Mohon tunggu...
Chaerul Sabara
Chaerul Sabara Mohon Tunggu... Insinyur - Pegawai Negeri Sipil

Suka nulis suka-suka____

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Pemekaran Wilayah Jangan Kebablasan, Moratorium Masih Diperlukan

14 Juli 2022   15:56 Diperbarui: 19 Juli 2022   12:15 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi peta Indonesia. (Vera Petrunina via kompas.com)

Seiring dengan berjalannya reformasi sistem pemerintahan di Indonesia yang dimulai sejak tahun 1998, yang salah satunya ditandai dengan perubahan sistem penyelenggaraan pemerintahan dari sistem sentralisasi menjadi desentralisasi. 

Dengan desentralisasi sistem pemerintahan diyakini dapat mewujudkan keadilan di segala bidang baik itu di bidang pembangunan, bidang pelayanan publik hingga di bidang politik (political equity).

Dengan ini diharapkan dapat memberikan kesempatan yang lebih luas kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai kegiatan pembangunan maupun politik di tingkat lokal.

Salah satu wujud yang dipandang perlu untuk memaksimalkan pelaksanaan desentralisasi adalah pemekaran wilayah. \

Hal ini diyakini merupakan bentuk langsung dari tanggung jawab pemerintah daerah (local accountability) dan demokratisasi yang didasari pertimbangan bahwa pemerintah daerah lebih tahu dan mengerti persoalan di daerahnya.

Dengan adanya reformasi sistem pemerintahan ini, sejak awalnya hingga saat ini berimbas pada trend pemekaran daerah. 

Fenomena euforia masyarakat di berbagai wilayah untuk membentuk Daerah Otonomi Baru (DOB) banyak bermunculan seiring dengan dinamika perkembangan masyarakat pada era reformasi, baik dinamika politik, ekonomi, sosial maupun budaya.

Euforia masyarakat yang direpresentasikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) maupun oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) serta kelompok-kelompok masyarakat lainnya, bersinergi dalam memperjuangkan aspirasi lokalnya. 

Bahkan pemekaran daerah semakin sensual dengan munculnya keterlibatan para elite politik di tingkat pusat dalam mengangkat isu tersebut di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui mekanisme partai maupun kolaborasi politiknya.

Pemekaran wilayah, baik itu wilayah Propinsi maupun kabupaten/kota ini menguat sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. 

Di dalam undang-undang tersebut menyatakan bahwa "dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi dibentuk dan disusun daerah provinsi, daerah kabupaten dan daerah kota yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat".

Fenomena pemekaran daerah terus menguat, tidak saja untuk wilayah-wilayah di Indonesia bagian timur tetapi juga untuk daerah-daerah yang ada di wilayah barat termasuk di pulau Jawa. 

Saking banyaknya keinginan untuk membentuk Daerah Otonomi Baru (DOB), pemerintah kemudian melakukan moratorium pembentukan daerah otonomi baru, yang mana sejak 2014 belum ada lagi pemekaran wilayah maupun daerah otonomi baru yang diberikan oleh pemerintah.

Namun, moratorium ini tidak berlaku untuk wilayah Papua yang memang masih memerlukan kebijakan tersendiri mengingat kondisi dan kebutuhan strategis pembangunan nasional.

Esensi dari pemekaran daerah sesungguhnya adalah merupakan suatu langkah strategis yang ditempuh pemerintah untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan tugas pemerintahan yang baik dalam rangka pelayanan, pemberdayaan dan pembangunan menuju terwujudnya suatu tatanan kehidupan masyarakat yang maju, mandiri, sejahtera, adil dan makmur.

Dengan adanya pemekaran daerah diharapkan akan mempercepat akselarasi pembangunan, mempermudah pelayanan publik, serta memangkas rantai birokrasi di daerah.

Akan tetapi, perlu pula diingat bahwa selain dari tujuan pemekaran daerah yang berimplikasi positif terhadap pemerataan dan percepatan pembangunan, pemekaran wilayah atau daerah juga memiliki konsekuensi pembiayaan yang tidak sedikit.

Baik itu untuk pembiayaan operasional maupun pembiayaan penyediaan infrastruktur dan SDM, yang mana ini tentu saja memberatkan keuangan pemerintah pusat..

Bisa kita bayangkan, sebelumnya Indonesia yang hanya terdiri dari 26 propinsi, minus Timor Timur yang telah keluar dari NKRI. 

Kini jumlah propinsi di Indonesia telah berkembang menjadi 37 propinsi, dimana tiga diantaranya baru saja dibentuk. Belum lagi daerah kabupaten-kota yang kini berjumlah 514, dengan 217 diantaranya adalah kabupaten-kota baru. 

Dan hingga saat ini berdasarkan data terakhir yang ada di Kemendagri, terdapat 327 daerah yang mengajukan pembentukan daerah otonom baru (DOB) kepada pemerintah.  

Persoalan utama dalam pelaksanaan jalannya pemerintahan di daerah otonomi adalah kemampuan fiskal, dalam catatan Badan Pemeriksa Keuangan bahwa sebahagian besar dari 223 daerah otonomi baru masih belum mampu mandiri dalam hal keuangan dan masih bergantung pada APBN dalam hal ini melalui Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). 

Masih banyak diantara daerah-daerah yang perimbangan belanja aparatur dan belanja publiknya lebih besar pada belanja aparatur (>60%). Hal ini menggambarkan bahwa banyak daerah yang tidak maksimal dalam mengolah potensi pendapatan asli daerah (PAD).

Berdasarkan pengalaman di daerah kami, di Sulawesi Tenggara. Ada satu usulan pemekaran wilayah propinsi, yakni Propinsi Buton Raya yang hingga saat ini masih belum mendapatkan persetujuan dari pemerintah pusat.

Berdasarkan pengamatan kami bahwa usulan pemekaran ini hanya dilandasi oleh euforia wilayah semata, tanpa melihat kemampuan realistis di lapangan terutama terkait dengan masalah pendapatan asli daerah, sebagaimana yang ada bahwa kontribusi PAD Sulawesi Tenggara hanya 27,82% terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Apa jadinya jika Propinsi Sulawesi Tenggara dimekarkan menjadi dua Propinsi otonom?.

Disamping itu, dalam upaya menyukseskan keinginan pembentukan propinsi Buton Raya tersebut, yang salah satu syaratnya adalah terdiri dari sekurangnya terdiri dari 6 kabupaten/kota.

Maka, dibentuklah beberapa daerah otonomi baru, yang tadinya wilayah yang akan menjadi otonomi Buton Raya hanya terdiri dari satu kabupaten, kini telah terbentuk 1 kota baru dan empat kabupaten baru.

Secara keseluruhan di Sulawesi Tenggara yang awal terbentuknya hanya terdiri dari 4 Kabupaten lalu bertambah satu kota di tahun 1995, kini telah menjadi 15 kabupaten dan dua kota.

Berarti ada penambahan 11 kabupaten baru dan 1 kota baru, dan perlu diketahui bahwa sebahagian besar kabupaten/kota tersebut belanja pegawainya lebih besar daripada belanja publiknya.

Selain dari kemampuan keuangan yang terbatas dalam hal pembiayaan operasional pemerintahan, dan juga.pembiayaan penyediaan infrastruktur. Hal krusial yang menjadi persoalan adalah ketersediaan sumber daya manusia dalam hal ini pegawai yang akan mengisi struktur organisasi pemerintahan yang baru terbentuk.

Sebagaimana kita ketahui bahwa didalam pemerintahan ada struktural jabatan yang harus diisi oleh pegawai yang memenuhi syarat-syarat tertentu mulai dari segi disiplin ilmu, pengalaman kerja dan juga kepangkatan.

Untuk daerah-daerah yang lebih maju seperti di Jawa mungkin saja kebutuhan pegawai yang kapabel dan memiliki kompetensi yang berkesesuaian bukanlah hal yang sulit. 

Akan tetapi, untuk daerah kami itu masih menjadi kendala yang rumit, dimana jumlah pegawai yang ada terbatas, baik dalam hal jumlah pegawainya maupun dalam hal kepangkatan serta disiplin ilmunya.

Sebagai contoh dalam hal kepangkatan, untuk menduduki jabatan struktural dibutuhkan syarat pangkat minimal, misalnya eselon II b, pangkat dasar adalah Pembina Tingkat I (gol. IVb) atau setidaknya satu tingkat dibawahnya (IVa). 

Dalam hal kepangkatan ini sangat sulit untuk terpenuhi, karena untuk mencapai jenjang kepangkatan secara normal untuk naik setingkat butuh waktu 4 tahun.

Jadi untuk mencapai pangkat Pembina setidaknya membutuhkan masa kerja 16 tahun jika memulai karir sebagai PNS dalam pangkat Penata Muda (Gol. IIIa) yang dalam hal ini berijasah S1 atau D4.

Nah, pegawai yang memenuhi syarat kepangkatan tersebut apalagi di daerah pemekaran baru pasti sangat terbatas, dan untuk memenuhinya jalan paling pintas adalah mengalih fungsikan tenaga pendidik (guru) yang memiliki pangkat yang 'tinggi'.

Kenapa guru? Karena guru syarat kenaikan pangkatnya lebih fleksibel yakni berdasarkan angka kredit yang bisa naik pangkat hanya dalam waktu dua tahun paling lama tiga tahun dan bisa naik pangkat hingga ke golongan IV tanpa syarat menduduki jabatan tertentu.

Maka tak heran jika di daerah pemekaran baru terdapat mantan guru yang menjabat sebagai kepala dinas PU, kepala Bappeda, bahkan menjadi Sekertaris Daerah. 

Selain itu kadang pula ditemui ada sarjana agama yang menjabat sebagai kepala dinas kesehatan, serta pegawai dengan disiplin ilmu berbeda memimpin instansi teknis, yang jika mengacu pada standar analisis jabatan tentu saja tidak memenuhi kriteria untuk menduduki jabatan tersebut.

Dengan segala dinamikanya pemekaran daerah/wilayah di satu sisi mungkin sangat diperlukan, namun disisi lainnya pemekaran daerah bisa menjadi sumber masalah, baik itu bagi pemerintahan pusat maupun bagi daerah itu sendiri. 

Kue pembangunan yang seyogiyanya dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat di daerah, justru hanya dinikmati oleh segelintir elit beserta kroni-kroninya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun