Yo, surak-o, surak hore
(Bersoraklah, sorak bahagia)
***
"Tanaman (jiwa)Â kita sudah bernas dan siap untuk di panen. Seperti layaknya pengantin baru ke pelaminan. Cucilah dengan bersih pakaian-pakaian kita. Jahitlah pakaian kita yang penuh lubang di sekelilingnya.Untuk saatnya nanti sowan menghadap (pada-Nya). Mumpung masih terang rembulan, masih luas tanah lapang. Masih banyak kesempatan. Maka itu kita patut bersorak bahagia, karena kesempatan itu masih ada"
Demikian secercah pengertian yang saya terima. Sebuah pesan untuk mempersiapkan diri. Pesan sederhana namun penuh magis yang menakutkan. Meski syahdu dan indah dilantunkan. Namun pesan dan alunan nada-nadanya mampu menggetarkan kalbu. Bahkan membuat bulu kuduk merinding.
Bahkan ada sebuah kisah lama. Saya pinjam dari seorang penggubah cerita "Kaca Benggala". Yang mengisahkan cinta sehidup semati pasangan yang tersakiti. Mondosio dan Nyai Basingah. Mondosio tewas karena ketidakadilan dan kejahatan penguasa. Nyai Basingah yang diliputi dendam dan cinta. Tidak merelakan kepergiannya. Dia menggunakan segala cara agar suaminya tetap hidup dan ada. Memanggil arwah dan tubuh suaminya itu agar hadir selalu. Menuntaskan segala dendam. Dengan lantunan menyayat hati tembang "lir-ilir" itu. Nyai basingah mewujudkan suaminya. Dalam bentuk burung gagak hitam. Yang terbang melayang dalam pencariannya. Cinta yang kelabu. Sang wanita yang merasa suaminya belum saatnya sowan atau menghadap Sang Pencipta.
Lir Iliiiiir....Lir Iliiiiir, Tandure wis sumiliiiir...
[caption id="attachment_137020" align="aligncenter" width="360" caption="from google"][/caption] By: Chris Suryo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H