Mohon tunggu...
Christian Dion
Christian Dion Mohon Tunggu... Mahasiswa - Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

Mahasiswa fakultas hukum yang menyuarakan isu-isu sosial, politik, dan kemanusiaan. Gloria Dei Vivens Homo.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Asmara Kemanusiaan dan Idealisme Anak Muda Masa Kini

18 September 2024   06:08 Diperbarui: 18 September 2024   06:08 505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Asmara Nababan (1946-2007) (Sumber: asmaranababan.org

Gloria Dei Vivens Homo (Ireneus 130-202)

Kemuliaan Tuhan adalah manusia yang bersungguh-sungguh melakukan pekerjaan-Nya. Kisah asmara tidak lepas pada romantika adagium-adagium yang indah. Begitulah kiranya Ireneus dari Lyon seorang teolog memaparkan pemikirannya akan Tuhan dan manusia itu sendiri. 

Pada hakikatnya manusia mampu memahami panggilannya ketika ia lahir ke dunia. Manusia lahir sebagai zoon politicon sebagaimana diutarakan oleh Aristoteles (384-322 SM). Zoon politicon berarti manusia adalah makhluk sosial sekaligus makhluk politis yang tidak lepas pada kepentingan yang ia miliki (Magnis-Suseno, 2016, 11-14). 

Setiap kepentingan manusia merupakan sisi dari individualisme manusia sendiri yang selalu berlindung agar kepentingannya tidak diberangus dan ditaklukan oleh orang lain. Sayangnya sisi individualisme manusia ini justru mengarah pada ungkapan Hobbes (1588-1679) yaitu "Homo Homini Lupus" yang berarti manusia adalah serigala bagi orang lain (Hardiman, 2019, 71). Ternyata terjadilah apa yang diungkapkan Hobbes di masa kini. Manusia semakin lupa akan hakikatnya sebagai makhluk sosial, tetapi cenderung berperan sebagai individu yang saling menguasai dan menindas. Dalam hal ini idealisme telah luntur di mata manusia.

Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan ternyata juga tidak lepas pada sifat individualisme dan haus kuasa yang menghantui orang-orang yang duduk di ranah kekuasaan. Rezim otoritarianisme dan represif Orde Baru benar-benar membahwa bangsa Indonesia kepada kondisi yang diungkapkan Hobbes. Maka menjadi sebuah pertanyaan, adakah manusia yang benar-benar paham akan panggilannya untuk benar-benar menjadi manusia di tengah rezim represif dan jauh dari kata kemanusiaan ini? Jawabannya ada. 

Sosok Asmara Victor Michael Nababan (1946-2007) yang kala itu merupakan bagian dari Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) menjadi salah satu tokoh cerita romantika asmara kemanusiaan itu. Asmara itu indah, tetapi tak selamanya romantika itu berujung pada kebahagiaan. P

ria kelahiran Siborongborong Sumatera Utara ini sudah mengenal romantika kemanusiaan ini sejak ia duduk di bangku kuliah. Asmara hadir sebagai aktivis di tengah ketidakpastian rezim di tahun 1965. Ketika Soekarno resmi digulingkan tahun 1966 Asmara hadir sebagai orang yang berada di jalan tengah. Meskipun kakaknya Panda Nababan  di tahun 1966 sempat dijebloskan di bui karena dianggap sebagai Soekarnois.

Asmara Di Tengah Ketidakpastian 

Di tengah ketidakpastian rezim dimana lama berganti baru memiliki polanya sendiri dalam berkuasa. Orde Baru hadir sebagai masa baru dengan semangat baru dalam pemerintahan, tetapi apa buktinya? Ternyata Orde Baru telah mengingkari janjinya sebagai harapan bangsa. Kasus-kasus korupsi merajalela tatkala di tahun 1970 terjadi lonjakan harga minyak internasional akibat perang Timur Tengah. Di tengah bonanza minyak ini, negara mendapatkan pajak yang besar dari minyak sehingga Pertamina sebagai otoritas perminyakan nasional pun mulai melakukan ekspansi bisnis di bidang perhotelan, resort, dan lapangan golf. Hal ini jelas semakin menyuburkan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dalam negeri. 

Asmara Nababan yang kala itu masih duduk di bangku Fakultas Hukum Universitas Indonesia bersama dengan Arief Budiman, Marsillam Simanjuntak, dan Sjahrir mendirikan Komite Anti Korupsi (KAK) sebagai tandingan dari Komisi Empat yang didirikan oleh Soeharto tanggal 31 Januari 1970 dengan Wilopo sebagai ketua (Asmara Nababan: Oase Bagi Setiap Kegelisahan, 2011, 28-30). KAK dibentuk dengan alasan lambannya kinerja Komisi Empat dalam menangani kasus korupsi yang ada di Indonesia. Asmara Nababan dalam hal ini berperan sebagai penggiatnya bersama Akbar Tanjung, Thoby Mutis, dan kawan-kawannya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun