"Koruptor lagi, koruptor lagi," dari balik lembar koran Papa terdengar kesal sembari tangannya meraih kopi. Kepalanya mendadak pusing karena tensi darah yang tiba-tiba melonjak tinggi gara-gara seekor, eh, seorang koruptor nampang di halaman depan koran, sambil cengengesan pula! Gluk, gluk, gluk..hmm...
"Sabar, Papa, jangan galak-galak. Ingat darah tingginya," kata Mama menenangkan.
"Ah, sabar, sabar...para pemimpin itu, mengaku-aku reformis antikorupsi, tapi nyatanya korupsi makin mewabah. Bagaimana berharap tidak merajalela jika orang tidak jera melakukan praktik korupsi karena hukum bisa dibeli? Penjara pun kini tidak lagi menakutkan. Asalkan ada uang, kamar penjara bisa di-simsalabim-kan menjadi kamar mewah hotel berbintang lengkap dengan layanan kamarnya."
"Jadi, koruptor itu harusnya dihukum berat, ya Pa?" rupanya May-may tidak sibuk-sibuk amat ber-SMS ria. Terbukti dia bisa menanggapi gerutuan Papa.
"Betul! Di hukum mati saja! Ditembak atau digantung, disetrum juga oke. Kalau tidak tega, minimal hukuman penjara 10 tahun dan dibuat miskin dengan disita harta bendanya supaya tidak bisa menyogok atau membeli hukum. Dan saat menghadiri sidang harus pakai pakaian khusus ala Gerombolan Si Berat atau Dalton Bersaudara biar tidak bisa bergaya petantang petenteng pakai batik sutra atau jas mewah sambil senyam-senyum seperti tak berdosa."
"Iiihh...kejam amat," May-may bergidik.
"Harus begitu, sayang. Karena korupsi itu bukan kejahatan biasa seperti perampokan atau pencurian. Korupsi bisa menghancurkan tatanan sosial kita. Bayangkan bila seorang pejabat korup menilep uang yang sedianya untuk membiayai sekolah-sekolah bagi generasi muda kita, berapa banyak anak-anak muda yang menjadi korban karena kesempatannya untuk memgembangkan diri melalui pendidikan dirampas oleh si pejabat? Payah dah! Jika terus-terusan begini-begini saja, koruptor tidak akan jera dan orang tidak takut atau malu melakukan korupsi. Lama-lama negara ini mau jadi apa?"
"Yah, paling-paling juga jadi NKRI" sahut May-may. Nada suaranya terdengar agak mencurigakan sehingga perasaan Jomblo jadi was-was. Benar saja, Papa mencaplok umpannya.
"NKRI? Maksudmu Negara Kesatuan Republik Indonesia?"
"Bukaaan...Papa sayang."
"Apa, dong?"