Mohon tunggu...
christiantowibisono
christiantowibisono Mohon Tunggu... profesional -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Seandainya Soe Hok Gie Tidak Mati Muda

10 Oktober 2016   19:14 Diperbarui: 10 Oktober 2016   19:26 796
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

“SEORANG FILSUF YUNANI PERNAH BERKATA BAHWA NASIB TERBAIK ADALAH TIDAK DILAHIRKAN, YANG KEDUA DILAHIRKAN TAPI MATI MUDA, DAN TERSIAL ADALAH UMUR TUA”

(CATATAN SEORANG DEMONSTRAN, H. 96)” 
― SOE HOK GIE

Moneter.co.id – Mulut kamu harimau kamu, entah kenapa Soe Hok Gie mengutip kata-kata itu yang bertuah dan terjadi pada dirinya sendiri yang wafat sehari sebelum ulang tahun ke 27 pada 16 Desember 1969 di Gunung Semeru karena gas beracun.

Akrab meski beda kampus, dia di Rawa Mangun sebagai ketua Senat Mahasiswa Fakultas Sastra UI, saya mahasiswa FHIPK (sekarang FISIP) UI di kampus Salemba.

Saya masuk Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) direkrut oleh Nono Makarim, sekjen IPMI Pusat, atau sejak lahirnya KAMI 25 Oktober 1965.

Ketika Ketua IPMI Jaya Ismid Hadad juga menjadi Biro Penerangan KAMI Pusat, saya duduk sebagai ketua IPMI Jaya 1968-1970.

Pada 18 Juni 1966, IPMI menerbitkan suratkabar bernama Harian KAMI dan akansurvive sampai dibreidel oleh Soeharto pada insiden Malari 1974.

IPMI adalah organisasi kekaryaan mahasiswa yang berbeda dari organisasi mahasiswa yang menerima mahasiswa melalui mapram (perpeloncoan).

Untuk menjadi anggota IPMI, Nono Makarim memakai kriteria, kemampuan menulis editorial tiga judul topik berbobot hanya dalam waktu dua minggu.

Maka dari ratusan pelamar kurang dari 10 persen yang sanggup menyelesaikan esei yang dinilai berbobot menjadi editorial suratkabar.

Soe Hok Gie menempuh jalur organisasi intra universiter berbeda dengan organisasi ekstra universetier yang cenderung berkiblat kepada parpol.

Misalnya GMNI adalah onderbouw PNI, PMII dari NU, PMKRI ke Partai Katolik, GMKI ke Parkindo. Sedang HMI meski dianggap onderbouw Masyumi, lolos dari pembubaran, meski CGMI ormas mahasiswa onderbouw PKI gencar menuntut pembubaran HMI, menyusul pembubaran Masyumi dan PSI di tahun 1960 karena terlibat pemberontakan PRRI/Permesta.

Ormas Gemsos (Gerakan Mahasiswa Sosialis) onderbouw PSI juga selamat dari pembubaran meski bersama HMI mengalami tekanan dalam wadah PPMI (Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa se Indonesia) yang didominasi poros GMNI CGMI.

Pada tingkat nasional, Dewan Mahasiswa se-Indonesia membentuk Majelis Mahasiswa Indonesia (MMI) sebagai wadah persatuan seluruh organisasi intra universiter.

Dualisme ini akan terus berlangsung hingga meletusnya peristiwa G30 yang memicu trobosan pembentukan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) 25 Oktober 1965.

KAMI lahir di rumah Syarif Thayeb, menteri Pendidikan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan sebagai reaksi terhadap pemberontakan G30S.

Paralel dengan Kesatuan Aksi Pengganyangan Gestapu yang dipimpin oleh duet H M Subchan ZE, salah satu ketua PBNU dan Harry Tjan Silalahy Sekjen Partai Katolik.

KAMI bermarkas di sekretariat PMKRI di Jl Sam Ratulangi, sedang Kap Gestapu yang kemudian bernama Front Pancasila berkantor di salah satu rumah Subchan di Jalan Banyumas, Menteng.

Pergolakan politik sejak 1 Oktober 1965 lebih banyak berlangsung di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali berupa pembunuhan massal terhadap massa PKI dan ormasnya oleh militer dan parpol yang selama masa pasang PKI 1963-1965 mengalami tekanan tindakan aksi sepihak PKI dalam landreform.

Grafik eksistensi PKI memang ajaib. Karena dalam pemilu 1955, hanya tujuh tahun setelah pemberontakan Madiun, PKI malah menjadi empat besar pemenang pemilu dibawah PNI, Masyumi dan NU.

Sedang PSI mengkeret menjadi partai gurem hanya punya lima kursi di DPR. Kabinet Ali Sastroamijoyo hasil pemilu 1955 bubar pada 14 Maret 1957 dan negara dinyatakan dalam keadaan perang. KSAD Mayor Jendral Abdul Haris Nasution menjadi Penguasa Perang Pusat.

PKI bagaikan gelombang pasang memenangkan pemlu DPRD tahun 1957. Menyusul pemberontakan PRRI/Permesta 1958, Presiden Sukarno membubarkan Masyumi dan PSI tahun 1960 serta membentuk DPRGR dengan mengeluarkan semua anggota Masyumi/PSI diganti dengan unsur militer dan golongan karya sipil non partisan.

Presiden Sukarno menunjuk dirinya sendiri sebagai formatur dan kemudian mengangkat tokoh non partai Djuanda sebagai PM Kabinet Karya.

Konfrontasi pembebasan Irian Barat dari Belanda menelan biaya utang USD 2,5 miliar dengan membeli kapal selam dan pembom serta pemburu MIG yang menjadikan AURI dan ALRI sebagai Angkatan Perang terkuat di Belahan Bumi Selatan.

Tapi ekonomi merosot karena nasionalisasi perusahaan Belanda terutama KPM tanpa kemampuan melanjutkan jasa Regular Liner Service (RLS) mengakibatkan biaya logistik nusantara termahal di dunia hingga detik ini.

Ongkos angkut jeruk Pontianak ke Jakarta lebih mahal dari jeruk Mandarin Shanghai ke Tanjung Priok. Pada 25 Agustus 1959, Menteri Keuangan Djuanda dan Menteri Muda Keuangan Notohamiprojo melakukan sanering kedua dalam sejarah RI setelah gunting Syafrudin 1950 oleh Menkeu Syafrudin Prawiranegara dari Masyumi.

Djuanda menghapus nol dari pecahan Rp 1.000 dan Rp 500 sehingga nilai jadi Rp 100 dan Rp 50. Masyarakat menjerit karena gajah (gambar Rp 1.000 dan macan Rp 500 ditembak mati tinggal 10 persen).

Deposito di atas Rp 25.000 disita paksa diganti obligasi 30 tahun. Tapi rakyat tetap mendukung Bung Karno yang berhasil mengembalikan Irian 1963.

Sayang setelah itu Bung Karno mengganyang Malaysia dalam rangka menciptakan musuh bersama agar TNI dan PKI tidak pecah berperang saudara.

Itulah suasana batin rezim politik Bung Karno era 1963-1965. Pembunuhan para jenderal TNI 1 Oktober 1965 mengakhiri hamil tua bayi perang saudara TNI-PKI.

Situasi memburuk ketika ekonomi terpuruk karena Menkeu Sumarno (ayahanda Rini Sumarno, menteri negara BUMN) dan Gubernur Bank Sentral Jusuf Muda Dalam pada 13 Desember 1965 menukar Rp 1.000 yang lama dengan Rp 1 uang baru.

Ini memicu inflasi 650 persen dan harga melambung sehingga mahasiswa bergerak sejak 10 Januari 1966 dengan demo yang semakin mengental menjadi people power.

Pada 24 Februari 1966 Bung Karno melantik kabinet yang memecat Menko Hankam Kasab Nasution dan gugurlah Arif Rahman Hakim di Medan Merdeka Utara.

Prosesi pemakaman Arif Rahman Hakim pada 25 Februari 1966 dihadiri lautan manusia dari Bunderan HI hingga pemakaman Blok P (sekarang kantor walikota Jakarta Selatan).

Inilah yang ditulis oleh para pengamat sebagai 60 hari yang menjatuhkan rezim Bung Karno. Soeharto sendiri melakukan ‘kudeta melata’ ini dengan sabar dan tidak sekaligus mengeliminasi Bung Karno.

Setelah menerima Supersemar 11 Maret, maka pada 12 Maret dia membubarkan PKI dan pada 18 Maret 1966 menahan 15 menteri kabinet termasuk dua waperdam Subandrio dan Chairul Saleh serta Gubernur BI Jusuf Muda Dalam.

Pada Juni 1966, Sidang Umum V MPRS meralat ketetapan MPRS 1963 yang mengangkat Sukarno sebagai presiden seumur hidup dan mengukuhkan Supersemar menjadi TAP MPRS yang tidak bisa dicabut lagi oleh Presiden Sukarno.

MPRS juga menugaskan Soeharto membentuk Kabinet Ampera sebagai ketua Presidium 25 Juli 1966. Pada 17 Agustus 1966, Presiden Sukarno masih berpidato di depan masa di lapangan Monas berjudul Jangan Sekali-kali melupakan Sejarah disingkatJasmerah.

Itulah pidato perpisahan terakhir Bung Karno. Sebab pada Maret 1967, Sidang Istimewa MPRS akan mencabut mandat Presiden Sukarno dan menetapkan Soeharto sebagai pejabat presiden.

Setelah itu, pada 1968 Soeharto menyelenggarakan Sidang Umum V MPRS  yang mengukuhkan dirinya sebagai presiden untuk melaksanakan pemilu 1971.

Sejak itu Soeharto akan dipilih terus menerus berulang kali sebagai calon tunggal oleh MPR dari hasil pemilu yang 1/3 diisi oleh orang yang diangkat dan sisanya sudah dilitsus oleh intelijen untuk memilih Soeharto. Hingga akhirnya pada pemilu 1997, MPR mengangkat kembali dirinya sebagai presiden ketujuh Maret 1998.

Semua ini tidak terbayangkan oleh Soe Hok Gie yang mati muda pada 1969 dan hanya sempat dua tahun menjadi mentor untuk Prabowo Subianto dalam small grup diskusi kelompok independen.

Soe Hok Gie punya kapabilitas untuk menjadi elite termasuk menteri kabinet. Tapi ia menolak jalur formal anggota DPR dan mengirim lipstik kepada mantan Presidium KAMI Pusat yang diangkat menjadi anggota DPR untuk mengukuhkan Soeharto sebagai pengganti Bung Karno.

Selama 20 tahun kepresidenan Bung Karno, ada tujuh tokoh Tionghoa menjadi menteri kabinet. Siauw Giok Tjhan dan Tan Po Goan adalah menteri Negara Urusan Peranakan Kabinet Syahrir dan Kabinet Amir Syarifudin.

Ong Eng Die berkarir sejak menteri Muda Keuangan Kabinet Amir dan menteri Keuangan Kabinet Ali Sastroamijoyo I. Dr Lie Kiat Teng alias dr Mohamad Ali dari PSII juga menjadi menteri Kesehatan di Kabinet Ali.

Menjelang akhir Kabinet Kerja, Bung Karno mengangkat tiga menteri keturunan Tionghoa, yaitu Oei Tjoe Tat SH, H Mohamad Hasan alias Tan Kiem Liong dari NU sebagai menteri CUrusan Pendapatan Pembeayaan dan Pengawasan yang melakukan pengampunan pajak pertama dalam sejarah RI pada 1964.

Yang ketiga adalah arsitek Ir David G Cheng yang membuat desain Menara Bung Karno meniru Seattle Needle Tower yang batal di Ancol.

Orde Baru mengandangkan kelompok Tionghoa hanya di sektor bisnis dan tidak ada satu menteri pun dari kalangan Tionghoa. Baru disaat terakhir Soeharto mengangkat Bob Hasan menjadi menteri Perindustrian dan Perdagangan.

Belum tentu juga Soe Hok Gie bisa berperan dalam rezim Orde Baru yang lebih bertumpu pada koalisi militer Golkar, di mana peran CSIS dan tokoh seperti Harry Tjan Silalahy dan Jusuf Wanandi sebagai pembisik Ali Murtopo sangat dominan meskipun tidak menduduki posisi formal menteri kabinet.

Arief Budiman mengkompensasi kematian adiknya dengan berperan aktif dalam Komite Anti Korupsi 1970 bersama Akbar Tanjung.

Arief sebetulnya merasa lebih pas menjadi budayawan dan bukan aktivis hectic seperti Hok Gie. Gaya maverick unik Soe Hok Gie memang sosial demokrat tulen mengikuti pola lawan politik yang gentleman, kesatria dan sportif Voltaire dan Rousseau yang berbeda pendapat opini dan pandangan, tapi tidak perlu bermusuhan secara fisik.

Skripsinya tentang PKI sempat membela nasib buruk masyarakat mengambang anggota PKI yang dibunuh dan ditahan sewenang wenang. Seandainya Soe Hok Gie masih hidup dan berduet dengan juniornya, Prabowo, barangkali dia sudah mendahului menjadi A Hok Angkatan 66.

Tapi sejarah dan predestinasi Tuhan dan Indonesia menentukan lain. Soe Hok Gie mati muda dan masih murni sehingga dijadikan ikon Angkatan 66 yang masih murni oleh majalah Tempo. Sementara A Hok menjadi ikon paska Angkatan 98.

Pesan substansial yang harus kita camkan adalah, biarlah suksesi melalui people powerberdarah seperti 1966 dan 1998 tidak akan terulang lagi dalam sejarah masa depan RI yang sudah 71 tahun ini.

Biarlah pemilu yang adil dan jujur menjadi penentu pemilih siapa yang patut berkuasa dan bukan intrik politik keji model 1966 atau 1998.

Mengkawatirkan karena kasus AlMaida menjadi bola liar SARA pada Pilgub DKI. Soe Hok Gie di alam baqa tentu punya keprihatian dan kepedulian khas yang berbeda dari politisi Ken Arokian di bumi Jakarta pada Oktober 2016 ini.

Oleh : Christianto Wibisono*

*Penulis buku ‘Aksi Aksi Tritura: Sejarah demonstrasi mahasiswa 1966’

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun