Mohon tunggu...
Sketsanol
Sketsanol Mohon Tunggu... Guru - Meraih kebebasan berkarya dan berekspresi tanpa batas.

Sketsanol tercipta dari sketsa-sketsa kehidupan yang diawali titik nol.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Kentung

21 Juli 2019   19:05 Diperbarui: 24 Juli 2019   12:07 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Erin Taylor by pinterest

Setelah seminggu Kentung tidak dapat makanan, mahkluk berkumis putih itu tak angkat kaki dari gubuk reotku. Malah mengajak bermain dengan kakiku yang selonjor di lantai saat tidur beralaskan tikar di ruang tengah. Ku geser pelan badannya dengan kaki dia malah meloncat-loncat sambil menangkap kakiku lalu menggigit. Kuayunkan kaki kekiri dan kekanan Kentung semakin geram menangkap kakiku.  Aku tertawa terpingkal melihat aksinya sok jagoan melawan kaki . Ketika berhasil meraih kakiku dengan kedua kaki depanya, ia mengeong keras seperti ingin mengatakan "aku berhasil menangkap kakimu, kawan."

Aku membalas dengan menjulurkan lidah tanda mengejek, sengaja ku berikan kaki untuk ditangkapnya. Mbok Ijah dan Ibu Miat melihat tingkahku jadi tertawa kecil, "akhirnya si Tole bisa tertawa," ucap Mbok Ijah tersenyum mengintip dari balik pintu pagar rumah Pak Wowo. "Iya buk Ijah, udah lama sekali dia tidak tertawa keras sejak orangtuanya meninggal" sambung ibu Miat yang kerja di rumah pak Paijo. Kedua pembokat berumur paruh baya itu kenal baik dengan orangtuaku. Seperti biasa bila selesai pekerjaan rumah mereka akan bertemu untuk ngobrol mengusir rasa jenuh karena bekerja seharian di dalam rumah.

Tiba-tiba terlintas ide dipikiran cara mendapatkan makanan untuk Kentung. Senyumku melebar yakin bahwa ide itu adalah terbaik untuk Kentung. Saat malam tiba jalan umum mendadak sepi, aku rela berjalan menelusup ke rumah pak Wowo seperti pencuri. Pukul 7 malam biasanya keluarga pak Wowo ngumpul di ruang televisi setelah makan malam. Ini saat yang tepat membawa Kentung ke dapur pak Wowo untuk makan. Sampai di pintu dapur belakang, Kentung  dilepas dan menyuruhnya masuk.

"Ambilah makanan di rumah ini, makanlah sepuasmu. Mereka tidak akan merasa kekurangan jika kau mencuri sedikit makananya" dengan suara setengah berbisik. Kucing liar kurus itu pun  berjalan pelan menuju pintu dapur, sesaat langkahnya terhenti lalu ia menoleh ke arahku yang sembunyi di balik pohon asem.

Aku mengibaskan tanganku berulang kali beri isyarat agar Kentung segera masuk ke rumah itu. Akhirnya kentung masuk melalui pintu belakang, sesaat merasa aman lalu dengan langkah seribu meninggalkan halaman rumah pak Wowo. Hatiku bersorak riang. Tugas penyelamatan hidup Kentung sudah teratasi, aku tidak lagi resah.

Esok hari, bangun pagi dengan semangat karena tidur dengan nyenyak. Langkah kaki terasa ringan, ternyata berbuat sesuatu yang baik pada hewan adalah hal yang menyenangkan. Demi ketenangan hidup orang miskin seperti diriku tak ada salahnya mengantarkan seekor kucing liar kepada orang kaya seperti pak Wowo. 

Aku tersenyum membayangkan pak Wowo sedang mengelus-elus pundak si Kentung dan memberikanya makanan banyak. Seandainya semua manusia di bumi punya itikad baik seperti diriku mungkin kaum kucing tidak banyak terlantar di jalanan. Setelah sarapan dengan sisa lauk semalam bahkan masih dapat menyisakan sedikit untuk makan siang lalu berangkat kerja. Benar saja dugaanku, si Kentung tidak datang ketika sarapan pagi. Hewan berkumis misai itu sudah pasti bahagia dengan majikan baru.

Matahari begitu bersinar terik di siang hari, pekerjaan belum kelar memasang keramik di ruangan kantor salah satu perusahaan besar  di kota gudeg ini. Keringat pun mulai bercucuran dari dahi menetes ke baju, peluh dan bau bercampur jadi satu. "Kita lanjutkan jam 2," ucap seorang pria berbadan tinggi tegap.

Pak Bahrun sang mandor bangunan menghentikan para tukang untuk beristirahat sebentar. Segera aku bergegas mengambil tas kecil berwarna biru lusuh meraih sebuah botol mineral isinya non original. Kutenggak air hingga tandas. "Ayo kita makan sama, Geng" ucap pak Roso pekerja paling tua. "Saya pulang ke rumah saja pak karena mau ganti baju" jawabku cepat. "Kami makan duluan ya, Geng" ucap pak Roso diikuti 2 kawan lainya. Aku mengangguk pelan sambil berlalu pergi.

Jarak tempat kerja dari rumah tidak jauh cuma berkisar 500 meter. Dengan langkah cepat melalui jalan pintas dari belakang gedung tempat bekerja, tak sampai 15 menit sudah sampai di rumah. Sebenarnya ingin sekali makan bersama dengan kawan-kawan namun terselip rasa minder. Terlalu sering diberi jadi gak enak hati. Mereka begitu baik sekali sepertinya maklum dengan keadaanku sendiri dan melarat.

Setiba di rumah langsung menuju dapur  karena panggilan perut lebih penting dari segalanya. Tiba-tiba langkah kaki terhenti. Darahku mendidih membludak, emosi naik kelevel tinggi. Kentung mengambil jatah makan siang dari sangi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun