"Iya deh." Namun aku tetap tak paham juga. Aku kemudian naik ke ranjang dan memeluknya. Ratih balas memelukku dan menyurukkan kepalanya di bawah daguku.
Tak lama kemudian pintu kamar terbuka, dan susternya terkaget ketika melihat ada "dua pasien" dalam satu ranjang. "Weleh-weleh, yang sakit sebenarnya siapa nih pak?"
"Saya suster. Anu, sepertinya saya sudah "Pembukaan empat" nih." Kataku sambil menahan tawa.
"Hahahaha!" Susternya ngakak tidak bisa menahan tawa. "Aduh bapaknya becanda. Ya udah ini ada obat untuk ibunya ya pak. Wah enak deh ibunya dikeloni sama si bapak."
"Makasih suster. Eh suster, ini bed memang tahan buat berdua kan?"
"Kalo gak macem-macem sih bisa tahan koq pak. hahaha" Susternya pergi sambil menutup pintu.
Aku melirik Ratih yang tetap meringkuk di bawah daguku, tapi ia terlihat menahan tawa. Duh Gusti, hatiku senang bukan kepalang. Â Untuk apalah aku hidup kalau tak bisa membahagiakannya, ehem ehem..
***
Hal paling gokil bagiku itu adalah kalau kita menarik anak macan yang sedang menyusu pada induknya. Hal gokil berikutnya adalah perempuan. Mereka ini sangat sulit dipahami! Bayangkan saja, Ratih hamil lalu keguguran, dan pengen punya anak lagi tapi tidak mau menikah denganku! Sulit bagiku untuk memahami hal ini.
Sebenarnya bukan Ratih saja, Maya juga begitu. Ketika Maya hendak berangkat ke Australia, akupun mengajaknya kawin. Aku juga rela meninggalkan pekerjaanku agar bisa mendampinginya. Mencari pekerjaan bagus di negeri orang tentunya sulit. Pekerjaan yang tersedia paling jadi kuli kasar atau unskill labour. Itupun rela aku jabanin. Namun itu semua tidak berarti. Padahal Maya mengaku sayang pakai banget padaku. Akan tetapi Maya adalah masa laluku.
Yah begitulah, semoga dengan berjalannya waktu aku semakin bisa memahami jalan pikiran Ratih. Benarlah kata pepatah, "dalamnya laut bisa diduga, dalam hati wanita siapa tahu?"