Pelajaran ketiga, jangan pernah menyepelekan kejujuran dalam suatu hubungan. Ya, mungkin aku lengah di awal hubungan kami. Tak pernah terpikirkan olehku bahwa sejak awal pertemuan kami, ia masih memiliki kekasih. Ia membagi waktu dan rasa sayangnya pada dua wanita bodoh. Ia telah membohongiku sejak awal pertemuan kami. Ia juga telah membohongi kekasihnya.Â
Aku bahkan tak menyadari kalau sejak awal pertemuan kami pun, ia tidak begitu serius menjalani hubungan ini. Ia hanya mencari kebahagiaan sementara. Ternyata kami punya pandangan yang berbeda untuk hubungan ini.Â
Bagiku, kami adalah sepasang kekasih yang saling membahagiakan, yang siap melewati cobaan apapun di depan, sampai kami akan tiba di titik dimana kami akan menjadi pasangan yang seutuhnya. Namun baginya, kami akan berhenti di satu titik, dimana keluarganya bisa saja memishkan kami. Apa saja bisa memisahkan kami. Kami boleh berbahagia di atas hubungan ini namun harus siap untuk saling kehilangan dan berpisah. Ya, itulah perbedaan kami.Â
Bagian yang paling menyakitkan di akhir hubungan ini, ia bahkan tidak melarangku jika saat bersamanya aku juga menjalin hubungan dengan pria lain. Apakah ini rasa sayang yang sesungguhnya? Apakah rasa sayang itu ditunjukkan dengan membiarkan pasangan kita menjalin hubungan dengan orang lain?Â
Kalau itu adalah definisi sayang baginya, definisi sayang bagiku tidak seperti itu. Ternyata, tujuan kami memang berbeda.Â
Setelah 3 minggu kami merasa berada di titik terendah kehidupan, setelah lelah menjalani semua drama ini, dan setelah kata "mulai sekarang aku gak akan keep kamu lagi" keluar dari mulut manisnya, ia kembali menawarkan kesempatan agar aku kembali menjadi selingkuhannya. Bukankah ini terlalu bodoh bagiku jika aku menerima tawaran tersebut?Â
Kembali menjadi selingkuhan... Artinya, kami menjalin lagi hubungan, tapi kali ini tidak di atas kebohongan, karena aku sudah mengetahui dimana posisiku yang sebenarnya. Aku hanya selingkuhan, hanya untuk saling membahagiakan satu sama lain, dan tidak bisa berharap banyak. Sakit, bukan?Â
Tawaran yang menggiurkan untuk dapat kembali bersama dan saling menyayangi. Tapi apakah aku masih sebodoh itu? Tentu tidak. Aku takut kalau kenyataan di depan akan lebih sulit dari apa yang kami rasakan saat ini. Aku terlalu takut mencintai seseorang yang seharusnya bukan milikku.Â
Aku tak ingin lagi dijadikan yang kedua meski diutamakan. Aku ingin menjadi satu-satunya. Aku tak ingin berdiri di atas kebohongan sehingga harus menyakiti wanita lain. Aku sudah tak ingin lagi berada di jalan yang salah. Â
Jika ia memang menginginkanku, ia tahu apa yang harus ia lakukan untuk menjadikanku satu-satunya. Atasi apa yang harus diatasi, lupakan apa yang harus dilupakan, cintai apa yang harus dicintai. Jika ia memang menghargai perasaaanku, ia tidak akan pernah menempatkan diri dalam posisi bersiap untuk kehilangan diriku.Â
Namun kenyataan berkata lain. Ia tidak menyayangiku, juga tidak menyayangi kekasihnya. Ia hanya menyayangi dirinya sendiri, ia masih tetap egois dan serakah dengan menginginkan keduanya. Jadi, apakah aku harus bertahan pada pilihannya? Tentu tidak. Aku juga bisa memilih mana yang terbaik untuk diriku, untuk dirinya, dan untuk hubungan kami.Â