Pengabdianya pada keluarga pak Wowo membuatnya tidak berpikir kembali mencari pasangan hidup. Mbok Ijah dengan segala kesederhanaanya memang perempuan yang baik hati.
"Makanlah tole" ucap mbok Ijah sambil membuka rantang isinya bermacam makanan. Rendang, sayur asem dan kerupuk tersedia di depan mata. Mbok Ijah mengambil piring dari rak piring lalu memindahkan semua lauk dan sayur ke piring. Aroma yang memikat hati itu kini ada di depan mata. Ingin rasanya langsung menyantap tapi isin (malu).
"Mbok, sebelumnya aku mengucapkan terima kasih. Sejujurnya aku kelaparan karena jatah makan siang diambil kucing liar itu. Saking laparnya aku ketiduran, mbok. Untung mbok dateng bawa makanan kalo gak mungkin aku bakal mati," ucapku lirih.
"Kucing bulu bewarna kuning emas bukanya kucing peliharaanmu?" tanya mbok Ijah penasaran.
"Sebenarnya bukan kucing saya, mbok. Saya gak sampe hati melihatnya kelaparan, tapi belakangan ini gaji dari mandor pas-pasan untuk beli beras dan lauk untuk berbagi makanan saja tidak bisa, bahkan sebenarnya untuk diriku saja kurang" jawabku dengan wajah mesem memeraH
"Pantesan, kucing itu datang ke rumah pak Wowo. Melihat kucing pak Wowo langsung naik darah, saya usir tuh kucing"
"Lho kog diusir, mbok?"
"Pak Wowo alergi dengan bulu hewan, seperti bulu kucing dan anjing. Pak Wowo kalo kena alergi bisa sesak napas atau gatal kulit sampe tanganya merah. Kucing ketagihan bila diberi makan"
Mendengar penjelasan mbok Ijah, aku terdiam. Mbok Ijah tidak tahu  kucing liar itu datang karena ulahku. Perkiraanku meleset ternyata Kentung gagal makan malam pantesan kelaparan.
"Ya sudah makan dulu, Tole. Mbok gak bisa berlama-lama disini nanti ibu Wowo nyari"
"Iya mbok, terima kasih banyak mbok," ucapku bersemangat gairah hidup muncul kembali. Mbok Ijah pun pergi sekejap bayanganya menghilang dibalik tembok pagar rumah milik pak Wowo, dengan cepat aku menyantap sambil terus mengucap syukur pada Tuhan karena telah mengirimkan malaikat penolong berwujud mbok Ijah.