"Sudahlah Eva, jangan selfie mulu. Kalau kemalaman kita nggak dapat apa-apa lho. Belum kalau kamu minta naik ini dan itu seperti anak kecil." Inge menarik tangan Eva yang masih asik bergaya di depan pintu masuk pasar malam.
"Makasih diingatkan. Aku memang mau naik macam-macam hari ini." Eva tersenyum cantik sambil merapikan sanggul rambut yang sebenarnya sudah rapi.
"Haduh." Inge menunduk lemas.
"Awas saja kalau kita naik-naik permainan dan pulang tanpa membawa apa pun. Ingat tujuan kita ke sini." Belum-belum Inge sudah merasa putus asa.
"Iya-iya, bawel amat sih." Gantian Eva yang menarik tangan Inge memasuki pasar malam.
Hari ini adalah hari yang istimewa untuk mereka berdua karena mereka merayakan hari persahabatan. Mereka berjanji untuk membeli gelang persahabatan agar ikatan persahabatan antara mereka makin kuat.
"Kita masuk ke tenda peramal dulu ya." Eva berlari cepat tanpa menghiraukan protes Inge yang tersandung-sandung mengikutinya. Inge mempercepat langkahnya dan berlari di depan Eva agar sahabatnya itu tidak lagi menabrak orang-orang. Eva cenderung ceroboh sehingga tidak memperhatikan jalan.
Inge berhenti tepat di depan tenda. Terdapat lampu-lampu kecil warna-warni di sekitar papan nama peramal, selebihnya tidak ada warna lain selain warna hitam. Terasa suram, tidak seperti stan-stan lain yang berwarna terang dan semarak dengan berbagai hiasan.
"Sepertinya baru dibuka. Jangan-jangan kita pengunjung pertama. Ayo buruan." Eva menarik Inge dengan tidak sabaran. Dia membuka tenda dan memberi salam. Dia bahkan tidak perlu repot-repot memperhatikan dekorasi tenda.
Di dalam tenda sunyi sekali. Sama sekali tidak terdengar hiruk pikuk pasar malam. Seperti berada di dunia lain saja.
"Selamat datang. Silakan duduk. Siapa yang mau diramal?" tanya peramal berkostum gipsy cantik berambut panjang.
"Dia." Inge langsung menunjuk Eva. Dia tidak pernah suka dengan yang namanya sihir atau ramalan. Semua itu tidak nyata, hanya sekedar khayalan saja.
"Kami berdua." Eva menarik tangan Inge dan memaksa agar telapak tangan sahabatnya itu menghadap ke atas.
"Baiklah, asal setelah dari sini kita fokus mencari gelang itu." Inge menyerah dengan mudah. Dia terlalu sayang dengan sahabatnya itu. Semustahil dan setidak sukanya pada sesuatu kalau Eva yang minta pasti dia usahakan untuk memenuhinya.
Peramal itu meraih kedua telapak tangan. Matanya menyusuri garis tangan kedua gadis itu. "Persahabatan kalian akan diuji. Pertengkaran besar akan terjadi. Kalian menjadi musuh yang lebih berbahaya dari musuh lain. Persahabatan kalian dipertaruhkan."
Inge menarik tangan dengan tiba-tiba. Wajahnya merah padam menahan marah. "Ramalanmu pasti salah. Kami berdua adalah sahabat sejati. Sampai kapan pun akan tetap bersahabat."
"Betul," kata Eva.
"Kalian tidak mempercayai ramalanku? Kalian yakin kalau aku membuat kesalahan dengan ramalan ini?" Peramal itu mengangkat alis kiri karena heran.
"Tentu saja kami tidak percaya. Kamu pasti berniat menipu kami," sembur Inge. Sejak awal dia sudah curiga kalau ini hanya akal-akalan peramal untuk mencari uang. Omong kosong apa ini.
Eva menggenggam tangan Inge untuk menenangkannya. Inge paling tidak suka dengan hal-hal yang berbau mistis. Walau pun begitu dia tetap mau menemani Eva membaca novel fantasi miliknya. Eva selalu beralasan agar mereka dapat membicarakan hal yang sama.
"Maafkan kalau sudah membuat kalian marah dan merasa tidak nyaman. Sebagai permintaan maaf maka kalian berdua akan kuberi sepasang gelang peri. Anggap saja kalian belum pernah mendengar ramalanku."
"Dimaafkan." Eva segera memgambil sepasang gelang dengan senyum lebar. Tujuan mereka sudah terpenuhi dengan cepat. Sekarang mereka bisa bersenang-senang.
"Kembalikan itu," pinta Inge. Dia memiliki firasat yang tidak enak namun Eva malah memakaikan gelang ke pergelangan tangannya. Seperti biasa, dia tidak bisa menolak keinginan Eva.
"Cantik." Eva mengangkat tangan dan menggoyangkannya perlahan. Terdengar bunyi gemerincing dari satu-satunya lonceng kecil yang terpasang di antara dua hiasan peri.
"Ungu sangat cocok denganmu. Terima kasih peramal, kami pergi dulu." Eva memakai gelang di tangan kiri sedang Inge di tangan kanan.
"Terima kasih." Inge sedikit menundukkan kepala untuk menunjukkan rasa terima kasihnya. Dia sendiri juga merasa lega karena mendapatkan gelang yang bisa dianggap sebagai gelang persahabatan. Gelang identik, yang satu berhiaskan peri bersayap ungu dan satunya berwarna biru.
Eva mengulurkan tangan kiri yang langsung disambut oleh Inge. Mereka berdua bergandengan tangan keluar dari tenda. Senyum terukir diwajah cantik mereka. "Sahabat selamanya," kata mereka bersamaan. Mereka tidak menyadari kalau gelang-gelang itu bersinar walau redup.
"Woah, apa ini?" Inge merentangkan kedua tangan. Dia sangat kaget karena berada di ketinggian diantara tingginya pohon yang berjajar rapat. Apakah mereka terbang?
"Aaaaa...." teriak Eva yang kehilangan keseimbangan. Pegangan tangan mereka terlepas.
Tiba-tiba seorang pemuda menangkap tubuh Eva. Pelan-pelan membawanya turun. "Apa kalian baik-baik saja?" tanya pemuda itu sambil tersenyum.
Eva terhanyut oleh senyuman cowok itu. Rasanya sungguh bahagia hanya dengan melihat wajahnya. Tanpa sadar dia ikut tersenyum.
"Lepaskan tangannya!" Inge menarik tangan Eva agar terlepas. Eva seperti orang mabuk yang sudah tidak sadar dengan kondisi sekitar. Dia hanya senyum-senyum sambil memandang cowok itu.
"Ada apa denganmu? Apa kamu iri karena pemuda cakep ini menolongku?" Suara Eva meninggi tapi terdengar seperti sedang menahan kesakitan. Dia memegangi pergelangan tangan kirinya.
"Cakep? Apa kamu tidak melihat keanehannya? Dia memiliki sayap di punggungnya. Tubuhnya dipenuhi tato yang dapat bergerak. Dia sangat hitam." Inge bergidik setelah meneliti pemuda itu.
"Ha ha ha, kamu juga aneh. Apa kamu tidak sadar kalau sejenis denganku?"
"Apa? Bagaimana ini mungkin terjadi?" Inge berteriak histeris karena bingung melihat sayap ungu kebiruan yang entah bagaimana ada di punggungnya.
Tubuh mereka berubah. Inge sekarang memiliki telinga dengan puncak berbentuk lancip. Di sekujur tubuhnya dipenuhi oleh tato berbentuk sulur tanaman dengan bunga berwarna ungu. Inge keheranan karena Eva tidak terlihat panik sepertinya.
"Namaku Dry, sebaiknya kalian ikut ke pondokku. Hari menjelang malam. Hutan bisa sangat berbahaya." Eva dengan senang hati mengikuti Dry dan mengamit lengannya tanpa canggung.
"Aku punya beberapa adik perempuan. Mereka pasti senang mendapatkan tamu yang cantik," ujar Dry saat Inge tidak segera mengikuti.
"Sebaiknya kamu ikut. Hari mulai gelap." Eva mengingatkan tanpa menoleh.
Inge memeluk dirinya sendiri. Berada di tempat asing dengan wujud yang berbeda membuatnya mengigil ketakutan. Apa lagi yang akan terjadi nanti. Bagaimana cara mereka kembali. Kalau saja dia tidak menyetujui usul Eva untuk pergi ke pasar malam, mereka pasti masih di rumah. Inge bergegas mengejar Dry dan Eva.
"Ini pondokku," kata Dry saat membuka pintu rumah dan mempersilakan tamunya untuk masuk.
"Dry sudah pulang," pekik kegirangan seorang gadis membuat Inge keheranan. Tiga orang berhambur memeluk Dry hingga dia sempoyongan, hampir jatuh.
"Sudah, sudah. Kita ada tamu." Dry mengurai pelukan.
"Hai," sapa Eva. "Kalian memiliki warna sayap yang indah."
"Terima kasih pujiannya. Sayap kuning cerah dengan motif sulur hijauku memang tampak cantik. Namaku Kuni." Kuni menggerakan sayap untuk memamerkannya pada Inge dan Eva.
"Aku Jen. Terima kasih sudah memuji sayap perak dengan batas merah milikku."
Inge mengerutkan dahi karena sayap adik-adik Dry lebih didominasi warna hitam tapi mereka menyebutkan warna sayap yang seolah-olah sangat indah.
"Sayap kalian hampir berwarna hitam sepenuhnya. Aku tidak memahami dimana letak keindahannya," ujar Inge dengan polos.
"Apa matamu bermasalah sampai tidak bisa melihat keindahan ini? Kamu mulai buta warna? Ya, ampun Inge jangan bilang kamu iri karena sayapmu kalah indah dibanding mereka," cela Eva. Lagi-lagi dia memegangi pergelangan tangan kiri seperti kesakitan.
Inge berdiri mematung saat dia lihat di sayap Eva ada noda berwarna hitam, warnanya tak lagi cerah tapi tampak lebih gelap. Inge mengerutkan dahi karena Eva kembali bergenit-genit pada Dry. Apa yang terjadi sebenarnya.
"Kenapa kamu terus memandangi Dry? Dia milikku. Kami saling mencintai dan akan tinggal bersama. Jangan bilang kalau kamu juga mencintainya? Sahabat macam apa kamu yang tega merebut kekasih sahabatnya?" tanya Eva dengan ketus.
Inge terpaku mendengarnya. Tidak pernah sekali pun Eva bersikap sekasar itu padanya. Eva tampak seperti orang lain. Inge menggeleng untuk meyakinkan Eva. "Aku sama sekali tidak tertarik padanya. Kamu tenang saja." Sejak kapan mereka jatuh cinta dan membicarakan tentang saling memiliki. Situasi sudah semakin kacau.
"Baguslah kalau begitu." Eva mengibaskan rambut lalu berbalik dan mengikuti langkah Dry.
Samar-samar Inge mendengar percakapan Dry dan Eva. Dry meyakinkan Eva kalau Inge mencintainya karena selalu mencuri pandang. Inge menghela napas merasa putus asa. Dry pasti sengaja mengadu domba mereka. Dia terlihat berbahaya.
"Mari aku antar ke kamar." Kuni tersenyum.
Inge mengikuti Kuni menuju sebuah kamar yang hanya berisi sebuah ranjang, sebuah meja, sebuah kursi, dan almari. Jendela kamarnya besar dengan pemandangan hutan lebat tempat mereka datang.
"Terima kasih sudah mengantarku. Maaf soal perkataanku tentang sayapmu." Inge duduk di ranjang dan menundukkan kepala.
"Tidak masalah. Mungkin karena hari semakin malam jadi penglihatanmu tidak terlalu jelas. Besok pagi pasti kamu melihat sayapku yang indah. Sekarang tidurlah." Kuni meninggalkan kamar dan menutup pintu kayu yang tampak suram.
"Mungkin Kuni benar. Penerangan di sini terlalu minim hingga aku salah melihat. Tapi ada yang aneh, semua tampak suram dan hitam." Inge bangkit berdiri untuk menutup jendela tapi gerakannya terhenti karena melihat Dry terbang menuju hutan bersama Kuni.
"Sebaiknya aku tidur saja." Inge menutup jendela dan menguncinya sebelum naik ke ranjang.
...
"Selamat pagi," sapa Kuni ceria. Dia menepuk kursi yang ada di sebelahnya agar Inge duduk di situ.
"Selamat pagi."
Inge menggosok mata karena tidak percaya dengan penglihatannya. Suasana lebih terang karena cahaya matahari masuk melalui jendela-jendela besar tapi sayap-sayap saudari Dry masih tampak seperti semalam.
Sayap Kuni malah hampir hitam sepenuhnya, hanya tersisa warna kuning sebesar telapak tangan di bagian puncak sayap.
"Dimana Eva?" Inge merasa tidak tenang kalau belum melihat sahabatnya.
"Dia pergi jalan-jalan dengan Dry. Aku Jo, kita belum berkenalan." Jo menundukkan kepala untuk menyapa.
Inge mengunyah gigitan apel terakhir dengan buru-buru. "Mereka pergi ke arah mana? Aku harus menyusulnya."
"Biarkan mereka bersenang-senang. Sebaiknya kamu tetap di sini. Aku kan menunjukkan hal menarik," bujuk Kuni.
"Mereka tidak akan lama karena Dry cepat lelah. Tenang saja dan sabar menunggu." Jen menenangkan Inge.
Inge mengambil sebutir apel lagi untuk dimakan. Tatapannya terpaku pada pintu masuk. Kalau-kalau Eva datang. Saudari-saudari Dry memang ramah tapi tetap saja tidak menghilangkan kecurigaannya pada Dry.
Kuni berdiri setelah menyelesaikan makan. "Ayo ikut kami." Kuni menggandeng Inge agar tidak tertinggal.
"Kamu lanjutkan makan di sini saja." Kuni menunjukkan sebatang pohon tumbang yang diapit dua pohon. Seperti kursi dengan dua buah payung.
"Pemandangannya indah." Inge mengagumi apa yang dilihatnya.
Suara gemericik air dipadu dengan hamparan bunga yang mekar. Ada tanah kosong di belakang rumah, entah digunakan untuk apa. Kuni berdiri di tengah-tengahnya sementara menanti Jo dan Jen.
"Maaf, menunggu lama. Silakan dimulai." Jo mengambil posisi di sebelah kanan sedang Jen di sebelah kiri Kuni.
Kuni terbang melayang kira-kira satu meter di atas tanah. "Kami akan menari untuk menumbuhkan tunas-tunas sayuran."
Kuni merentangkan kedua tangan lalu mengayunkannya bergantian ke depan dan ke belakang. Dia mulai bernyanyi, suaranya yang merdu membuat Inge terpesona. Kuni terus saja menari dengan gerakan yang lembut dan indah. Sayap ketiga peri itu bersinar indah tapi bagian yang hitam tidak ada perubahan. Beberapa saat kemudian tanah tampak bergoyang dan muncullah tunas-tunas.
Jen mulai menari dan bernyanyi. Muncul sinar kuning dari kedua tangannya. Tunas-tunas ikut bergoyang mengikuti gerakan sinar. Jo terbang cepat di atas tunas-tunas. Awan gelap muncul bergulung-gulung lalu hujan mulai turun. Jo menghentakkan tangan ke samping dan awan itu terurai lalu hilang.
"Kalian bersenang-senang tanpa aku?" Suara Dry terdengar riang, tidak terdengar seperti orang protes.
"Bukannya kamu yang bersenang-senang berdua?" sindir Jo, membuat pipi Eva memerah.
Inge terbang mendekati Eva. Seperempat bagian sayap Eva sudah berwarna hitam. Perubahan yang sangat cepat. Apa ini karena Eva berdekatan dengan Dry. Sayap Kuni juga menghitam dengan cepat setelah Inge melihat mereka pergi berdua ke arah hutan.
"Kalian dari mana saja?" tanya Inge dengan ketus. Tiba-tiba dia merasa seperti ada yang meremas pergelangan tangannya.
"Dari hutan. Dry menunjukkan sebuah altar leluhur yang sangat indah. Aku mencoba berbaring di sana dan merasakan kedamaian."
"Sebaiknya kita pergi dari sini. Aku merasa aneh," bisik Inge.
"Aneh? Kamu tuh yang aneh. Jangan-jangan kamu menyuruhku pergi karena ingin mendekati Dry?" Suara Eva melengking tajam.
"Aw, Aduh." Eva menjerit kesakitan.
Dry menghampiri Eva yang masih memegang pergelangan tangan. Inge kuatir, dia hendak mendekat tapi ditahan Jo. Inge hanya bisa memandang kepergian mereka.
Seharian Inge mengurung diri di kamar memikirkan segala sesuatu. Dia sampai pada kesimpulan kalau gelang persahabatan bereaksi saat mereka saling menyakiti. Inge ingat kalau dia sendiri juga pernah merasakannya.
Hari menjelang malam waktu Inge melihat kelebat Kuni dan Dry menuju hutan. Inge bergegas terbang dan membuntuti mereka dengan jarak yang cukup jauh. Bangsa peri terlalu peka untuk diikuti dalam jarak dekat. Itu juga merupakan keuntungan buatnya karena dia tetap melihat jelas dikejauhan.
Inge bersembunyi di puncak pohon yang tinggi. Dry sedang membaringkan Kuni di sebuah altar yang di sekelilingnya penuh dengan simbol-simbol yang aneh. Dry mengangkat tangan lalu terlihat mengucapkan mantra. Mata Inge melebar ketika tubuh Kuni menjadi hitam sepenuhnya dan secara perlahan-lahan menjadi debu yang menghilang tertiup angin.
Tubuh Dry bercahaya dan wajahnya tampak segar. Inge bergegas pulang ke rumah Dry sebelum cowok itu memergokinya. Tampaknya upacara Dry masih belum selesai.
"Eva, Eva. Kita harus segera pergi dari sini." Inge menarik tangan Eva.
"Apaan sih?" Eva berusaha melepaskan tangan Inge tapi Inge lebih kuat.
"Dia iri padamu." Suara Dry membuat tubuh Inge gemetar.
"Jadi kamu benar-benar berniat merebut Dry dariku? Aku tidak akan membiarkannya. Kami saling mencintai dan segera bersumpah setia." Eva mendorong Inge dengan keras hingga dia terjatuh.
"Sumpah peri itu palsu. Kamu diperdaya olehnya." Inge berusaha bangun lagi.
"Peri tidak bisa berbohong. Itu yang Dry katakan." Eva bertolak pinggang menghadap Inge.
"Itu benar sekali, Sayangku," ujar Dry sambil mendekati Eva.
"Berhenti di situ. Kamu sudah memperdaya sahabatku." Inge menghadang Dry. Keberaniannya tumbuh karena dia tidak ingin sahabatnya celaka.
Inge mengaduh karena merasakan pukulan pada lengan. Eva memegang sebatang kayu yang diambil entah dari mana.
"Gelang sialan. Pasti gelang ini yang sudah membuatku kesakitan." Eva melempar kayu sembarangan lalu mencoba membuka gelang persahabatan.
Inge memungut kayu itu dan menodongkannya di depan Dry. "Gelang itu mengingatkan kita agar tetap menjaga persahabatan ini. Sadarlah!"
Dry tertawa keras. Tubuhnya mengeluarkan delapan bayang-bayang berbentuk tangan. Seperti tangan laba-laba. Tangan bayangan itu terulur hendak menangkap Inge. Inge berkelit sambil memukul ke segala arah.
"Aku tidak akan membiarkanmu menyakiti sahabatku!" teriak Inge sambil menyerang membabi buta. Sayapnya berkilau terang membuat Dry memalingkan muka karena silau. Kesempatan ini dipakai Inge untuk memukul Dry.
"Sahabat?" Suara Eva terdengar ragu-ragu. "Sahabatku."
Eva seperti tersadar dari pengaruh Dry. Dia menyambar kursi kayu yang ada di dekatnya dan memukulkan ke arah kanan Dry. "Lepaskan sahabatku."
Inge meronta-ronta. "Akhirnya kamu sadar juga. Serang dengan tusuk kondemu. Peri tidak tahan dengan baja." Mereka berdua selalu suka menyanggul tinggi rambut dan menghiasi dengan konde yang berhiaskan butiran mutiara imitasi.
Eva mencabut tusuk konde hingga rambutnya terurai. Dia mengenggam dengan erat dan mengayunkannya seperti menggunakan pisau.
"Sayangku. Kita segera mengucap sumpah setia, jangan lakukan itu." Dry mencoba merayu Eva.
"Kita bukan kekasih. Kamu sudah memperdayaku dan juga melukai Inge." Eva berusaha menyentuhkan tusuk konde pada bayangan Dry yang berfungsi seperti perisai.
Dry sibuk berkelit hingga tidak menyadari kalau ikatan pada Inge menjadi longgar. Inge berhasil membebaskan tangan kanan lalu menarik tusuk konde. Dia menancapkan tusuk konde pada salah satu tangan bayangan Dry. Serta merta Dry melemparkan Inge.
Inge bisa menguasai tubuh hingga tidak jatuh terlentang. Dia bahkan bisa langsung terbang mendekati Dry. Inge dan Eva menyerang secara bersamaan. Bayangan hitam Dry satu persatu musnah, sekarang tinggal Dry saja tanpa pelindung.
"Kalian berdua memang kuat tapi aku tidak akan menyerah." Napas Dry terdengar ngos-ngosan, tenaganya sudah terkuras.
"Ucapkan selamat tinggal pada dunia." Inge memegang tusuk konde dengan kedua tangan dan menghujamkan ke lengan kanan Dry. Eva mengambil kesempatan untuk menusuk jantung Dry hingga dia jatuh tersungkur.
"Kalian berdua ...." Dry menggapai Eva tapi tubuhnya sudah terlebih dahulu berubah menjadi debu dan menghilang.
"Warna sayapmu sudah kembali lagi." Inge memandang Eva dengan penuh haru.
Eva berlari untuk memeluk Inge. "Terima kasih sudah menyelamatkanku. Kamu memang sahabat sejatiku."
Gelang persahabatan mulai berpendar berkilauan. Mereka berdua berpelukan sambil tersenyum. Suasana berubah menjadi gelap. Mereka berpelukan semakin erat.
"Selamat datang. Selamat menjadi sahabat sejati," ucap peramal.
"Terima kasih sudah mempererat ikatan kami." Inge tersenyum sambil merangkul sahabat terbaiknya. Sekarang dia tahu maksud dari ramalan itu.
 -End-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H