Pada tanggal 7 Juni 1993, Presiden Soeharto mengeluarkan Keppres No. 50 tentang pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Dalam hal ini Asmara berperan banyak dalam lembaga yang didirikan oleh pemerintah tersebut. Asmara adalah satu-satunya akademisi yang berbekal dalam pengalamannya di dunia LSM dalam komisi tersebut (Asmara Nababan: Oase Bagi Setiap Kegelisahan, 2011, 71).
Komnas HAM pada dasarnya bekerja sangat efektif ketika Asmara ada di dalamnya. Ketika itu persoalan yang dibahas dalam Komnas HAM tidak lagi menyoal pada urusan narapidana politik Orde Baru saja, tetapi juga terkait dengan beberapa peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi di Timor Timur. Selanjutnya hal lain yang diurus oleh Asmara tidak lain adalah mengenai peristiwa "Kuda Tuli" atau tragedi 27 Juli 1996 (Hidayat & Haryono, 2023, 106-107).Â
Tragedi ini terjadi di depan Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro 58, Jakarta Pusat. Â Penyebab terjadinya peristiwa ini adalah intervensi politik pemerintah Orde Baru terhadap politik PDI yang kala itu mengadakan konggres di Medan yang memenangkan Soerjadi sebagai ketua umum, tetapi di sisi lain Musyawarah Nasional (Munas) mengangkat Megawati Soekarnoputri sebagai ketua PDI.Â
Hal ini terjadi konflik antara PDI pro Megawati dengan PDI Soerjadi. Sangat amat jelas dalam peristiwa ini aparat ikut berperan memperkeruh situasi yang ada kala itu. Peristiwa ini membuat hubungan antara Komnas HAM dan pemerintah semakin memanas akibat jumlah korban yang dipaparkan (Asmara Nababan: Oase Bagi Setiap Kegelisahan, 2011, 78). Dalam hal ini Komnas HAM dianggap keluar koridor oleh Soeharto.
Peristiwa lain yang mewarnai jalan asmara kemanusiaan Asmara Nababan tidak lain adalah gejolak Timor-Timur. Pada tahun 1999, Komnas HAM melalui Marzuki Darusman menawarkan diri untuk menyelesaikan kasus ini melalui pembentukan Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP HAM). Setelah itu pada tanggal 1 Agustus 2001, Presiden Megawati Soekarnoputri mengeluarkan Keppres No. 96 tahun 2001 yang berisi tentang pembentukan pengadilan HAM ad hoc untuk menyelesaikan tragedi kemanusiaan di Timor Timur.Â
Suatu ketika Asmara Nababan diminta untuk memeriksa seorang jenderal yang terlibat pada permasalahan tersebut. Gaya pakaian Asmara yang sederhana dan alakadarnya membuahkan teguran keras dari seorang jenderal, tetapi apa yang dikatakan Asmara justru berbalik. Ia mengatakan, “Saudara mau saya periksa dengan mulut atau dengan sepatu? " (Asmara Nababan: Oase Bagi Setiap Kegelisahan, 2011, 83).Â
Kesederhanaan Asmara Nababan adalah contoh bagaimana ia mampu mengimplementasikan bahwa mencintai dalam sederhana dan berakar pada komitmen kemanusiaan. Memang seorang yang low profile seperti beliau kerap kali mendapatkan cibiran orang-orang yang lebih berkuasa darinya. Itulah arti realitas sesungguhnya. Pasca tragedi Orde Baru pun Asmara ikut terlibat dalam menyelesaikan kasus tindak pelanggaran HAM terhadap aktivis hukum dan kemanusiaan Munir Said Thalib (1965-2004).Â
Asmara menyatakan bahwa kasus Munir merupakan suatu tindakan pelanggaran HAM berat. Dalam hal ini ia bersama kawan-kawannya ikut terlibat dalam menyuarakan tindakan pelanggaran tersebut. Bahkan Suciwati Isteri dari almarhum Munir pun mengatakan bahwa Asmara Nababan adalah pribadi yang selalu siap memberikan jalan keluar atas suatu permasalahan (Asmara Nababan: Oase Bagi Setiap Kegelisahan, 2011, 11).
Romantika Asmara Di Masa Yang Akan Datang
Kisah asmara itu indah dalam diksi-diksi rayuan. Seorang akan luluh dalam diksi yang indah nan kosong itu. Lalu terbuailah dia dan dalam kerelaan ia menyesalinya karena berujung tragis. Dalam dunia dewasa ini pemikiran akan arti kemanusiaan itu telah kabru dan saat ini dunia sedang sibuk pada dirinya masing-masing.Â