Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tiga Hati untuk Satu Cinta (Bagian 9)

26 Januari 2022   01:05 Diperbarui: 26 Januari 2022   01:07 477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi 3 Hati 1 Cinta, Sumber: Shutterstock

Duh Gusti! Jiwaku tersimpan rapi di Jakarta, tapi ragaku terhempas di Surabaya!

Aku kemudian masuk ke dalam kamar dan melihat Ratih berbaring di ranjang dengan tatapan kosong, menatap langit-langit kamar.

"Hai sayang." Aku kemudian mendekat dan mencium keningnya. Ia kemudia memegang jari tanganku. "Maaf sayang, aku sungguh tak tau harus berkata apa untuk menghiburmu." Aku kemudian mengecup jari tangannya.

"Aku juga gak tau mau ngomong apa Bram, semuanya bercampur aduk. Tapi aku masih pengen punya anak lagi dari kamu Bram."

Aku kini bisa tersenyum lega. "Ya udah kalo gitu sesok tak suruh ibu karo bapak ke rumah buat melamar kamu. Kalo gini urusannya kan enak, kamu pengen berapa anak, bisa diatur ok?"

"Aku gak mau kawin sama kamu sekarang! Aku juga pengen anaknya nanti-nanti aja."

Duh Gusti! Aku tak percaya pada apa yang kudengar barusan. "Gak mau kawin bagaimana? Lha, nyaris punya anak koq gak mau kawin? Trus kalo kamu jadi hamil, mosok gak mau kawin samaku? Kan aku yang hamili kamu?

"Itu laen ceritanya, tapi sekarang ini aku gak mau pusing mikirin kawin dan hamil!"

Waduh kepalaku mumet! "Apa kamu gak sayang sama aku?" tanyaku sedih.

"Bram, aku sayaaaang banget sama kamu, cuma sekarang aku gak mau mikirin kawin dulu,ok?"

"Iya deh." Namun aku tetap tak paham juga. Aku kemudian naik ke ranjang dan memeluknya. Ratih balas memelukku dan menyurukkan kepalanya di bawah daguku.

Tak lama kemudian pintu kamar terbuka, dan susternya terkaget ketika melihat ada "dua pasien" dalam satu ranjang. "Weleh-weleh, yang sakit sebenarnya siapa nih pak?"

"Saya suster. Anu, sepertinya saya sudah "Pembukaan empat" nih." Kataku sambil menahan tawa.

"Hahahaha!" Susternya ngakak tidak bisa menahan tawa. "Aduh bapaknya becanda. Ya udah ini ada obat untuk ibunya ya pak. Wah enak deh ibunya dikeloni sama si bapak."

"Makasih suster. Eh suster, ini bed memang tahan buat berdua kan?"

"Kalo gak macem-macem sih bisa tahan koq pak. hahaha" Susternya pergi sambil menutup pintu.

Aku melirik Ratih yang tetap meringkuk di bawah daguku, tapi ia terlihat menahan tawa. Duh Gusti, hatiku senang bukan kepalang.  Untuk apalah aku hidup kalau tak bisa membahagiakannya, ehem ehem..

***

Hal paling gokil bagiku itu adalah kalau kita menarik anak macan yang sedang menyusu pada induknya. Hal gokil berikutnya adalah perempuan. Mereka ini sangat sulit dipahami! Bayangkan saja, Ratih hamil lalu keguguran, dan pengen punya anak lagi tapi tidak mau menikah denganku! Sulit bagiku untuk memahami hal ini.

Sebenarnya bukan Ratih saja, Maya juga begitu. Ketika Maya hendak berangkat ke Australia, akupun mengajaknya kawin. Aku juga rela meninggalkan pekerjaanku agar bisa mendampinginya. Mencari pekerjaan bagus di negeri orang tentunya sulit. Pekerjaan yang tersedia paling jadi kuli kasar atau unskill labour. Itupun rela aku jabanin. Namun itu semua tidak berarti. Padahal Maya mengaku sayang pakai banget padaku. Akan tetapi Maya adalah masa laluku.

