Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Kisah Pendeta Tohap

24 Desember 2021   19:10 Diperbarui: 24 Desember 2021   22:03 828
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sebuah gereja, sumber : https://www.anugrah.net/

"Ladang tuaian memang banyak, tetapi para penuai sangat sedikit."

Suasana syahdu menyelimuti gereja kecil yang terletak di sebuah desa kecil di Kecamatan Parlilitan itu, ketika Pendeta Tohap menaiki Langgatan (mimbar) 

Jemaat sudah menutup mata ketika pendeta hendak memulai doa khotbah. Keteduhan itu seketika pecah ketika terdengar teriakan anak kecil dari arah tengah tempat jemaat duduk, "Pak, pak, itu bapak kita di atas dek! Pak, bapak!" kata seorang bocah sambil melambaikan tangan ke arah pendeta yang berada di atas mimbar itu.

Ya, bocah itu bernama Lindung dan adiknya, Tiur. Mereka ini adalah anak pendeta Tohap yang sedang berkhotbah itu. Rupanya kedua bocah ini kabur dari Sekolah Minggu, lalu mengikuti kebaktian dewasa tersebut. Pendeta Tohap mengabaikan saja suara anak itu, dan langsung berdoa dengan suara keras yang terdengar melalui speaker toa, "Dame nasumurung sian Debata Ama...(Damai sejahtera dari Allah Bapa...)"

Pendeta Tohap terus saja berdoa dengan suara kencang guna menutupi suara anak kecil tadi, sembari menunggu mujizat turun dari sorga. Dan ketika ia berseru Amen, lalu membuka matanya secara perlahan, suara anak kecil itupun sudah hening. 

Ternyata Minar, asisten guru Sekolah Minggu, sudah mencolokkan permen tangkai "chup a chup" ke mulut kedua bocah tersebut.

***

Tohap sebenarnya agak terlambat masuk ke sekolah pendeta. Pendidikan SMA diselesaikannya di tiga sekolah berbeda. Ketika kuliah, ia tiap tahun pindah kampus dan jurusan. Tohap memang termasuk anak bandel. Ompungnya menyarankan agar Tohap dikawinkan saja, tetapi ia tidak mau.

Tulangnya menyarankan agar Tohap menjadi pendeta saja. Akhirnya Tohap dimasukkan ke Sekolah Tinggi Teologi (STT) Nommensen Pematang Siantar. Dan benar saja, Tohap lulus tepat waktu dan menjadi pendeta yang baik.

Kini Tohap ditempatkan di Parlilitan, sebuah kecamatan di Kabupaten Humbahas. Entah kenapa Tohap ini selalu berada di "tempat kering." Gereja kecil dengan jemaat miskin. Dan bukan hanya satu, tapi Tohap harus mengurus tiga gereja kecil lainnya yang menjadi subordinasi gereja mereka itu.

Namun Tohap tetap bersukacita melakukan pekerjaannya. "Ladang tuaian memang banyak, tetapi para penuai sangat sedikit."

Menjadi pendeta itu tidak melulu susah. Mereka juga sering mendapat privilege. Kalau ada pesta, pendeta selalunya diundang dan pulangnya dibekali amplop dan bekal makanan pula.

Pendeta di kampung selalu dihormati dan sering pula ditraktir oleh orang yang bahkan tidak dikenalnya. Namun yang namanya tinggal di daerah miskin, amplop yang diterima Tohap biasanya "hampir tembus pandang" karena tipisnya.

Pernah sekali Tohap hendak membeli daging sapi setengah kilo di pasar Dolok Sanggul. Eh malah dia dikasih gratis sekilo oleh penjualnya. Itulah sebabnya kalau istrinya tahu Tohap akan pergi ke Dolok Sanggul, istrinya suka "menitip" membeli daging sapi setengah kilo. Tohap maklum, istrinya itu pasti berharap daging "yang sekilo itu."

Yah namanya istri, sekalipun istri pendeta, mereka ini tetaplah "manusia biasa" juga.

Hari Rabu itu Tohap dan keluarganya berkemas-kemas. Tohap hendak berangkat ke Jakarta karena ada tugas kerja. Istri dan anaknya ikut ke Medan, dan akan berlibur ke tempat saudaranya.

Tohap heran melihat baju Lindung yang terkesan sederhana, padahal mereka ini hendak bepergian. Ia kemudian bertanya, "Koq pake baju ini bang, mana baju bagus yang bapak beli itu?"

"Oh..uda kukasih sama si Moses pak" kata anak itu.

"Lho..koq dikasih bang, itu mahal lho bapak beli?" kata Tohap serius.

"Tapi bapak bilang di khotbah bapak, kalo ada bajumu dua, kasih sama kawanmu satu. Jadi kukasihlah sama si Moses. Dia itu suka gak pake baju lho pak. Lagian dia suka kali sama baju itu karna ada gambar pestolnya"

Tohap tertegun, ia kemudian mengajak Lindung ke kamar. Tohap kemudian memeluknya dan berbisik di telinganya dengan perlahan, "Bang, khotbah bapak itu hanya untuk orang, bukan untuk kita ya. Gaji bapak itu cuma dikit. Kalo tiap hari kita beli baju abang, tak makanlah kita bang. Ngerti bang?"

Lindung mengangguk tanda mengerti. Yah, Pendeta itu juga "manusia"

***

Ketika diundang temannya pendeta beribadah di sebuah gereja yang berada di sebuah mal, Tohap sangat terkejut melihat kehidupan "gereja moderen" di Jakarta. Pendetanya serba klimis, wangi, dengan jas jahitan Laxmi atau Atham. Berbeda sekali dengan jas Monza-nya* yang agak kedodoran.

Orang ke gereja pun seperti ke pesta. Di gereja, para pelayan ibadah, bahkan yang mengatur tempat duduk sajapun pakai jas mewah. Kalau di kampungnya cuma pendeta saja yang pakai jas. Jadi kalau orang di kampungnya dibawa ke sini, pasti mereka bilang gereja di Jakarta itu banyak kali pendetanya!

Teman Tohap itu kemudian mengajak Tohap pindah ke Jakarta, untuk membantu pelayanannya di gereja itu. Mereka kekurangan pendeta, karena pendeta fulltimer hanya ada empat orang saja.

Lima orang pendeta lainnya itu adalah "pendeta profesional," yang sehari-harinya sibuk dengan bisnis mereka juga. Padahal banyak jemaat butuh pelayanan doa maupun konseling.

Tohap tertegun. Satu gereja ini dilayani sembilan pendeta, sedangkan di kampungnya sendiri empat gereja hanya dilayani oleh seorang pendeta saja, yaitu dirinya sendiri. Dua gereja kecil itu bahkan belum dialiri listrik PLN.

Sebelum kehadiran Tohap, gereja itu juga sudah lama tidak dilayani pendeta. Rupanya banyak pendeta yang tidak mau ditempatkan di "daerah kering" tersebut.

Kasihan warga jemaat di kampungnya kalau tidak ada pendeta. Kawin jadi repot. Harus pesen pendeta dulu ke kota Dolok Sanggul untuk memberi sakramen pernikahan. 

Yah, kawin memang bisa di-schedule. Yang gawat itu kalau ada warga yang mati mendadak tanpa bisa di-reschedule, lantas siapa yang akan mengubur dan memberi sakramen?

***

Sekarang Tohap sedang melayani kebaktian Natal "Par-ari kamis" (Kebaktian ibu-ibu hari Kamis) di gerejanya. Tohap sudah melihat Jakarta dengan segala kemewahannya. Akan tetapi ia lebih memilih di tempat terpencil ini.

Tuhan sudah datang ke dunia ini dalam rupa manusia. Lahir di kandang domba, di sebuah tempat yang diabaikan manusia. Akan tetapi memang itulah tujuannya, Ia hadir untuk orang-orang yang terpinggirkan.

Bukanlah sebuah kebetulan pula kalau Tohap yang dulunya bandel itu kemudian diubahkan menjadi seorang pendeta yang baik. Tohap memang dipilih dan diutus oleh-Nya, agar ia pergi ke tempat dimana orang lain tidak mau pergi. Tohap sadar, ia melayani bukan untuk manusia, melainkan bagi Tuhan. Sebab segala Kemuliaan memang hanya bagi Tuhan.

Sayup-sayup terdengar suara berkaharisma Tohap ketika ia menutup acara natal itu dengan sebuah doa, "Dame ni Debata nasumurung sian saluhut harohaon, ima mangaramoti angka ate-ate dohot pingkiran muna dibagasan Tuhan Yesus Kristus, Amen. (Damai sejahtera dari Allah, yang melampaui hati dan pikiran manusia, itulah yang memberkati hati dan pikiran kita dalam Kristus Yesus, Amin)"

Selamat Hari Natal buat teman-teman yang merayakannya.

*Catatan:

Di daerah Sumatera Utara, Monza adalah sebutan untuk pakaian bekas impor yang diseludupkan lewat Pelabuhan kecil di sepanjang Pantai Timur Sumatera.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun