"Iya, Papa duduk manis saja, ya. Sini, biar Mama yang mendorong," bujuk Mama. May-may memeluk Papa, mencium pipinya, bertanya, "Tangannya masih terasa sakit, Pa?"
"Ah, tidak apa-apa, manis. Tadi sudah diberi obat oleh dokter."
"Kita pulang sekarang?" tanya Jomblo. Dia bayangkan si Gemboel pasti sudah sekarat karena kelaparan.
"Papa harus menginap dan Mama akan menjaga Papa di sini. Kalian pulang saja dulu," kata Mama. "Dan, Blo," Mama menatap Jomblo, "besok pagi-pagi kamu jemput Papa dan Mama sekalian bawakan baju ganti dan perlengkapan mandi Papa dan Mama, ya. Kamu ambil saja di kamar. Ini kunci rumah dan kunci kamar. Jangan sampai lupa."
"Oke, Ma," jawab Jomblo.
"Yuk, May, Â kita pulang. Gemboel pasti sudah kelaparan berat."
"Daa, Papa dan Mama," Jomblo dan May-may berpamitan. Malam ini sungguh menguras emosi, tapi syukurlah karma baik Papa masih melindunginya.
+++
Baru seminggu sejak kecelakaan, Papa sudah tidak tahan. Tangannya yang dibalut gips masih perlu menunggu sampai 1,5 bulan lagi. Tapi dasar Papa manusia tidak bisa diam. Nasihat dokter untuk beristirahat hanya dituruti sampai hari ketiga, setelah itu Papa mulai menyibukkan diri bekerja seolah-olah seperti sudah benar-benar sehat. Dia mengubah perpustakaan keluarga menjadi kantor sementara. Dia mengetik dengan 1 tangan, membalas surel dan menelepon ke sana ke sini, memeriksa laporan yang dibawa oleh para karyawannya. Mama sudah tidak heran lagi dengan tingkah polah mantan pacarnya itu. Memang sudah dari sejak dahulu kala begitulah adanya Chandra Ceria: tidak bisa diam, seorang pekerja keras yang paling benci melihat orang bermalasan-malasan. Jeleknya, kadang liburan pun Papa tidak bisa santai. Dan hal itu sering menjadi biang perselisihan di antara mereka sekeluarga.
"Pa, ayo makan dulu," panggil Mama.
"Iya, sebentar."