Yah begitulah, semoga dengan berjalannya waktu aku semakin bisa memahami jalan pikiran Ratih. Benarlah kata pepatah, "dalamnya laut bisa diduga, dalam hati wanita siapa tahu?"

"Take time to know her." Itulah kalimat yang tepat buat Ratih karena walaupun aku sudah bertahun-tahun mencintainya, tapi aku belum mengenalnya dengan baik.

Entahlah, Ratih berbeda dengan Maya. Walaupun baru satu setengah tahun mengenalnya, tapi aku sudah mengenal Maya "luar-dalam." Itu karena hampir setiap hari kami bertemu, dan selalu berinteraksi. Senin sampai Jumat urusan kantor, apalagi aku adalah atasan langsung Maya. Sabtu dan Minggu urusan pacaran. Chemistery-ku dengan Maya sangat kuat karena faktor interaksi tadi.

Aku jadi tahu kalau makan bakso Maya akan mengambil satu sendok cabai merah. Ia tidak suka cabai hijau. Ia akan pakai kecap manis, bukan asin . Kalau ke toilet dia akan menghabiskan waktu sekian menit. Kalau membeli permen pasti dia akan beli merek anu. Sebaliknya juga Maya jadi tahu kebiasaan-kebiasaanku. Apa yang kusukai dan apa yang tidak kusukai.

Akan tetapi aku harus berhati-hati. Maya adalah Maya dan Ratih adalah Ratih yang punya karakteristik masing-masing. Maya adalah masa lalu dan Ratih adalah masa depan. Jadi sudah tepat ide Ratih tidak usah terburu-buru menikah. Kami perlu waktu untuk saling mengenal, menyesuaikan diri, menyamakan persepsi dan membuat program yang cocok bagi kami berdua.

***

Jumat malam ini aku masih di Surabaya, besok rencananya balik ke Jakarta. Aku sedang dalam perjalanan menuju hotel ketika hape berbunyi. Ternyata dari Ratih. "Hai sayang, kamu di mana? Tadi aku tiga kali telfon, koq gak diangkat."

"Hai Bram, ini baru nyampe rumah. Tadi gak denger pas acaranya anak Iqbal. Trus yang terakhir pas lagi di mobil Vicky, gak enak angkat telfon."

"Srrr.. hatiku panas pastinya. "Ngapain harus Vicky yang ngantar kamu, kan rumahnya gak searah! Kan lebih enak Togar dong, rumahnya searah rumah kamu?"

"Aduh Bram, Togar tadi gak keliatan! Lagi pula aku bareng Yanti koq. Vicky antar aku dulu baru ngantar Yanti. Rumah Yanti kan searah dengan rumah Vicky. Jangan pake marah dong Bram."

"Bukan marah sayang, aku tadinya mau nitip amplop ultah anak Iqbal sama kamu, makanya aku telfon. Kan gak enak dia udah ngundang akunya gak datang, yah kasih amplop dong." kataku lega.

"Yah uda, kamu sekarang di mana?"

"Masih di jalan, mau ke hotel, tapi jalanan macet."

"Ya udah kalo gitu, ntar kalo udah nyampe hotel telfon ya"

"Ok sayang."

Aku baru saja mau masuk ke lift, ketika tiba-tiba ada yang mencolekku dan berkata, "Taraaa."

"Astagfirullahaladzim!" teriakku kaget. Untung aku memegangi jantungku. kalau tidak, pastilah jantung itu sudah mencelat ke lantai! Di depanku Maya berdiri dengan muka lucunya. "Hai, kamu gak kangen sama aku?" katanya dengan mata berbinar-binar.

Aku menatapnya dari atas ke bawah, dari kiri ke kanan. Dia masih orang yang sama, bahkan lebih cantik. Bentuk tubuhnya kini lebih padat. Pasti efek dari banyak berjalan kaki. Namun aku tak tahu harus bagaimana, karena ini diluar skenario semula! Harusnya cerita sudah usai kemarin. Namun penulisnya nackal, cerita diperpanjang sehingga membuat aku jadi nganu.

"Bram, aku kangen banget sama kamu." katanya dengan wajah memelas.

Duh Gusti! Jiwaku tersimpan rapi di Jakarta tapi ragaku terhempas di Surabaya! "Aku juga kangen sama kamu May." Aku kemudian memeluknya erat. Dan inilah yang kutakutkan! Memeluknya seperti memutar waktu kembali saat kebersamaan kami dulu. Ternyata banyak sekali kenangan indah yang bahkan baru sekarang ini bisa kuingat kembali.

Salah satu yang paling gokil adalah "Terapi 10 detik." Jarak meja kerjaku dengan "kubikel' Maya hanya berkisar enam meter saja. Ketika Maya hendak ke toilet, maka aku akan buru-buru mengikutinya. 

Kalau situasi aman terkendali, maka aku akan menarik Maya ke pantry di sebelah toilet. Aku akan menciumnya selama 10 detik. Tentunya tidak selalu berhasil, malah lebih banyak gagalnya. Terutama karena Maya tidak mau! Tapi apapun itu, hal itu bisa membuatku lebih segar kembali ketika bekerja.

Pernah sekali aku dikerjai Maya. Waktu itu sekitar jam tiga sore. Maya tampaknya hendak ke toilet. Aku segera mengikutinya, tapi agak telat karena aku harus mengikat tali sepatu terlebih dahulu.

Di pantry Maya tidak ada. Aku kecarian lalu ku text, "kamu dimana?"

"Di lobby"

"Di lobby? Ngapain?"

"Baca koran."

"Hah! Cepetan naik mumpung sepi."

"Hei bapak, ini kantor bukan tempat mesum, hahaha."

"Hahaha, jancok! haha"

Tanpa terasa sudah sejam kami ngopi di coffe shop di samping lobby hotel. "Aduh aku lali cak, aku sebentar dulu yah nganter titipan mama, nanti dateng lagi. Eh kamu kapan baliknya?"

"Besok pagi May"

"Yaaa mosok besok sih! Kamu gak kangen ya sama aku?"

"Ya udah, Minggu deh."

"Yaaaa, Senin pagi aja ya, pesawat pertama. Daag"

Aku baru saja selesai mandi. Badan terasa seger kembali. Aku kemudian menyalakan ketel listrik. Enak nih minum teh pikirku. Aku kemudian meraih hape. Astaganaga! Ada tiga missed call dari Ratih. Sekarang udah jam sebelas malam. Seharusnya sesampai di hotel aku menelfonnya tapi aku lupa. Aku sudah bersiap-siap hendak mengetik text ke Ratih, ketika tiba-tiba ada suara ketukan di pintu, "Room service."

"Hah? Perasaan aku tidak memesan apa-apa?" Aku lalu membuka sedikit pintu karena aku masih memakai handuk. "Taraaa! Aku mau bobo di sini aja, aku kangen sama kamu." Kata Maya sembari menutup pintu, lalu menggeret kopernya.

Aku hanya bisa melongo, lalu menatap layar hape, "Ratih is typing.." Buru-buru aku tekan tombol hape. Muncul tampilan di layar, "Restart or Off." Aku pencet "Off," dan layar hape segera menghitam!

Tiba-tiba ketel listrik "berteriak," rupanya air sudah mendidih. Duh Gusti, semuanya serba memanikkan. Ada Maya, ada telfon dari Ratih dan kini ketel pula yang berteriak. Aku segera berlari ke arah ketel, tapi Maya sudah keburu memegang handukku, dan handuk celaka itupun segera melorot, dan terjatuh ke lantai!

(Bersambung)


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun