Selain itu Asmara Nababan juga terkenal karena kampanye "Golput" yang ia suarakan dalam pemilu tahun 1971. Sistem Golkarisasi yang tidak demokratis ini membuat Asmara Nababan bersama dengan Arief Budiman, Imam Waluyo, Julius Usman, Jusuf AR, Marsillam Simanjuntak, dan Jopie Lasut memprotes hal ini dengan menyatakan Golput terhadap pemilu yang diselenggarakan pada 28 Mei 1971. Alasan golput pada dasarnya merupakan bagian dari pemboikotan Pemilu yang tidak fair play. Dalam hal ini Ali Moertopo pun menunjukkan ketidaksenangannya terhadap golput. Ia mengatakan bahwa golput itu seperti kentut: baunya terasa, tetapi tak kelihatan barangnya. Perlawanan-perlawanan Asmara muda telah menunjukkan idealismenya yang kuat (Asmara Nababan: Oase Bagi Setiap Kegelisahan, 2011, 33-34).Â
Gerakan "Angkatan 66" yang dikenal sebagai motor penggerak turunnya Bung Karno dari kursi kepresidenan memang menghasilkan para aktivis yang handal, tetapi mereka justru berkhianat sendiri setelah mereka menyanggupi duduk di kursi pemerintahan. Mereka merasa bahwa kekuasaan adalah hal yang nyaman sehingga mereka lupa diri akan tujuan mereka untuk melakukan pembaharuan atas sistem yang telah rusak bahkan uzhur.Â
Idealisme adalah hal yang mahal di tengah ketidakpastian rezim. Hanya orang-orang yang bertahan dengan semangat moral force adalah mereka yang setia pada prinsip kemanusiaan itu sendiri. Walaupun tidak dipungkiri masih banyak mereka yang tetap duduk di pemerintahan dan setia pada prinsip mereka. Walaupun diperlukan pengorbanan yang tidak mudah dan itulah arti bergerak dari dalam. Asmara memilih menjadi pribadi yang berada di luar ranah pemerintahan hingga akhir hayatnya.
Romantika Injakan Sepatu Berduri
Sosok Asmara Nababan yang berpegang teguh pada prinsip kemanusiaan tetap saja berada dalam koridor utamanya. Segala hal menyangkut tindakan sewenang-wenang rezim Orde Baru sudah pasti ia lawan. Asmara adalah orang yang menolak secara terang-terangan ide pembuatan Taman Miniatur Indonesia Indah (TMII) yang digagas oleh Tien Soeharto atas ide Ali Sadikin sebagai Gubernur DKI Jakarta saat itu.Â
Menurut Asmara sendiri pembangunan TMII dengan dana sebesar Rp. 10,5 milyar adalah hal yang tidak masuk akal. Sehingga didirikanlah Gerakan Akal Sehat (GAS) dimana ia bersama teman-temannya mengampanyekan penolakan terhadap proyek ini (Asmara Nababan: Oase Bagi Setiap Kegelisahan, 2011, 38-39). Walaupun semua usaha ini hanya sia-sia belaka. Hal ini terus berjalan seiring dengan berjalannya waktu akibat meledaknya Malapetaka 15 Januari 1973 dimana musuh-musuh politik Orde Baru telah dilibas.Â
Meskipun demikian Asmara bukanlah orang yang surut terhadap situasi demikian. Ia menganggap situasi-situasi kritis sebagai drama romantika sesungguhnya. Romantika sesungguhnya adalah perjuangan kemanusiaan itu sendiri bukan romantika di zona nyaman. Rezim represif di bawah injakan sepatu berduri ini adalah sebuah panggung romantis yang harus dijalankan dalam perjuangan. Maka tidak setiap kisah cinta menceritakan kisah-kisah indahnya dan tidak setiap ucapan romantis adalah hal indah untuk dijalankan. Layaknya janji yang akan di ingkari dalam kenyamanan.
Asmara sebagai seorang sarjana hukum sudah pasti peka akan permasalahan-permasalahan hukum yang kerap kali muncul di era Orde Baru. Asmara menjadi salah satu pendiri Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bertujuan mengembalikan kembali kedaulatan rakyat akibat penindasan rezim yang bernama Kelompok Studi Penyadaran Hukum (KSPH). KSPH berdiri pada tanggal 23 Februari 1983.
Tujuan dari LSM yang Asmara dirikan bertujuan untuk memberikan penyadaran hukum dengan ruang lingkup pertanian dan advokasi terhadap hak-hak petani kala itu. Memang kasus yang ditangani oleh KSPH salah satunya berangkat dari kecamatan tempat dimana Asmara dilahirkan. Hal ini disebabkan pembangunan PLTA Inalum pada tahun 1978. PLTA Inalum dibangun di atas lahan persawahan yang sesungguhnya merupakan hak warga setempat, tetapi dalam hal ini pemerintah daerah hendak menimbun Sungai Asahan dengan pasir (Asmara Nababan: Oase Bagi Setiap Kegelisahan, 2011, 58).Â
Maka ada upaya relokasi yang hendak dilakukan pemerintah setempat untuk digunakan sebagai lahan pengganti untuk sawah. Sayangnya lahan tersebut tidak dapat dijadikan sawah. Dalam hal ini KSPH dengan Asmara sebagai sekretaris ikut terjun ke lapangan mengurus permasalahan ini. Ketika itu warga yang mengetahui hal tersebut melakukan protes dan unjuk rasa.Â
Dalam hal ini KSPH kerap dituduh oleh Intel sebagai provokator sekaligus penghambat pembangunan. Dalam hal ini Asmara hadir sebagai seorang yang realistis. Ia tidak takut pada apapun bahkan dalam investigasi bersama KSPH ia sempat ditegur oleh seorang Bupati akibat memotret sebuah peristiwa yang terjadi dalam masyarakat dalam menyelesaikan sebuah kasus (Asmara Nababan: Oase Bagi Setiap Kegelisahan, 2011, 66). Jawaban Asmara sederhana bahwa apa yang ditakutkan dari foto bahwa foto menunjukkan sebuah realitas keadaan masyarakat kita.