Saya orang jawa (tengah) dan tidak malu-malu untuk mengakuinya. Sekuat apapun dinamika berjibaku hidup. Membaur dengan segala masa dan persona. Paling tidak ada nilai-nilai budaya yang diberikan atau terserap dengan sendirinya. Bagaimanapun itu prosesnya. Nilai budaya yang mendarah daging itu. Meski tertempa dan sering tergilas roda jaman, kita harus berusaha untuk ramah padanya. Banyak kesejukan budaya yang dapat dijadikan sumber air lain bagi santapan dan kebijaksanaan jiwa kita. Seperti pula sahabat lain yang berasal dari segala daerah di bumi pertiwi ini. Sangat diharapkan untuk memelihara budaya-budaya positif yang terwariskan padanya. Jangan sampai nilai-nilai sejuk itu terkikis habis karena sebab pergulatan hidup yang cenderung saling memangsa. Anda adalah darah anda. Jangan sampai hilang siapakah anda itu. Untuk saya dapat pula disamakan dengan sebuah slogan jangan terjadi "wong jowo ilang jawane". Mudah-mudahan tidak. Beberapa mungkin sudah mengetahui. Bahwa sebuah lagu atau juga tembang jawa masa lalu, banyak berisikan petuah hidup yang sangat bijak dan indah. Disamping tembang "resmi" macapat. Ataupun tembang dolanan. Yang sebagian besar masih dipelihara dan di "uri-uri". Agar tetap tertanam di jiwa anak cucu. Termasuk juga saya dan mungkin anda. Ada sebuah tembang. Yang sangat melegenda. Bahkan menurut Saya mempunyai "kekuatan" yang cukup "magis" dan syahdu. Meski tembang ini sekilas mendayu-dayu. Dapat juga dirasa pantas sebagai pengantar tidur sang momongan atau anak kita. Namun syair dan alunan tembangnya mampu membuat kita akan bergidik, merinding, dan berada dalam kedamaian yang penuh misteri. Bagi saya iya. Entah jika anda. Tembang itu adalah tembang "LIR ILIR". Jujur, saya tidak tahu siapa pujangga yang menggubahnya. Entah dari lingkungan priyayi atau dari sekedar rakyat kebanyakan (wong cilik) era dahulu. Yang jelas sampai saat ini mungkin masih banyak yang mengingat atau menembangkannya. Mungkin bisa kita simak bersama syair-syair tembang Lir Ilir itu. Mari...
LIR ILIR
Lir Ilir, Lir Ilir, Tandure Wis Sumilir
Ta' ijo royo-royo, tak sengguh penganten anyar
.
Cah angon, cah angon, penekna blimbling kuwi
Lunyu-lunyu penekna, kanggo mbasuh dodot iro
.
Dodot iro, dodot iro, kumitir bedah ing pinggir
Domono jlumatono, kanggo sebo mengko sore
.
Mumpung gedhe rembulane, mumbung jembar kalangane
Yo, surak-o, surak hore
***
Untuk makna. Atau katakanlah sebagai artinya. Mungkin saya coba untuk menggelarnya. Tentu saja sesuai batas kemampuan jawa saya. Mohon maaf jika ada yang menganggap belum pas. Karena saya sendiri tidak terlalu ingat, darah biru yang mengalir pada diri saya ini sudah mencapai ranting ke berapa. Sudah lama tidak tinggal di keraton soalnya (jangan di anggap serius ya, apalagi sampai percaya). Jika ada yang merasa lebih tahu dan mengerti. Tentu saja saya mohon pencerahannya. Pesan tembang itu kurang lebih demikian, sebelumnya sebuah translasi/terjemahannya dulu,
LIR ILIR (buaian angin yang semilir)
Lir Ilir, Lir Ilir, Tandure Wis Sumilir
( Buaian angin semilir, tanaman/padi sudah gemerisik)
Ta' ijo royo-royo, tak sengguh penganten anyar
(Hijau segar dan bahagia, layaknya pengantin baru)
.
Cah angon, cah angon, penekna blimbling kuwi
(Anak-anak gembala, panjatkan (pohon) belimbing itu)
Lunyu-lunyu penekna, kanggo mbasuh dodot iro
(Meski licin panjatlah, untuk membasuh (mencuci) dodot (kain) mu/kita)
.
Dodot iro, dodot iro, kumitir bedah ing pinggir
(kain kita, sekelilingnya sobek di pinggir)
Dom-ono jlumatono, kanggo sebo mengko sore
(Jahitlah jelujurlah, untuk sowan (menghadap) nanti sore
.
Mumpung gedhe rembulane, mumbung jembar kalangane
(Mumpung besar rembulannya, mumpung luas tanah lapangnya)
Yo, surak-o, surak hore
(Bersoraklah, sorak bahagia)
***
"Tanaman (jiwa)Â kita sudah bernas dan siap untuk di panen. Seperti layaknya pengantin baru ke pelaminan. Cucilah dengan bersih pakaian-pakaian kita. Jahitlah pakaian kita yang penuh lubang di sekelilingnya.Untuk saatnya nanti sowan menghadap (pada-Nya). Mumpung masih terang rembulan, masih luas tanah lapang. Masih banyak kesempatan. Maka itu kita patut bersorak bahagia, karena kesempatan itu masih ada"
Demikian secercah pengertian yang saya terima. Sebuah pesan untuk mempersiapkan diri. Pesan sederhana namun penuh magis yang menakutkan. Meski syahdu dan indah dilantunkan. Namun pesan dan alunan nada-nadanya mampu menggetarkan kalbu. Bahkan membuat bulu kuduk merinding.
Bahkan ada sebuah kisah lama. Saya pinjam dari seorang penggubah cerita "Kaca Benggala". Yang mengisahkan cinta sehidup semati pasangan yang tersakiti. Mondosio dan Nyai Basingah. Mondosio tewas karena ketidakadilan dan kejahatan penguasa. Nyai Basingah yang diliputi dendam dan cinta. Tidak merelakan kepergiannya. Dia menggunakan segala cara agar suaminya tetap hidup dan ada. Memanggil arwah dan tubuh suaminya itu agar hadir selalu. Menuntaskan segala dendam. Dengan lantunan menyayat hati tembang "lir-ilir" itu. Nyai basingah mewujudkan suaminya. Dalam bentuk burung gagak hitam. Yang terbang melayang dalam pencariannya. Cinta yang kelabu. Sang wanita yang merasa suaminya belum saatnya sowan atau menghadap Sang Pencipta.
Lir Iliiiiir....Lir Iliiiiir, Tandure wis sumiliiiir...
[caption id="attachment_137020" align="aligncenter" width="360" caption="from google"][/caption] By: Chris Suryo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H