Elang melepaskan tangan dengan tiba-tiba lalu berdiri dan memasukkan tangan ke saku celana. "Rindu dan Hera sudah kembali. Aku pergi dulu."
Rasanya separuh jiwaku dibawa pergi oleh Elang saat aku melihat punggungnya menjauh. Aku bertopang dagu mengagumi ciptaan Tuhan yang luar biasa lumer hari ini.
"Harusnya kamu bilang makasih sama kita-kita." Perkataan Rindu membuat separuh jiwaku tertarik masuk lagi.
"Makasih sudah meninggalkanku di sini dan terjebak dalam situasi yang tidak enak karena Jesi, Fahmi, dan Elang," ujarku sinis. Hilang sudah binar ceria di mataku karena Elang.
"Harusnya kamu berterima kasih karena kami menyelamatkanmu dari situasi memalukan jika tiba-tiba Elang menciummu." Hera duduk lalu bertopang dagu menatap dengan ekspresi jahil.
"Cium? Cium apaan? Ngaco deh ah," protesku untuk menutupi rasa malu. Mereka pasti sudah melihat kejadian tadi.
"Terus, kesimpulannya apa?" tanyaku untuk mengalihkan perhatian.
"Gini, Lok. Kami sama sekali tidak melihat Jesi di sekeliling kalian. Aneh." Rindu ikut duduk.
"Aneh? Memang aneh karena tadi Jesi habis nyamperin aku trus pergi sama Elang. Masa sih nggak ada? Kalian sudah mengamati dengan cermat?"
"Lok, kita ini analis. Seorang analis yang baik adalah orang yang teliti dan kami analis yang baik, kami teliti. Kami melihat ke segala arah dan memastikan kalau Jesi memang tidak ada." Hera memberi penjelasan yang masuk akal.
"Kelas Pak Juan dimajukan. Semuanya masuk kelas."