***
Ketika diundang temannya pendeta beribadah di sebuah gereja yang berada di sebuah mal, Tohap sangat terkejut melihat kehidupan "gereja moderen" di Jakarta. Pendetanya serba klimis, wangi, dengan jas jahitan Laxmi atau Atham. Berbeda sekali dengan jas Monza-nya* yang agak kedodoran.
Orang ke gereja pun seperti ke pesta. Di gereja, para pelayan ibadah, bahkan yang mengatur tempat duduk sajapun pakai jas mewah. Kalau di kampungnya cuma pendeta saja yang pakai jas. Jadi kalau orang di kampungnya dibawa ke sini, pasti mereka bilang gereja di Jakarta itu banyak kali pendetanya!
Teman Tohap itu kemudian mengajak Tohap pindah ke Jakarta, untuk membantu pelayanannya di gereja itu. Mereka kekurangan pendeta, karena pendeta fulltimer hanya ada empat orang saja.
Lima orang pendeta lainnya itu adalah "pendeta profesional," yang sehari-harinya sibuk dengan bisnis mereka juga. Padahal banyak jemaat butuh pelayanan doa maupun konseling.
Tohap tertegun. Satu gereja ini dilayani sembilan pendeta, sedangkan di kampungnya sendiri empat gereja hanya dilayani oleh seorang pendeta saja, yaitu dirinya sendiri. Dua gereja kecil itu bahkan belum dialiri listrik PLN.
Sebelum kehadiran Tohap, gereja itu juga sudah lama tidak dilayani pendeta. Rupanya banyak pendeta yang tidak mau ditempatkan di "daerah kering" tersebut.
Kasihan warga jemaat di kampungnya kalau tidak ada pendeta. Kawin jadi repot. Harus pesen pendeta dulu ke kota Dolok Sanggul untuk memberi sakramen pernikahan.Â
Yah, kawin memang bisa di-schedule. Yang gawat itu kalau ada warga yang mati mendadak tanpa bisa di-reschedule, lantas siapa yang akan mengubur dan memberi sakramen?
***
Sekarang Tohap sedang melayani kebaktian Natal "Par-ari kamis" (Kebaktian ibu-ibu hari Kamis) di gerejanya. Tohap sudah melihat Jakarta dengan segala kemewahannya. Akan tetapi ia lebih memilih di tempat terpencil ini.