"Dia." Inge langsung menunjuk Eva. Dia tidak pernah suka dengan yang namanya sihir atau ramalan. Semua itu tidak nyata, hanya sekedar khayalan saja.
"Kami berdua." Eva menarik tangan Inge dan memaksa agar telapak tangan sahabatnya itu menghadap ke atas.
"Baiklah, asal setelah dari sini kita fokus mencari gelang itu." Inge menyerah dengan mudah. Dia terlalu sayang dengan sahabatnya itu. Semustahil dan setidak sukanya pada sesuatu kalau Eva yang minta pasti dia usahakan untuk memenuhinya.
Peramal itu meraih kedua telapak tangan. Matanya menyusuri garis tangan kedua gadis itu. "Persahabatan kalian akan diuji. Pertengkaran besar akan terjadi. Kalian menjadi musuh yang lebih berbahaya dari musuh lain. Persahabatan kalian dipertaruhkan."
Inge menarik tangan dengan tiba-tiba. Wajahnya merah padam menahan marah. "Ramalanmu pasti salah. Kami berdua adalah sahabat sejati. Sampai kapan pun akan tetap bersahabat."
"Betul," kata Eva.
"Kalian tidak mempercayai ramalanku? Kalian yakin kalau aku membuat kesalahan dengan ramalan ini?" Peramal itu mengangkat alis kiri karena heran.
"Tentu saja kami tidak percaya. Kamu pasti berniat menipu kami," sembur Inge. Sejak awal dia sudah curiga kalau ini hanya akal-akalan peramal untuk mencari uang. Omong kosong apa ini.
Eva menggenggam tangan Inge untuk menenangkannya. Inge paling tidak suka dengan hal-hal yang berbau mistis. Walau pun begitu dia tetap mau menemani Eva membaca novel fantasi miliknya. Eva selalu beralasan agar mereka dapat membicarakan hal yang sama.
"Maafkan kalau sudah membuat kalian marah dan merasa tidak nyaman. Sebagai permintaan maaf maka kalian berdua akan kuberi sepasang gelang peri. Anggap saja kalian belum pernah mendengar ramalanku."
"Dimaafkan." Eva segera memgambil sepasang gelang dengan senyum lebar. Tujuan mereka sudah terpenuhi dengan cepat. Sekarang mereka bisa bersenang-senang.