Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tiga Hati untuk Satu Cinta (Bagian 10)

28 Januari 2022   01:55 Diperbarui: 28 Januari 2022   02:06 522
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Hanya ada dua tipe suami. Suami tidak setia dan suami setia. Suami tidak setia adalah orang yang selalu memikirkan wanita lain ketika dia bersama istrinya. Suami setia adalah orang yang selalu memikirkan istrinya ketika sedang bersama wanita lain."

(Anonim)

Pagi-pagi sekali aku sudah bangun. Maya masih tertidur nyenyak di sampingku. Aku segera bangkit, berpakaian lalu meraih hape dan segera berlari keluar dari kamar.

"Pagi sayang, maaf ya aku tadi malam gak sempat telfon. Pas baru nyampe hotel, eh pak Yosef telfon ngajak ke karaoke. Rupanya kemarin itu ulang tahun beliau sayang, semua anak-anak diajak karaokean. Aku sebenarnya agak gimana gitu, mana hape udah lowbatt lagi." Aku terus saja nyerocos seperti peluru mitraliur tanpa memberi kesempatan bagi Ratih untuk menyela.

"Iya deh, tapi aku gak bisa tidur lho mikirin kamu, takut kenapa-kenapa."

"Aduh maafin aku ya sayang, ini bener-bener Force majeure sayang."

"Iya deh, ntar kamu jadi balik ke Jakarta?"

"Tuh dia, Pak Yosef pagi ini ngajak mancing ke laut. Semua anak-anak juga ikut. Namanya juga bos!"

"Jadi, balik Minggu?"

"Enggak bisa sayang. Hari Minggu ulang tahun Ibu Yosef, semua anak-anak juga diajakin. Jadinya kami balik Senin pagi, langsung ngantor sayang."

"Halah.. lama banget! Padahal aku mau masakin makanan buat kamu."

"Aduh tengkiu sayang. Ya udah aku janji, nanti aku yang masakin buat kamu."

"Bukan gitu, aku mau cobain resep baru. Makanannya eksotik pakai ginseng dan bahan afrodisiak gitu. Ya udah deh, nanti di laut telfon aku ya."

"Di laut gak ada signal sayang." Alamak! Mendengar ginseng aku koq tiba-tiba jadi nganu.

"Halah.. padahal aku kangen banget sama kamu."

"Aku juga sayang, kangennya pakai banget-banget. Udah ya, ummmmach." Duh Gusti, hatiku lega.

Aku kemudian membuka pintu kamar dengan hati-hati. Eh ternyata Maya sudah bangun dan terlihat males-malesan di tempat tidur. "Morning, kamu dari mana saja sayang pagi-pagi?"

"Morning sayang, nih aku bawa lupis kesukaan kamu. Yuk sarapan dulu"

"Wah, makasih banyak sayang. Sarapannya ntar aja deh. Sini pelukan dulu, cepetan. Pagi-pagi enaknya pelukan dulu baru sarapan."

***

Badanku terasa remuk pada saat aku membuka pintu apartemen. Aroma bawang goreng dari sup yang masih mengepul kemudian memberi stimulus pada hidungku, yang lalu ditransmitkan ke otak sektor hipotalamus. Kode stimulus ini kemudian dikirim ke perut besar yang segera saja menggerakkan peristaltik usus bekerja lebih keras. Telingaku kemudian mendengar suara "kriuk-kriuk" dari perut. "Waduh laper banget! Hola sayang" kataku ketika mataku beradu pandang dengan mata Ratih."

Ratih kemudian memelukku erat sekali, "Mau makan dulu apa mandi dulu?"

"Mandi dulu deh." jawabku. Duh Gusti! Baju ini tadi pagi masih dipeluk-peluk Maya, dan aku tidak tega kalau baju ini juga dipeluk Ratih. Kasihan Ratih! Aku kemudian cepat-cepat mandi, dua kali sabunan malah, hahaha.

Sehabis mandi badan lumayan seger. Air hangat memperlancar aliran darah dan membuat otot-otot menjadi rileks. Air dingin kemudian memberi kesegaran dan sensasi menyenangkan.

Aku duduk bersandar pada headboard kasur sedangkan Ratih tiduran pada pahaku sembari memegangi tanganku. Aku nyaris tak mendengar lagi apa yang dibicarakannya. Aku sudah fly karena nyaris tidak tidur semalaman, dan pagi-pagi sekali harus ke bandara dan langsung ke kantor! Gila betul!

Suara Ratih kemudian terhenti ketika mendengar aku sudah mengorok. Ia kemudian merebahkan badanku dengan perlahan. Ia mengecup bibirku lalu memelukku sambil mengusap-usap rambutku. Tak lama kemudian iapun tertidur di sampingku.

Aku kemudian bermimpi. Aku janji ketemu dengan Maya di sebuah restoran di Tunjungan Plaza. Sesampai di sana aku kemudian mencolek seseorang yang kukira Maya, dan ternyata bukan. Perempuan cantik itu wajahnya mirip sekali dengan artis Maudy Ayunda. "Maaf." kataku lalu pergi. Namun ia mengejarku, dan tiba-tiba ia berubah menjadi drakula! Aduh capeknya rek gak ketulungan. Bayangkan saya ia mengejarku dari Surabaya hingga ke apartemenku di Jakarta!

Aku segera berlari ke dapur untuk mencari bawang putih. Kedua tanganku sudah berada di keranjang bumbu ketika ia mendekat. Aku segera mengangkat tangan kananku, tapi ia tertawa saja. Rupanya di tangan kananku itu adalah bawang Bombay. Aku lalu mengacungkan tangan kiriku, dan ia tetap tertawa. Rupanya di tangan kiri adalah bawang Prei! Dan ia kemudian mulai menggigit leherku. "Ahhh!" aku berteriak!

"Kenapa sayang, kenapa sayang? Kamu mimpi ya?" Ratih kemudian membangunkanku.

Aku terbangun, lalu melihat ke sekeliling. "Iya sayang, aku mimpi. Mimpi melihat kamu pergi ninggalin aku."

Ratih kemudian memeluk dan mengusap-usap kepalaku, "Aku gak kemana-mana koq, udah bobo lagi ya." Ia kemudian mengecup bibirku, dan aku langsung tidur dan tidak bermimpi lagi.

***

Biasanya aku paling tidak suka kalau harus bertugas ke Surabaya. Apalagi sesudah dekat dengan Ratih. Akan tetapi kali ini agak berbeda. Jantungku selalu berdebar setiap kali ada yang menyebut nama Surabaya!

Bayangin saja kalau lagi menyetir di Surabaya sambil dengar radio, "Inilah RRI Pro 2 Surabaya!" Jeder! Jantungku berdebar. Pindah saluran lagi, "Inilah Radio Sonora Surabaya, yang dipancarkan dari Jalan Raya Darmo Permai Utara Surabaya!" Jeder! Jantungku berdebar lagi.

Begitulah seterusnya setiap pindah saluran radio. Akhirnya lama-kelamaan aku menderita stroke, impotensi, kencing manis, bengek, busung lapar dan turun berok karena jantungku terlalu sering berdebar!

Untungnya aku dan Ratih bertemu dengan Pak Dharma di supermarket. Beliau kemudian mengingatkan agar aku jangan lupa berangkat Kamis pagi ke Surabaya. Ratih pun tidak curiga. Ketika Kamis pagi aku hendak ke bandara, Ratih kemudian bertanya kepadaku, "Kamu Sabtu pagi balik ke Jakarta kan?"

"Yah gak bisa sayang. Sabtu Pak Dharma ngajak mancing ke laut gara-gara Pak Yosef kemarin sukses dapet banyak ikan. Lha kemaren si Agus disuruh ke Gunung Sahari nyari Joran yang bagus."

"Halah, mosok malam Minggu aku sendiri lagi?"

Aku kemudian memeluknya, "Sabar sayang, nanti malam Selasa, malam Rabu akan kita buat jadi malam Minggu ya, oke sayang? Aku berangkat dulu ya, ummmach."

***

Aku dan Maya sedang berjalan kaki menuju sebuah mal. "Eh mau kemana kita?" tanyaku heran karena kami kemudian berjalan kaki menyusuri gang kecil di samping mal tadi.

"Santai saja bro, ini namanya mal juga, tapi mal jongkok! Barangnya juga bagus dengan harga ekonomis. Yang penting pembeli harus sabar untuk memilih." Maya kemudian mengaduk-aduk celana dalam dan kaos kutang di atas meja dagangan. Aku hanya bisa bengong melihatnya.

Dengan wajah berseri-seri Maya kemudian menunjukkan hasil perburuannya. "Ini masing-masing setengah losin boxer dan kaos dalem, keren kan? Kamu pasti seksi memakai ini. Harganya seratus tiga, jadi totalnya empat ratus. Bayar bro, cepetan aku udah laper nih."

Sambil mesem-mesem aku kemudian membayarnya. Kalau sampai terlihat bos aku membeli sempak di sini, aku pasti akan di bawa ke muka pengadilan. "Apa gak cukup gajimu sehingga kamu membeli sempak di mal jongkok ini?" Demikian kira-kira pertanyaan dari majelis hakim yang mulia.

"Nanti ini aku bawa ke rumah trus dicuci. Pakaian kamu juga gak usah di-loundry, biar aku cuci di rumah aja. Jadi gak usah repot bawa pakaian banyak-banyak. Kalo kamu mau lebih lamaan lagi di Surabaya, kan gak repot lagi, kan gitu sayang?"

Aku hanya tersenyum. Hebat anak ini pikirku. Dia naik "Biem," tapi tidak malu membeli daleman di gang itu. Lagian namanya juga daleman, kan bukan buat ditampangin ke orang! Mau kendor, luntur atau apapun itu, selama masih berfungsi dengan baik, ya gapapa juga nyari yang lebih murah gitu.

Sabtu itu cuaca terasa panas membuat kami ngadem saja di kamar. Kuku tangan dan kuku kakiku sudah dipotong dan dikikir Maya. Aku tidur menelungkup tanpa kaos. Maya sibuk dengan scrub menggosok-gosok kulit punggungku. Ini memang ciri khas Maya sejak dulu. Ia akan selalu memeriksa kuku maupun daki di kulitku, persis seperti ibu. Wah, aku jadi baper.

Tadinya aku ingin meraba paha Maya yang berada persis di sebelah kepalaku. Namun tidak jadi karena tiba-tiba aku ingat Ratih. Aku lalu tersenyum sendiri.

"Kenapa senyam-senyum, kamu ngetawain aku ya?"

"Enggak, anu.." jawabku sambil menutup mulutku dengan telapak tangan.

"Kamu ngetawain aku kan?" kata Maya sambil menimpaku lalu menggelitiku!"

"Ampun, lontong eh toloong..." teriakku menahan geli.

Maya kemudian membalikkan badanku, dan tetap menimpaku. Duh Gusti, sebagai wong cilik hamba ini hanya bisa pasrah saja ketika "ditimpa musibah," karena semuanya itu adalah kehendak "yang di atas." Akupun menutup mata, ikhlas menunggu apa yang akan terjadi, tidak minta tolong lagi.

***

Hanya ada dua tipe suami. Suami tidak setia dan suami setia. Suami tidak setia adalah orang yang selalu memikirkan wanita lain ketika dia bersama istrinya. Suami setia adalah orang yang selalu memikirkan istrinya ketika sedang bersama wanita lain. Damp*t! Aku ternyata termasuk tipe kedua-duanya!

Duh Gusti, ampunilah hambamu ini atas kesalahan hamba. Janganlah membawa hamba ke dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah hamba daripada yang jahat!

Aku ini ternyata hanyalah laki-laki biasa saja, dan cenderung bucin! Situasi ini sungguh menyiksaku. Aku tersiksa karena selalu membayangkan Ratih ketika bersama Maya, dan sebaliknya selalu membayangkan kelucuan Maya ketika bersama Ratih. Ini harus segera diakhiri karena pasti akan membuatku jadi gila!

Malam itu aku duduk bersandar pada headboard kasur. Maya yang kemudian terjaga, lantas bertanya, "Kenapa sayang?"

Aku hanya terdiam menahan emosi, lalu berkata, "Ada yang mau kukatakan padamu."

"Apa sayang?" tanya Maya dengan suara bergetar. Ia kemudian duduk di sampingku.

Aku tak tahan lagi, dan kemudian menangis sambil berkata, "Aku sebenarnya sudah punya pacar, aku sayang banget sama dia..." Kini tangisku meledak tak tertahankan lagi.

Maya hanya diam membisu. Aku tak berani menatap matanya, tapi aku sudah pasrah. Ia pasti akan memarahiku habis-habisan, tapi aku bisa menerimanya. Kegilaan ini memang harus segera diakhiri!

(Bersambung)


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun