Akan tetapi, untuk daerah kami itu masih menjadi kendala yang rumit, dimana jumlah pegawai yang ada terbatas, baik dalam hal jumlah pegawainya maupun dalam hal kepangkatan serta disiplin ilmunya.
Sebagai contoh dalam hal kepangkatan, untuk menduduki jabatan struktural dibutuhkan syarat pangkat minimal, misalnya eselon II b, pangkat dasar adalah Pembina Tingkat I (gol. IVb) atau setidaknya satu tingkat dibawahnya (IVa).Â
Dalam hal kepangkatan ini sangat sulit untuk terpenuhi, karena untuk mencapai jenjang kepangkatan secara normal untuk naik setingkat butuh waktu 4 tahun.
Jadi untuk mencapai pangkat Pembina setidaknya membutuhkan masa kerja 16 tahun jika memulai karir sebagai PNS dalam pangkat Penata Muda (Gol. IIIa) yang dalam hal ini berijasah S1 atau D4.
Nah, pegawai yang memenuhi syarat kepangkatan tersebut apalagi di daerah pemekaran baru pasti sangat terbatas, dan untuk memenuhinya jalan paling pintas adalah mengalih fungsikan tenaga pendidik (guru) yang memiliki pangkat yang 'tinggi'.
Kenapa guru? Karena guru syarat kenaikan pangkatnya lebih fleksibel yakni berdasarkan angka kredit yang bisa naik pangkat hanya dalam waktu dua tahun paling lama tiga tahun dan bisa naik pangkat hingga ke golongan IV tanpa syarat menduduki jabatan tertentu.
Maka tak heran jika di daerah pemekaran baru terdapat mantan guru yang menjabat sebagai kepala dinas PU, kepala Bappeda, bahkan menjadi Sekertaris Daerah.Â
Selain itu kadang pula ditemui ada sarjana agama yang menjabat sebagai kepala dinas kesehatan, serta pegawai dengan disiplin ilmu berbeda memimpin instansi teknis, yang jika mengacu pada standar analisis jabatan tentu saja tidak memenuhi kriteria untuk menduduki jabatan tersebut.
Dengan segala dinamikanya pemekaran daerah/wilayah di satu sisi mungkin sangat diperlukan, namun disisi lainnya pemekaran daerah bisa menjadi sumber masalah, baik itu bagi pemerintahan pusat maupun bagi daerah itu sendiri.Â
Kue pembangunan yang seyogiyanya dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat di daerah, justru hanya dinikmati oleh segelintir elit beserta kroni-kroninya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H