Mohon tunggu...
Christie Stephanie Kalangie
Christie Stephanie Kalangie Mohon Tunggu... Akuntan - Through write, I speak.

Berdarah Manado-Ambon, Lahir di Kota Makassar, Merantau ke Pulau Jawa.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Aku adalah Selingkuhan (Penutup)

14 Juni 2020   16:45 Diperbarui: 15 September 2020   20:13 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source Photo :  api.time.com

 

"Enough, mulai sekarang aku gak akan keep kamu lagi." 

Sepenggal kalimat yang mampu menyesakkan dadaku... 

Sepenggal kalimat yang sangat menyakiti perasaanku... 

Sepenggal kalimat yang seketika itu juga meruntuhkan harapanku... 

Namun, bukankah seharusnya aku siap mendengar kalimat itu darinya? Karena kalau dipikir-pikir, aku ini apa? Aku adalah selingkuhan, kan? Aku hanya dipermainkan selama 1 tahun oleh pria yang kuanggap menyayangiku dan serius menjalin hubungan bersamaku. Bukankah sewaktu-waktu aku harus siap mendengar kalimat itu? 

Sabtu, 13 Juni 2020. 

Hari ini tepat 3 minggu setelah kejadian dimana aku mengetahui semua kebenaran hubungan kami. Selama ini juga, aku memberikan kesempatan padanya untuk memperbaiki hubungan kami. Bukan hanya ia saja yang kuberikan kesempatan, namun juga diriku. Aku memberikan kesempatan pada masing-masing kami untuk kembali berpikir, apakah hubungan ini pantas untuk dilanjutkan? Apakah ia mampu mengakhiri hubungan bersama kekasih sebenarnya dan melanjutkan hubungan ini seutuhnya bersamaku? Atau akulah yang harus ditinggalkan? 

Kalian pasti berpikir bahwa aku adalah wanita paling bodoh dan egois yang pernah ada. Bagaimana mungkin aku memberikan kesempatan pada seseorang yang secara terang-terangan telah menyayangi dan menyakitiku di waktu yang sama, seseorang yang telah memiliki kekasih, untuk terus mencoba memperjuangkan hubungan kami atau meninggalkan kekasihnya? 

Aku tahu ini salah, tapi inilah yang aku rasakan. Aku begitu mencintainya. Aku terlanjur jatuh hati pada milik wanita lain. Aku tak ingin melepaskannya. Begitu juga dengannya, kami tak ingin saling melepaskan bahkan setelah semua ini terjadi. 

Selama hampir 1 bulan berjalan, kami mencoba beberapa cara agar kami masih bisa terus bersama tanpa kebohongan lagi. Kami telah merasakan pedih yang begitu amat dalam, bahkan tak terhitung seberapa banyak air mata yang berlinang di pipi kami. 

Ia telah berusaha mendiskusikan dan menyelesaikan apa yang harus ia lakukan bersama keluarganya jika ingin hubungan kami utuh dan baik-baik saja. Ia telah melakukan yang terbaik walaupun hasilnya nihil. Hubungan gelap kami memang harus diakhiri. 

Aku harus kehilangan dirinya dan kami harus menjalani kehidupan masing-masing. Tentu tak mudah melepas pria yang telah menjadi support systemku, pria kesayanganku tempat aku bergantung di tengah sulitnya hidup di ibukota selama ini. 

Aku memang harus mempersiapkan hatiku untuk dicampakkan. Aku memang hanya selingkuhan yang pantas untuk dibuang. 

Walaupun selama 1 tahun berlalu kebahagiaan yang ia berikan ternyata hanya kebahagiaan palsu, namun aku tetap bersyukur karena pernah mengenalnya, pernah saling memiliki, dan pernah menyayanginya. Aku telah belajar banyak hal disini. 

Pelajaran pertama, setelah aku merenungkan apa yang telah terjadi di dalam kehidupan percintaanku, aku pun menyakini kalimat "Jangan terlalu percaya, jangan terlalu mencintai dan jangan terlalu banyak berharap. Karena segala sesuatu yang berlebihan, segala sesuatu yang 'terlalu banyak' itu suatu waktu bisa sangat menyakitimu." 

Tapi, apakah kelak aku harus menyayangi seseorang dengan setengah hati untuk mempersiapkan diri jika suatu saat akan disakiti lagi? Bukankah seharusnya kita mencintai dengan sepenuh hati? 

Pelajaran penting pertama yang sedikit membingungkan, karena terkadang cinta memang membutakan kita. Kita melakukan yang terbaik dan mencintai dengan setulus hati, sehingga kita lupa mencintai diri kita terlebih dahulu. Kita lupa membangun pertahanan diri sendiri, kita terlalu peduli dengan orang lain, kita lupa untuk menyeimbangi rasa sayang pada orang lain dengan rasa sayang terhadap diri sendiri. Kita terlalu mengkhawatirkan keadaan orang lain sehingga kita lupa melindungi diri kita sendiri. 

Pelajaran kedua, jangan pernah merebut milik orang lain. Mungkin saat ini, jika aku terus mementingkan egoku, aku bisa saja kembali menjadi selingkuhannya sembari mencoba merebut hatinya dengan seutuhnya. Namun, karma itu ada dan masih berlaku, kan? 

Egoku bisa saja terpenuhi, tapi kelak kita tak tahu apa yang akan terjadi jika aku terus memaksakan hubungan terlarang ini. Egoku bisa saja terpenuhi, tapi kelak aku tak akan tahu bagaimana sakitnya apabila sesuatu yang menjadi milikku direbut oleh orang lain. Aku tak pernah tahu, dan aku tak ingin terjebak lagi di dalam hubungan yang salah. 

Karena terkadang, aku merasa bahwa hidup lurus dan tak berbelok pun, semesta seperti tak henti-hentinya memberikan cobaan yang bertubi-tubi. Apalagi jika aku menjalani hidup yang berbelok secara sadar, kan? Aku tak ingin Ia murka terhadap ciptaan-Nya yang hina ini. 

Pelajaran ketiga, jangan pernah menyepelekan kejujuran dalam suatu hubungan. Ya, mungkin aku lengah di awal hubungan kami. Tak pernah terpikirkan olehku bahwa sejak awal pertemuan kami, ia masih memiliki kekasih. Ia membagi waktu dan rasa sayangnya pada dua wanita bodoh. Ia telah membohongiku sejak awal pertemuan kami. Ia juga telah membohongi kekasihnya. 

Aku bahkan tak menyadari kalau sejak awal pertemuan kami pun, ia tidak begitu serius menjalani hubungan ini. Ia hanya mencari kebahagiaan sementara. Ternyata kami punya pandangan yang berbeda untuk hubungan ini. 

Bagiku, kami adalah sepasang kekasih yang saling membahagiakan, yang siap melewati cobaan apapun di depan, sampai kami akan tiba di titik dimana kami akan menjadi pasangan yang seutuhnya. Namun baginya, kami akan berhenti di satu titik, dimana keluarganya bisa saja memishkan kami. Apa saja bisa memisahkan kami. Kami boleh berbahagia di atas hubungan ini namun harus siap untuk saling kehilangan dan berpisah. Ya, itulah perbedaan kami. 

Bagian yang paling menyakitkan di akhir hubungan ini, ia bahkan tidak melarangku jika saat bersamanya aku juga menjalin hubungan dengan pria lain. Apakah ini rasa sayang yang sesungguhnya? Apakah rasa sayang itu ditunjukkan dengan membiarkan pasangan kita menjalin hubungan dengan orang lain? 

Kalau itu adalah definisi sayang baginya, definisi sayang bagiku tidak seperti itu. Ternyata, tujuan kami memang berbeda. 

Setelah 3 minggu kami merasa berada di titik terendah kehidupan, setelah lelah menjalani semua drama ini, dan setelah kata "mulai sekarang aku gak akan keep kamu lagi" keluar dari mulut manisnya, ia kembali menawarkan kesempatan agar aku kembali menjadi selingkuhannya. Bukankah ini terlalu bodoh bagiku jika aku menerima tawaran tersebut? 

Kembali menjadi selingkuhan... Artinya, kami menjalin lagi hubungan, tapi kali ini tidak di atas kebohongan, karena aku sudah mengetahui dimana posisiku yang sebenarnya. Aku hanya selingkuhan, hanya untuk saling membahagiakan satu sama lain, dan tidak bisa berharap banyak. Sakit, bukan? 

Tawaran yang menggiurkan untuk dapat kembali bersama dan saling menyayangi. Tapi apakah aku masih sebodoh itu? Tentu tidak. Aku takut kalau kenyataan di depan akan lebih sulit dari apa yang kami rasakan saat ini. Aku terlalu takut mencintai seseorang yang seharusnya bukan milikku. 

Aku tak ingin lagi dijadikan yang kedua meski diutamakan. Aku ingin menjadi satu-satunya. Aku tak ingin berdiri di atas kebohongan sehingga harus menyakiti wanita lain. Aku sudah tak ingin lagi berada di jalan yang salah.  

Jika ia memang menginginkanku, ia tahu apa yang harus ia lakukan untuk menjadikanku satu-satunya. Atasi apa yang harus diatasi, lupakan apa yang harus dilupakan, cintai apa yang harus dicintai. Jika ia memang menghargai perasaaanku, ia tidak akan pernah menempatkan diri dalam posisi bersiap untuk kehilangan diriku. 

Namun kenyataan berkata lain. Ia tidak menyayangiku, juga tidak menyayangi kekasihnya. Ia hanya menyayangi dirinya sendiri, ia masih tetap egois dan serakah dengan menginginkan keduanya. Jadi, apakah aku harus bertahan pada pilihannya? Tentu tidak. Aku juga bisa memilih mana yang terbaik untuk diriku, untuk dirinya, dan untuk hubungan kami. 

Setelah diskusi kami yang panjang via telepon, aku memutuskan untuk berhenti menjadi yang kedua, berhenti menjadi selingkuhannya. Aku layak untuk bahagia, aku pantas dihargai dan diperlakukan dengan hormat. Ya, aku layak mendapatkan kehidupan yang lebih baik, yang terbaik. 

Walaupun langkah demi langkahku ke depan dalam rangka merelakannya pergi pasti akan sangat sulit, namun aku percaya bahwa ini hanya masalah waktu. Aku hanya perlu bersabar dan membiarkan waktu yang menyembuhkan luka ini. 

Lukanya dibuat bersama, tapi proses menyembuhkan luka ini harus sendiri. Meskipun terasa sangat menyakitkan, tapi inilah yang terbaik daripada kami memaksakan untuk bersama namun terus menimbulkan luka yang tak akan pernah bisa disembuhkan. 

Bahkan bagiku pun, luka ini akan terus ada, terus membekas dan tak akan pernah hilang. Luka ini tak akan sembuh hanya karena aku melupakan semua kajadian pahit yang menghancurkan harapan hidupku. Luka membekas yang ia berikan padaku ini malah membuatku muak. Muak terhadap apapun yang ada hubungannya dengan hal-hal semacam ini. 

Hidup ini memang lucu, ya. Hanya karena satu pria yang datang dan meninggalkan luka, kita bisa setrauma ini terhadap apapun yang ada kaitannya dengan "pria" dan "hubungan". 

Namun inilah kenyataannya, ini yang aku lihat dari keseluruhan kisah menyedihkan ini. Walaupun aku mendeklarasikan bahwa aku pantas untuk berbahagia dengan jalan yang lain, namun kebahagiaan yang aku maksud disini ialah bahagia untuk diriku sendiri, untuk keluargaku, untuk pekerjaanku dan untuk pendidikanku. Bukankah itu semua jauh lebih penting daripada pria brengsek yang tak henti-hentinya membuatku menangis?

*** 

Malam ini, malam minggu terakhir kami. Aku mengesampingkan egoku dan mengatur pertemuan dimana ia sama sekali tidak mengetahui bahwa ini adalah pertemuan terakhir kami. Aku mengajaknya mengitari Kota Jakarta, dan sedikit memberinya kenangan indah kami yang terakhir setelah selama ini kami terlalu terbebani oleh hubungan ini. 

Aku menikmati indahnya gemerlap Kota Jakarta di malam hari bersamanya... 

Aku menikmati pandangan matanya... 

Aku menikmati lembut suaranya saat berbicara denganku... 

Aku menikmati tawa kecilnya... 

Aku menikmati sesekali menggodanya untuk yang terakhir kalinya... 

Aku menikmati semua yang ada pada dirinya untuk yang terakhir kalinya... 

Aku menikmati kebersamaan singkat kami ini untuk yang terakhir kalinya... 

Keputusanku untuk tidak melanjutkan kisah pahit ini dan memilih menyembuhkan luka serta membahagiakan diriku sendiri, semata-mata bukan karena aku ingin berhenti mencintainya, marah ataupun benci padanya. Percayalah, aku bahkan tak sanggup membencinya. Aku melakukan ini karena aku telah memaafkannya dan menginginkan yang terbaik untuk masing-masing kami. 

Aku akan menyayanginya dari jauh. Aku berjanji akan selalu mendoakan yang terbaik untuk dirinya, untuk kebahagiaannya, walau kami telah berpisah. Aku sangat berharap bahwa pengalaman ini tidak hanya mengubah diriku, namun juga mengubah dirinya mengenai cara pandang dan perlakuan terhadap wanita. Aku sangat berharap bahwa aku akan menjadi wanita terakhir yang ia sakiti dengan cara seperti ini. 

Akhirnya, kesedihan dan air mata menuntunku berjalan mundur, lalu pergi dengan perlahan. 

Selamat tinggal, Bagaskara...

Jakarta, 2020.
Christie Stephanie Kalangie

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun