat."

"Daa, Papa dan Mama," Jomblo dan May-may berpamitan. Malam ini sungguh menguras emosi, tapi syukurlah karma baik Papa masih melindunginya.

+++

Baru seminggu sejak kecelakaan, Papa sudah tidak tahan. Tangannya yang dibalut gips masih perlu menunggu sampai 1,5 bulan lagi. Tapi dasar Papa manusia tidak bisa diam. Nasihat dokter untuk beristirahat hanya dituruti sampai hari ketiga, setelah itu Papa mulai menyibukkan diri bekerja seolah-olah seperti sudah benar-benar sehat. Dia mengubah perpustakaan keluarga menjadi kantor sementara. Dia mengetik dengan 1 tangan, membalas surel dan menelepon ke sana ke sini, memeriksa laporan yang dibawa oleh para karyawannya. Mama sudah tidak heran lagi dengan tingkah polah mantan pacarnya itu. Memang sudah dari sejak dahulu kala begitulah adanya Chandra Ceria: tidak bisa diam, seorang pekerja keras yang paling benci melihat orang bermalasan-malasan. Jeleknya, kadang liburan pun Papa tidak bisa santai. Dan hal itu sering menjadi biang perselisihan di antara mereka sekeluarga.

"Pa, ayo makan dulu," panggil Mama.

"Iya, sebentar."

"Papa!" suara Mama melengking dari dapur. "Dari 10 menit lalu bilang sebentar, sebentar. Apa mau maagnya kumat lagi, ya!"

"Oke, oke, aku shut down dulu nih laptop." Papa menyerah juga. Dia bergegas mematikan laptop lalu pergi ke dapur.

Di meja makan sudah tersedia sayur pecel dan kawan-kawannya seperti tahu, tempe, dan mangga manalagi sebagai hidangan pencuci mulut. Semua hidangan itu, kecuali tahu dan sambal pecel, berasal dari kebun organik milik sendiri yang diurus Jomblo dan kadang-kadang dibantu Papa. Kebetulan ini hari Uposatha, jadi Mama sengaja menyiapkan hidangan vegetarian. Sudah menjadi kebiasaan di keluarga Ceria untuk bervegetarian-ria saban hari Uposatha. Sebenarnya disarankan juga melaksanakan 8 latihan moral, tapi tidak harus sih. Papa dan Mama bukan jenis orang yang amat religius dalam arti mereka serius mendalami ajaran agama. Meskipun baik hati, suka menolong dan sebagainya, dalam urusan praktik spiritual yang lebih lanjut seperti berpuasa dan meditasi, mereka belum tertarik. Bagi mereka cukuplah tahu untuk tidak berbuat jahat dan banyak berbuat baik, itu saja. Tentang makanan vegetarian di hari Uposatha, mereka setuju menjalankannya hanya setelah tahu bahwa makanan vegetarian itu baik untuk kesehatan, jadi bukan semata karena alasan hari Uposatha atau praktik spiritual. Bagi Papa dan Mama, praktik beragama mereka lebih condong ke tradisi Tionghoa.      

Mama mengambilkan nasi untuk Papa, menyendok penuh sayur pecel hingga membentuk gunungan, lalu mengguyur gunungan itu dengan sambalnya.

"Ini, Pa. Makan yang banyak, ya, biar cepat gede," kata Mama.      

Papa tertawa geli. "Iya, Ma, biar gendut seperti Mama, ya?"

"Yee..balas dendam, nih yee.." Mama tertawa cekikikan. Mama tidak gendut-gendut amat sih, masih lebih gendut Papa. Hanya saja, karena sudah melahirkan 2 orang anak, Mama tidak lagi selangsing seperti mudanya.  

Papa nyengir kuda, mengambil sendok dan mulai makan. Setelah mengunyah 30 kali sesuai petunjuk dari dokter terkenal yang bukunya pernah dia baca,  barulah Papa menelan makanannya.

"Anak-anak kemana, Ma? Kok cuma kita berdua? Jadi sepi nih."

"Jomblo pergi ke wihara untuk berlatih meditasi dan menjalankan attangasila, besok pagi baru pulang. Dia sudah bilang akan semalaman di wihara. May-may sedang kursus bahasa Korea, tadi berangkat bareng temannya. Papa lupa jika sudah sebulan ini dia kursus bahasa Korea?"

"Oh iya. Kenapa bahasa Korea? Mengapa tidak Mandarin atau Inggris?"

"Ah, Papa ini, ketinggalan jaman. Sekarang yang lagi tren segala yang serba Korea. Boy Band, Drama Korea, makanan, gaya rambut, busana. Gadis-gadis banyak yang tergila-gila pada artis cowok penyanyi Korea karena ganteng-ganteng, meskipun sebenarnya banyak yang hasil operasi plastik.."

"Termasuk gadis kecil kita?"

"Mengakunya sih tidak, tapi aku curiganya iya memang begitu. Dan dia sudah tidak kecil lagi, Pa. Sudah kelas 10."

"Ah, bagiku dia tetap bidadari kecilku, titik. Sampai kapan pun!"

Mama tertawa. "Lebay!"

"Nanti kalau dia pulang akan kuajarkan bahasa Korea."

"Lho, Papa bisa bahasa Korea?" Mama tercengang. Sungguh tak disangka.

"Jelas tidak, dong. Sejak kapan aku bisa bahasa Korea?"

"Tadi bilang mau mengajari May-may bahasa Korea?"

"Maksudku, bahasa Korea lucu-lucuan."

"Seperti apa misalnya?" Mama jadi tertarik ingin tahu.

"Misalnya, mulut bahasa Koreanya apa?"

"Meneketehe(k)."

"Mulut bahasa Koreanya Mon Chong."

Mama tersenyum. "Apa lagi?"

"Tidak lurus = Men Chong. Melamun = Bae Ngong. Pantat = Bho Khong. Pantat gatal = Che Bhok Dong."

Mama tertawa terbahak-bahak. "Lagi, lagi," pintanya.

"Kurang ajar = monyong. Banci = Ben Chong."

Mama masih terus tertawa.

"Masih mau lagi?" tantang Papa.

"Mau, mau!"

"Cium aku dulu...Sun Dong Yang," kata Papa sambil menyodorkan pipinya ke Mama.

"Eiits, jijay..sudah malam begini masih belum mandi. Sana, mandi dulu baru boleh minta cium," tepis Mama pura-pura marah.

Papa tertawa ngakak sambil berlalu ke kamar mandi. Sebentar kemudian terdengar suara guyuran air dari shower di kamar mandi. Papa mulai terbiasa mandi dengan satu tangan saja karena tangan yang patah masih terbalut gip. Awalnya dulu sempat stress juga, tapi kini tidak lagi. Buktinya, Papa bisa mandi sambil bernyanyi-nyanyi gembira. Suaranya merdu juga. Mau tahu lagu favorit yang selalu dinyanyikannya? Judulnya, "Panggung Sandiwara". Lagu lawas dari grup band God Bless.

Dunia iniiii....

Panggung sandiwaraaaaa,,,,

Ceritanyaaaa,,,,mudah berubah...

(bersambung ke #3)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun