Ketidakadilan terjadi pada diriku sejak hewan berkaki empat itu masuk ke rumah. Entah apa yang membuat mahkluk berbulu kuning keemasan senang mendatangi gubuk reotku. Padahal kiri kanan tetangga hidupnya lebih berkilau dan berlimpah ruah dengan makanan. Lihat saja keluarga pak Wowo, rumahnya lebar propertinya pasti mahal, dan mobilnya ada 3. Menu makanan keluarga pak Wowo dimasak oleh mbok Ijah si juru masak handal tingkat RT.
Bayangkan saja, makanan di atas meja makan tersedia bermacam menu yang menggiurkan, aroma masakannya menggelitik hidung. Siapapun yang mencium aroma masakan itu pasti tergoda untuk menikmatinya. Air liur sudah mulai menetes memikirkanya.
Diriku yang bernasib malang  ingin sekali menikmati makanan seperti itu, andai dikasih sisa makanannya daku tak menolak. Sekarat benar kehidupanku terancam tergusur dari daerah itu hanya karena diriku tinggal di gubuk reot. Menjadi kuli bangunan sudah dilakoni sejak orangtua masih hidup. Ketika mereka tiada pekerjaan ini tetap menjadi sandaran hidup.
Beruntung tidak ada manusia yang ku biayai hidupnya karena diriku anak tunggal di keluarga. Tak jarang berkhayal menginginkan kehidupan seperti pak Wowo. Khayalan itu jauh menembus awan lalu dipatuk burung gagak yang sirik dan kembali jatuh ke bumi. Â Aku tetaplah aku, hanyalah seorang pemuda miskin bernama Sugeng.
Sebut saja mahkluk itu si Kentung, menurutku lebih baik daripada si kampret. Hampir sebulan Kentung si kucing liar dari antah berantah datang ke rumah setiap jam makan. Kentung tidak tahu jam tapi dia punya indera penciuman tajam sehingga tiap diriku ingin makan dia datang untuk meminta sedikit makanan. Awalnya tidak masalah untuk berbagi dengannya.
Namun kemudian hari diakhir bulan saat uang mulai menipis dan persediaan makanan mulai habis, Kentung hanya mendapat secuil makanan. Kentung memandangku penuh harap akan mendapatkan tambahan makanan. Harapan Kentung tak terkabul ia mulai gelisah ketika selesai makan aku langsung masuk kamar. Kentung mondar mandir dari dapur menuju ke depan pintu kamar. Merasa diabaikan ia mulai bersuara dengan mengeong pelan  tanda memohon untuk diberikan lagi makanan. Kentung masih lapar, tapi apa dayaku tidak punya uang untuk menambah sedikit makanan bahkan sesungguhnya diriku masih merasa kurang.
Maaf Kentung ucapku dalam hati sambil menutup mata, lamat-lamat suara mengeong Kentung tak lagi terdengar seiring malam semakin larut. Aku pun tenggelam dalam mimpi. Sejenak Kentung terdiam di depan pintu kamar mendengar dengkuran panjang, akhirnya ia mengerti  Tuan tidak akan memberinya jatah makanan lagi.
Sejak 3 hari yang lalu Kentung sama sekali tidak diberi makanan. Namun Kentung masih tetap datang ke rumah mengintip diriku sedang duduk menikmati makan siang di dapur kecil. Kali ini dia tidak datang sendiri, ada seekor kucing betina gemuk berwarna putih bersih. Mereka mengeong bersama, aku memperhatikan dua ekor kucing itu.
Guratan senyum sinis menghias wajah suaramku karena Kentung lebih dulu dapat pasangan ketimbang diriku sudah melajang tua. Tiba-tiba terdengar suara ngeong dari arah lain, aku mencari sumber suara itu. Ternyata ada seekor kucing belang hitam dan oren dari pintu depan. Disusul seekor kucing betina dengan warna coklat dan putih. Mulut yang masih mengunyah makanan mendadak terhenti melihat kucing-kucing berdatangan satu persatu ke rumah. Banyak bahkan puluhan jumlahnya.
Mereka mulai mendekat dan mengelilingi diriku, langkah mereka pelan tapi pasti dan mencoba meraih piring yang ada di tangan kiriku. Aku melihat Kentung di sudut ruangan memandangku dengan senyuman menyeringai. "Kentuuuu....uuuunggg" aku berteriak kencang sampai mataku terbelalak dan terbangun.
Olala itu hanyalah mimpi. Nafasku tak beraturan dan terasa sesak. "Mimpi. Yah... itu hanyalah mimpi," ucapku pelan dengan perasaan lega. Dikepung dengan puluhan kucing ternyata tak kalah horornya dengan film hantu 'Suzana'.
Setelah seminggu Kentung tidak dapat makanan, mahkluk berkumis putih itu tak angkat kaki dari gubuk reotku. Malah mengajak bermain dengan kakiku yang selonjor di lantai saat tidur beralaskan tikar di ruang tengah. Ku geser pelan badannya dengan kaki dia malah meloncat-loncat sambil menangkap kakiku lalu menggigit. Kuayunkan kaki kekiri dan kekanan Kentung semakin geram menangkap kakiku. Â Aku tertawa terpingkal melihat aksinya sok jagoan melawan kaki . Ketika berhasil meraih kakiku dengan kedua kaki depanya, ia mengeong keras seperti ingin mengatakan "aku berhasil menangkap kakimu, kawan."
Aku membalas dengan menjulurkan lidah tanda mengejek, sengaja ku berikan kaki untuk ditangkapnya. Mbok Ijah dan Ibu Miat melihat tingkahku jadi tertawa kecil, "akhirnya si Tole bisa tertawa," ucap Mbok Ijah tersenyum mengintip dari balik pintu pagar rumah Pak Wowo. "Iya buk Ijah, udah lama sekali dia tidak tertawa keras sejak orangtuanya meninggal" sambung ibu Miat yang kerja di rumah pak Paijo. Kedua pembokat berumur paruh baya itu kenal baik dengan orangtuaku. Seperti biasa bila selesai pekerjaan rumah mereka akan bertemu untuk ngobrol mengusir rasa jenuh karena bekerja seharian di dalam rumah.
Tiba-tiba terlintas ide dipikiran cara mendapatkan makanan untuk Kentung. Senyumku melebar yakin bahwa ide itu adalah terbaik untuk Kentung. Saat malam tiba jalan umum mendadak sepi, aku rela berjalan menelusup ke rumah pak Wowo seperti pencuri. Pukul 7 malam biasanya keluarga pak Wowo ngumpul di ruang televisi setelah makan malam. Ini saat yang tepat membawa Kentung ke dapur pak Wowo untuk makan. Sampai di pintu dapur belakang, Kentung  dilepas dan menyuruhnya masuk.
"Ambilah makanan di rumah ini, makanlah sepuasmu. Mereka tidak akan merasa kekurangan jika kau mencuri sedikit makananya" dengan suara setengah berbisik. Kucing liar kurus itu pun  berjalan pelan menuju pintu dapur, sesaat langkahnya terhenti lalu ia menoleh ke arahku yang sembunyi di balik pohon asem.
Aku mengibaskan tanganku berulang kali beri isyarat agar Kentung segera masuk ke rumah itu. Akhirnya kentung masuk melalui pintu belakang, sesaat merasa aman lalu dengan langkah seribu meninggalkan halaman rumah pak Wowo. Hatiku bersorak riang. Tugas penyelamatan hidup Kentung sudah teratasi, aku tidak lagi resah.
Esok hari, bangun pagi dengan semangat karena tidur dengan nyenyak. Langkah kaki terasa ringan, ternyata berbuat sesuatu yang baik pada hewan adalah hal yang menyenangkan. Demi ketenangan hidup orang miskin seperti diriku tak ada salahnya mengantarkan seekor kucing liar kepada orang kaya seperti pak Wowo.Â
Aku tersenyum membayangkan pak Wowo sedang mengelus-elus pundak si Kentung dan memberikanya makanan banyak. Seandainya semua manusia di bumi punya itikad baik seperti diriku mungkin kaum kucing tidak banyak terlantar di jalanan. Setelah sarapan dengan sisa lauk semalam bahkan masih dapat menyisakan sedikit untuk makan siang lalu berangkat kerja. Benar saja dugaanku, si Kentung tidak datang ketika sarapan pagi. Hewan berkumis misai itu sudah pasti bahagia dengan majikan baru.
Matahari begitu bersinar terik di siang hari, pekerjaan belum kelar memasang keramik di ruangan kantor salah satu perusahaan besar  di kota gudeg ini. Keringat pun mulai bercucuran dari dahi menetes ke baju, peluh dan bau bercampur jadi satu. "Kita lanjutkan jam 2," ucap seorang pria berbadan tinggi tegap.
Pak Bahrun sang mandor bangunan menghentikan para tukang untuk beristirahat sebentar. Segera aku bergegas mengambil tas kecil berwarna biru lusuh meraih sebuah botol mineral isinya non original. Kutenggak air hingga tandas. "Ayo kita makan sama, Geng" ucap pak Roso pekerja paling tua. "Saya pulang ke rumah saja pak karena mau ganti baju" jawabku cepat. "Kami makan duluan ya, Geng" ucap pak Roso diikuti 2 kawan lainya. Aku mengangguk pelan sambil berlalu pergi.
Jarak tempat kerja dari rumah tidak jauh cuma berkisar 500 meter. Dengan langkah cepat melalui jalan pintas dari belakang gedung tempat bekerja, tak sampai 15 menit sudah sampai di rumah. Sebenarnya ingin sekali makan bersama dengan kawan-kawan namun terselip rasa minder. Terlalu sering diberi jadi gak enak hati. Mereka begitu baik sekali sepertinya maklum dengan keadaanku sendiri dan melarat.
Setiba di rumah langsung menuju dapur  karena panggilan perut lebih penting dari segalanya. Tiba-tiba langkah kaki terhenti. Darahku mendidih membludak, emosi naik kelevel tinggi. Kentung mengambil jatah makan siang dari sangi.
Ia sangat menikmati ikan asin kecil cuma  tinggal 1 ekor sampai kedatangan diriku yang sudah panas hati pun tak dihiraukanya. Akhirnya sapu tua membalas semua rasa kesal dan amarahku pada Kentung. Rasa sakit jelas terlihat dari erangan Kentung sontak berlari kencang menjauh dariku. Kemudian langkahnya terhenti kembali melihatku seolah ingin mencarut marut dalam hati.
"Aku sudah mengantarmu pada orang kaya yang punya banyak makanan, setelah kau dapat dari  mereka kini kau rampas milikku. Dasar hewan sialan! Seharusnya kau berterima kasih padaku bukan menjarah milik tuanmu!"
"Ngeong..."
"Kau tahu betapa sulitnya mendapat pekerjaan lain selain kuli bangunan? Hanya karena tamatan SD. Negeri ini gila ijasah tak butuh praktek yang penting teori. Gajiku cukup untuk makan sehari. Lihat saja pakaian kumal ini tak layak pakai, lihat perabotan rumah hampir ringsek, sandal usang dan sarung yang banyak tembelan.
Aku ingin sekali hidup layak, Tung. Setidaknya hidupku tak lagi ditertawakan orang karena hidup miskin. Â Makanan itu sisa makanan semalam untuk ku makan sekarang. Begitu santai kau mengambil dan mempertontonkan dirimu melahap makanan itu tanpa sisa. Sungguh menyesal berbaik hati memikirkan makanan untukmu, ternyata balasan ku dapat seperti ini!."
 "Ngeoooo...ng" sahut Kentung panjang mengimbangi kalimat panjang yang terucap dari bibirku.
"Pergi! Pergilah! Jangan pernah kembali!" kataku dengan nada tinggi membentak, Kentung kaget lalu pergi meninggalkan rumah. Aku terduduk lemas sementara perut berbunyi nyaring minta diisi. Sisa waktu tinggal setengah jam untuk kembali bekerja, tiba-tiba semua seperti berputar  ku biarkan tubuh rebah di lantai dapur.
Terdengar samar-samar suara seorang perempuan memanggil namaku. Suara itu tak asing lagi bagiku. Badanku seakan terguncang oleh sesuatu, semakin lama suara itu semakin kencang. Mataku terbuka dan melihat lurus ke atap rumahku yang kumuh, tampak wajah perempuan paruh baya  melihatku dengan ekspresi aneh. Sontak aku sadar, perempuan paruh baya itu Mbok Ijah. Segera aku bangun dari tidur singkat lalu terduduk dengan wajah tertunduk malu karena tidur di lantai dapur.
"Ada apa, Mbok?" tanyaku pelan sembari mengucek mata.
"Mbok liat pintu rumahmu terbuka jadi mbok dateng, eh..Sugeng tidur di lantai dapur. Trus mbok liat sanginya tergeletak di lantai dan piring itu pecah pasti jatuh dari meja. Mbok mengira makananmu dimakan kucing, jadi mbok dateng nganter makanan, kebetulan di rumah pak Wowo lagi masak rendang jadi mbok bawa kemari"
Sejak orangtua meninggal mbok Ijah adalah wanita yang kerap memperhatikan hidupku. Sering ia menasehati agar bekerja dengan jujur agar Tuhan melimpahkan rejeki banyak. Mbok Ijah adalah perempuan yang ditinggal suami karena meninggal.
Pengabdianya pada keluarga pak Wowo membuatnya tidak berpikir kembali mencari pasangan hidup. Mbok Ijah dengan segala kesederhanaanya memang perempuan yang baik hati.
"Makanlah tole" ucap mbok Ijah sambil membuka rantang isinya bermacam makanan. Rendang, sayur asem dan kerupuk tersedia di depan mata. Mbok Ijah mengambil piring dari rak piring lalu memindahkan semua lauk dan sayur ke piring. Aroma yang memikat hati itu kini ada di depan mata. Ingin rasanya langsung menyantap tapi isin (malu).
"Mbok, sebelumnya aku mengucapkan terima kasih. Sejujurnya aku kelaparan karena jatah makan siang diambil kucing liar itu. Saking laparnya aku ketiduran, mbok. Untung mbok dateng bawa makanan kalo gak mungkin aku bakal mati," ucapku lirih.
"Kucing bulu bewarna kuning emas bukanya kucing peliharaanmu?" tanya mbok Ijah penasaran.
"Sebenarnya bukan kucing saya, mbok. Saya gak sampe hati melihatnya kelaparan, tapi belakangan ini gaji dari mandor pas-pasan untuk beli beras dan lauk untuk berbagi makanan saja tidak bisa, bahkan sebenarnya untuk diriku saja kurang" jawabku dengan wajah mesem memeraH
"Pantesan, kucing itu datang ke rumah pak Wowo. Melihat kucing pak Wowo langsung naik darah, saya usir tuh kucing"
"Lho kog diusir, mbok?"
"Pak Wowo alergi dengan bulu hewan, seperti bulu kucing dan anjing. Pak Wowo kalo kena alergi bisa sesak napas atau gatal kulit sampe tanganya merah. Kucing ketagihan bila diberi makan"
Mendengar penjelasan mbok Ijah, aku terdiam. Mbok Ijah tidak tahu  kucing liar itu datang karena ulahku. Perkiraanku meleset ternyata Kentung gagal makan malam pantesan kelaparan.
"Ya sudah makan dulu, Tole. Mbok gak bisa berlama-lama disini nanti ibu Wowo nyari"
"Iya mbok, terima kasih banyak mbok," ucapku bersemangat gairah hidup muncul kembali. Mbok Ijah pun pergi sekejap bayanganya menghilang dibalik tembok pagar rumah milik pak Wowo, dengan cepat aku menyantap sambil terus mengucap syukur pada Tuhan karena telah mengirimkan malaikat penolong berwujud mbok Ijah.
Sejak peristiwa Kentung merampas jatah makan siang, ia tidak jera malah nekat mengambil lauk di depan mata. Seolah-olah perbuatannya harus dimaklumi sebagai manusia peri-kehewanan. Ia tak tahu diriku merasa tidak dihargai sebagai mahkluk ciptaan Tuhan yang paling tinggi punya kuasa untuk menghajarnya sampai babak belur.
Dapur tak lagi aman dari serangan Kentung kini kamar beralih fungsi menjadi tempat menyimpan makanan. Kentung mengitari dapur beberapa kali lalu meloncat ke atas meja makan tak ditemukannya  juga makanan. Bolak balik ia mengendus lantai dapur mencoba mencari jejak makanan sampai ke depan pintu kamar, saat itulah diriku beraksi mengusir pake sapu.
Ia pun berlari keluar pintu sambil mengeong di luar tanda menggerutu. "Kena kau, Tung. Kalo menjarah tu sama orang kaya. Gih, sono!" ucapku ketus seraya banting pintu. Kentung membalas dengan mengeong panjang.
Tak pernah terpikir olehku si Kentung melakukan serangan pembalasan. Ketika hendak mencuci pakaian di sore hari, tiba-tiba aroma bau tak sedap tercium dari tumpukan pakaian kotor di ember.
Setelah diperiksa ternyata ulah Kentung muntah dan buang kotoran. Kotoran kentung tidak saja mengotori pakaian kotor, teras rumah, dan terakhir yang bikin pitam di kursi santai  satu-satunya kursi peninggalan orangtua yang masih empuk diduduki. Kentung biasa buang kotoran di kamar mandi atau di halaman  lalu dengan cepat ia tutup pake tanah ataupun pasir. Ia sengaja berubah sebagai unjuk rasa galau kelaparan. Kentung sudah kelewat batas, dia harus angkat kaki dari rumah
Mataku mengawasi kehadiran Kentung ke segala sudut ruangan, tiba-tiba ia muncul di pintu depan rumah. Masih dalam puncak emosi, aku menendang Kentung seperti bola. Melesat dan terlempar jauh di halaman rumah tepat di depan kaki Polan anak kelayapan. Ia menggeliat sebentar  lalu kembali beridiri kokoh dengan empat kakinya. Polan langsung menangkap Kentung, "kenapa kucingnya ditendang, bang?" tanya si Polan sambil mengelus-elus leher Kentung.
Kucing jantan itu keenakan dielus si polan sampai matanya terpejam. "Maling ikan. Kamu ngapain kemari?" tanyaku balik penasaran lihat remaja tanggung ini datang kemari.
 "Mau ajak abang pergi mancing," jawab anak itu tanpa melihatku. Dia terus mengelus-elus badan Kentung dengan mata berbinar seperti bocah baru ketemu mainan di jalan.
"Abang lagi banyak kerja"
 "Ini kucing abang?"
 "Gak! Gak tahu kucing siapa. Selalu datang kemari nyuri ikan"
"Untukku, bang"
"Untuk apa kau permisi padaku ? Ambil saja, Polan" ucapku semangat karena tak perlu bersusah payah membuang Kentung ke tempat yang jauh. Untung  Polan si bocah dekil yang suka keliaran di jalanan mau mengambil kucing keparat itu. Bocah itu liar karena ibunya pergi meninggalkanya saat umur 4 tahun, sedangkan ayahnya bekerja di rumah makan seharian.
Ia pulang saat Polan telah pulas tidur kemudian kembali berangkat kerja sebelum Polan bangun pagi. Masa sekolah tak ada dibenak Polan, baginya sekolah hanya membuang duit. Anehnya, ia mahir pula berhitung cepat dan membaca.
Namun jangan ditanya mengenai tulisan, 7 dukun tersohor di negeri ini pun tak akan sanggup membaca tulisan tangan anak itu. Badannya tinggi semampai didukung kulit putih bersih tak akan ada yang tahu kalau dia anak melarat sama seperti diriku. Beda dengan diriku, wajah dan kulit cerminan penghasilan yang pas-pasan.
Sejak Kentung pergi keadaan dapur kembali seperti semula. Aku mulai makan di dapur dan memasak tanpa perasaan was-was. Hidup kembali normal, tiada gangguan mahkluk kaki empat yang berbulu kuning. Ketika hendak tidur malam, kembali teringat si Polan yang begitu lugu meminta Kentung agar diambil olehnya.
Sudah berulang kali mengingat Polan meminta Kentung padaku. Terselip rasa lucu lalu tertawa sendiri menganggap Polan bodoh mau memelihara kucing liar tak berguna. Tidak ada yang menarik dari Kentung, kotor dan bau. Mengingat muntah dan kotoran Kentung saja jijik sekali rasanya. Polan yang malang pasti berebut makanan dengan si Kentung. Suasana hening sesaat. Tiba-tiba mataku mendelik mendengar suara berisik di dapur.
Beberapa kali terdengar suara perkakas di dapur jatuh. "Tikus?" gumamku. Kembali teringat sebelum Kentung datang tikus banyak berkeliaran di dapur. Mereka menggigit semua apa saja yang bisa digigit termasuk kabel listrik. Aku melongo kayak orang bego baru sadar selama ini Kentung berjasa mengusir tikus. Sungguh diriku lupa masalah tikus selama ini pikiranku cuma tertuju kerugian dilakukan Kentung terhadapku.
Barulah kutemukan jawabanya, Kentung betah di gubuk reot ini karena banyak tikus. Seharusnya aku bisa ikhlas berbagi makanan denganya meskipun secuil.
Tanpa pikir panjang, aku langsung pergi ke rumah Polan berada di ujung jalan. Berharap Polan akan mengembalikan Kentung. Sampai di depan rumah Polan, aku disambut dengan beberapa kawannya sedang minum miras sambil bernyanyi dengan suara yang fals. Ku lempar pandangan ke segala arah di ruangan namun tak ku temui Kentung.
Polan muncul dari kamar sambil memegang botol miras. Dia menatapku dengan kening berkerut, "bang Sugeng?" ucapnya tak yakin dengan penglihatannya sambil melirik jam menunjukkan pukul 00.30.
"Aku mau kucing itu kembali" ucapku tanpa basa-basi.
"Apa?" Polan seperti tak yakin dengan pendengarannya.
"Kucing yang ku berikan padamu. Aku mau minta kembali"
"Sudah ku jual pada pak Choky, bang. Baru tadi siang dipotong. Nah, tu dia udah jadi makanan," ungkap Polan sambil menunjuk sebuah mangkuk di atas meja yang berisi olahan daging digulai.
Kawan-kawan Polan tampak menikmati makanan itu. Ingin sekali menghantam kepala si Polan dengan satu kepalan tangan  namun semua terjadi benar salahku. Bukan ini akhir cerita si Kentung yang ku inginkan tapi harus berhenti karena ulah manusia yang rakus.
Air mata penyesalan menitik tanpa malu-malu. Semua di ruangan terdiam melihatku Mencoba mengartikan tetesan air mata yang jatuh dipipiku. Tak satu pun berani berkomentar sampai bayangan diriku menghilang dikegelapan malam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H